Kedatangan Penguasa Wilayah: Buta Cebol
Kedatangan Penguasa Wilayah: Buta Cebol
Penulis: Akang Marta
Siaran Program Kismis berakhir menjelang subuh. Lampu merah di studio padam,
telepon terakhir ditutup, dan suara mesin pemancar kembali menjadi satu-satunya
bunyi yang menemani malam. Teh Riri duduk termangu beberapa saat, berusaha
menenangkan napasnya. Sepanjang siaran, ia merasa seolah ada sesuatu yang
mengawasi dari sudut-sudut gelap studio. Bukan dengan niat mengganggu,
melainkan memperhatikan—menilai.
Rasa lelah bercampur gelisah membuatnya sulit memejamkan mata. Ia memilih
kembali ke kamar belakang dengan langkah pelan. Udara dini hari terasa lebih
dingin dari biasanya. Jam dinding menunjukkan pukul tiga lewat sedikit.
Alih-alih tidur, Teh Riri mengambil air wudu dan mulai beribadah. Ia salat,
lalu duduk bersila di atas sajadah, berzikir perlahan, mencoba menenangkan hati
yang berdebar tak beraturan.
Sekitar pukul 03.30, ketenangan itu pecah.
Sebuah suara salam menggema sangat keras, bukan hanya terdengar, tetapi
terasa menekan dada. “Assalamu’alaikum…” Suaranya berat, bergulung, seolah
datang dari segala arah sekaligus. Belum sempat Teh Riri bereaksi, pintu kamarnya
digedor dengan ketukan keras, membuat dinding bergetar. Ketukan itu bukan
seperti tangan manusia, melainkan seperti benda berat yang dipukulkan perlahan
namun penuh ancaman.
Jantung Teh Riri berdegup kencang. Ia teringat pesan orang tua dan petuah para
sesepuh: jangan menjawab salam makhluk gaib tanpa rupa. Dengan tubuh gemetar,
ia hanya menjawab salam itu dalam hati. Ketukan kembali terdengar, lebih keras.
Salam kedua diucapkan dengan nada yang lebih tegas, nyaris memerintah.
Dengan sisa keberanian, Teh Riri mengintip dari balik jendela kecil di
samping pintu. Apa yang ia lihat membuat lututnya lemas. Di luar berdiri sosok
kecil, jauh dari gambaran manusia. Tubuhnya pendek, botak mengilap, kulitnya
kusam kehijauan, dan matanya menyala merah kehitaman. Wajahnya datar, namun ada
kesan buas yang membuat siapa pun ingin lari.
Salam ketiga terdengar. Kali ini disertai ancaman. Jika pintu tidak dibuka,
ia akan masuk dengan paksa.
Ketakutan Teh Riri memuncak. Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin
mengalir tanpa henti. Dalam kondisi panik yang tak tertahankan, ia bahkan tak
mampu menahan diri—air seni mengalir begitu saja. Dengan tangan bergetar, ia
perlahan membuka pintu.
Di hadapannya berdiri sosok itu dengan jelas. Tingginya kira-kira setara
anak usia tujuh tahun. Tubuhnya pendek dan gemuk, perutnya sedikit menonjol.
Kepalanya botak, telinganya lebar, dan dari mulutnya tampak taring kecil yang
mencuat. Matanya merah hitam, menatap tajam namun penuh rasa memiliki.
Makhluk itu tersenyum aneh dan menyapanya dengan suara berat, “Bagus… sini,
Nduk. Keluar, Nduk.”
Sapaan itu membuat Teh Riri semakin gemetar. Makhluk itu lalu memperkenalkan
dirinya sebagai penguasa wilayah tempat studio berdiri. Dialah yang menjaga,
mengatur, dan menguasai semua makhluk halus di area tersebut. Suaranya
terdengar congkak, namun juga seolah menuntut pengakuan.
Ia lalu bertanya sesuatu yang terdengar aneh, “Kamu tahu Rujak Wuni?”
Dalam kebingungan, Teh Riri menggeleng pelan. Makhluk itu terkekeh. Ia
menjelaskan bahwa Rujak Wuni bukanlah buah atau makanan biasa. Itu adalah
persembahan—daging mentah yang disiapkan khusus untuknya oleh orang-orang
tertentu. Mendengar itu, Teh Riri nyaris kehilangan kesadaran. Ia tidak pernah
tahu, tidak pernah terlibat, dan tidak pernah menginginkan hal-hal semacam itu.
Dengan suara bergetar, Teh Riri menjelaskan bahwa dirinya hanya seorang
penyiar. Ia bekerja untuk mencari nafkah, tidak berniat mengganggu siapa pun,
apalagi wilayah makhluk lain. Ia memohon dengan tulus agar tidak diganggu dan
dibiarkan bekerja dengan tenang.
Respons makhluk itu justru di luar dugaan. Nada suaranya melunak. Ia
mengatakan bahwa Teh Riri tidak perlu takut. Justru sebaliknya, ia akan
melindunginya. Menurutnya, ada seseorang di lingkungan kerja yang iri dan
berniat tidak baik kepada Teh Dewi. Ia mengklaim telah mengetahui niat jahat
tersebut, dan sebagai penguasa wilayah, ia tidak menyukai kekacauan yang tidak
perlu.
Dalam ketakutan yang masih tersisa, Teh Riri memberanikan diri meminta satu
hal. Ia meminta makhluk itu menunjukkan wujud aslinya, agar ia tidak lagi
merasa takut oleh ketidakpastian. Permintaan itu tampaknya membuat makhluk
tersebut tertarik. Tanpa peringatan, tubuh kecil itu berubah.
Dalam sekejap, sosok di depannya membesar luar biasa. Tubuhnya menjulang
tinggi hingga hampir menyentuh atap halaman. Kulitnya berubah hijau pekat,
otot-ototnya menggelembung, wajahnya menyerupai raksasa dalam dongeng—Buta
Hijau. Aura yang terpancar begitu kuat hingga Teh Riri berteriak histeris dan
mundur beberapa langkah, nyaris terjatuh.
Melihat reaksinya, makhluk itu tertawa keras. Sekejap kemudian, wujud
raksasa itu menyusut kembali menjadi sosok cebol semula. Dengan nada datar, ia
berpesan agar Teh Riri kembali tidur, tetap salat, dan tidak melupakan jati
dirinya. Ia mengatakan bahwa leluhur Teh Riri adalah orang-orang pintar,
orang-orang yang patut dihormati, dan itulah sebabnya ia datang sendiri menemui
Teh Dewi, bukan mengutus yang lain.
Setelah itu, makhluk tersebut pergi. Ia berjalan menjauh dengan langkah
aneh, seperti tuyul—ketuk, ketuk, ketuk—semakin lama semakin cepat, hingga
akhirnya menghilang di kegelapan halaman.
Teh Riri terduduk lemas di lantai. Pintu masih terbuka, udara subuh masuk
perlahan. Tangisnya pecah, bukan hanya karena takut, tetapi karena menyadari
satu hal: malam itu, penguasa wilayah telah datang sendiri menemuinya. Dan
sejak saat itu, hidupnya di studio radio itu tak akan pernah sama lagi.
