Ads

Rujak Wuni: Tumbal Daging Mentah Sang Penguasa

 

Rujak Wuni: Tumbal Daging Mentah Sang Penguasa

Kisah Nyata Sang Penyiar Radio
Penulis: Akang Marta



Udara subuh itu terasa semakin berat ketika sosok cebol berdiri tepat di hadapan Teh Dewi. Setelah memperkenalkan dirinya sebagai penguasa wilayah tersebut, makhluk itu menatapnya lama, seolah menimbang sesuatu. Matanya yang merah kehitaman menyipit, bibir bertaringnya sedikit terbuka, memperlihatkan senyum yang sama sekali tidak menenangkan. Teh Riri masih terpaku, tubuhnya kaku, pikirannya kosong, sementara detak jantungnya terdengar begitu keras di telinga sendiri.

Tiba-tiba makhluk itu bertanya dengan nada datar namun mengandung tekanan, “Kamu tahu Rujak Wuni?”

Pertanyaan itu membuat Teh Riri sedikit tersadar. Dalam kondisi setakut itu, pikirannya justru berusaha mencari pegangan logis. Rujak Wuni, setahunya, adalah buah kecil berwarna merah kehitaman yang rasanya asam, biasa dimakan orang kampung dengan gula merah atau cabai. Ia sempat merasa heran mengapa makhluk gaib seperti ini menanyakan makanan manusia.

“Rujak… buah wuni?” jawab Teh Riri dengan suara bergetar, setengah ragu.

Sosok cebol itu tertawa pelan. Tawanya terdengar serak dan berat, seperti suara batu digesekkan. “Bukan,” katanya singkat.

Ia lalu menjelaskan dengan nada yang lebih rendah dan menekan, bahwa Rujak Wuni bukanlah buah. Rujak Wuni adalah persembahan. Tumbal. Daging mentah yang disiapkan khusus untuknya.

Darah Teh Riri serasa berhenti mengalir. Kata daging mentah itu berputar-putar di kepalanya. Dadanya terasa sesak. Pikirannya langsung melompat ke kemungkinan terburuk—apakah yang dimaksud daging mentah itu adalah manusia? Apakah ia yang sedang berdiri gemetar di hadapan makhluk ini akan menjadi santapannya?

Rasa panik menyergap tanpa ampun. Tangannya gemetar hebat, keringat dingin mengalir di punggung. Dalam kondisi setengah sadar, Teh Riri langsung berbicara terbata-bata, mencoba mempertahankan hidupnya dengan kata-kata.

“Saya… saya cuma kerja di sini, Ki… cuma cari nafkah buat anak-anak saya,” katanya hampir menangis. “Saya tidak tahu apa-apa soal persembahan. Tolong jangan ganggu saya…”

Permohonan itu meluncur begitu saja, jujur, tanpa hiasan. Dalam hatinya, Teh Riri pasrah sepenuhnya. Jika ini adalah akhir hidupnya, setidaknya ia ingin makhluk itu tahu bahwa ia tidak punya niat apa-apa selain bekerja.

Namun reaksi Ki Gede justru di luar dugaan. Makhluk cebol itu menatapnya lebih lama, lalu tertawa pendek. “Aku tidak akan mengganggumu,” katanya. “Bahkan aku akan melindungimu.”

Kalimat itu membuat Teh Riri tertegun. Ki Gede lalu melanjutkan bahwa ada manusia di sekitarnya yang iri dan berniat jahat. Ada yang syirik, ada yang tidak suka melihatnya dekat dengan bos, dan ada yang diam-diam memendam dengki. Makhluk itu mengatakan bahwa justru dari manusialah bahaya paling nyata akan datang.

Teh Riri mendengarkan dengan tubuh masih gemetar. Dalam kondisi itu, ia memberanikan diri menyampaikan satu permintaan. Dengan suara pelan dan penuh ketakutan, ia memohon agar Ki Gede tidak menampakkan diri dalam wujud yang terlalu menyeramkan.

“Saya… saya takut sekali,” katanya jujur.

Ki Gede menyeringai. “Kalau aku tunjukkan wujud asliku,” katanya pelan, “kamu akan lebih takut lagi.”

Rasa penasaran, entah dari mana datangnya, justru muncul di tengah ketakutan itu. Mungkin karena Teh Riri sudah berada di titik pasrah. Dengan suara hampir tak terdengar, ia mengangguk.

Sekejap kemudian, udara di ruangan itu seperti terbelah. Tubuh kecil di hadapannya berubah dengan cepat. Sosok cebol itu menjelma menjadi makhluk yang sangat besar, menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit. Seluruh tubuhnya berwarna hijau pekat, kulitnya tebal dan kasar, auranya luar biasa menekan. Matanya menyala terang, memancarkan kekuatan yang membuat lutut Teh Riri tak sanggup lagi menopang tubuhnya.

“Aku Buta Hijau,” suara itu menggema, bukan lagi suara kecil, melainkan berat dan bergulung seperti petir.

Ketakutan Teh Riri mencapai puncaknya. Ia gemetaran hebat, mundur hingga punggungnya menempel ke dinding pojok kamar. Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. Bibirnya terus mengucapkan “Allahu Akbar… Allahu Akbar…” berulang-ulang, seperti satu-satunya tameng yang ia miliki.

Beberapa detik—atau mungkin menit—yang terasa seperti keabadian berlalu. Lalu, perlahan, sosok besar itu kembali menyusut, berubah lagi menjadi wujud cebol semula. Tekanan di udara berkurang, meski rasa takut belum sepenuhnya hilang.

Dengan napas tersengal, Teh Riri memberanikan diri berkata setengah bercanda, setengah memohon, “Kalau bisa… wujudnya yang agak ganteng, Ki…”

Permintaan itu justru membuat Ki Gede tertawa keras. Tawanya menggema di ruangan. “Kamu ini aneh,” katanya. “Tapi kamu akan banyak rezeki. Bosmu sayang padamu.”

Ki Gede lalu kembali mengingatkan tentang seorang rekan kerja yang sudah mulai curi-curi pandang dan memendam rasa tidak suka. Peringatan itu disampaikan dengan nada serius, seolah sebuah pesan penting yang harus diingat.

Sebelum pergi, Ki Gede berpesan agar Teh Riri segera salat. Ia juga memuji Teh Riri sebagai orang pintar, mengatakan bahwa leluhurnya bukan orang sembarangan. Bahkan, makhluk itu mengaku menghormati leluhur Teh Dewi—kalimat yang membuatnya semakin bingung dan takjub.

Kemudian, Ki Gede melangkah pergi dengan cara berjalan aneh, cepat dan pendek, seperti tuyul. Dalam sekejap, sosok itu menghilang, meninggalkan keheningan yang terasa asing.

Teh Riri terduduk lemas di lantai. Tangannya masih gemetar, tubuhnya dingin, air matanya belum kering. Subuh itu, ia menyadari satu hal pahit: di balik kisah Rujak Wuni dan tumbal daging mentah, dunia gaib ternyata memiliki aturan dan logika sendiri. Dan malam itu, ia telah berdiri sangat dekat dengan batas yang memisahkan manusia dari sesuatu yang seharusnya tak pernah ia jumpai.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel