Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Penyingkapan Jati Diri: Aku Semar, Pamomong Tanah Jawa
Perjalanan
Batin Sang Sunan Bagian Penyingkapan Jati Diri: Aku Semar, Pamomong Tanah Jawa
Setelah
membicarakan tentang ego, suasana di Alas Mentaok kembali berubah. Cahaya yang
menyelimuti sosok kecil itu tampak berdenyut lebih kuat. Sosok kecil itu
perlahan berdiri. Gerakannya pelan dan tenang, namun setiap gerakan membawa
getaran halus yang menjalar hingga ke tanah. Kalijaga langsung menegakkan
tubuhnya, mengetahui bahwa momen ini bukan momen biasa.
Cahaya di tubuh
sosok itu semakin terang, tidak menyilaukan, justru terlihat seperti cahaya
yang berasal dari tempat yang sangat jauh, tempat yang tidak bisa dijangkau
oleh mata manusia. Kemudian, sosok itu menatap langit sejenak sebelum
memalingkan wajahnya kepada Kalijaga. Tatapannya berubah—lebih dalam, lebih
tua, lebih menggetarkan jiwa. Suara lembut itu kembali mengalir, kali ini lebih
kuat, seakan tidak hanya berbicara pada Kalijaga tetapi juga pada seluruh
hutan.
"Kowe
wis dak paring pituduh, saiki wayahe kowe ngerti sapa sing ana ing
arepmu." (Engkau sudah Kuberi petunjuk,
sekarang saatnya engkau tahu siapa yang ada di hadapanmu.)
Kalijaga menahan
napas. Sejak awal, ia sudah merasa bahwa sosok ini bukan makhluk biasa. Ia
hanya menunggu dengan hati yang penuh kerendahan.
Tiba-tiba, tanah
bergetar pelan. Cahaya yang mengelilingi sosok kecil itu naik sedikit membentuk
lingkaran seperti mahkota tipis. Udara sekitar berubah menjadi lebih dingin
sekaligus hangat—perasaan yang sulit dijelaskan namun sangat nyata. Kalijaga
membungkukkan kepalanya dalam-dalam tanpa sadar. Seolah tubuhnya secara
otomatis memberi hormat.
Dengan suara yang
penuh wibawa, sosok itu berbicara lagi:
"Aku
sing ngancani para satria. Aku sing lindungi tanah iki. Aku sing nuntun
wong-wong sing kudu melaku ing dalan pepadang." (Aku yang menyertai para kesatria. Aku yang melindungi
tanah ini. Aku yang menuntun orang-orang yang harus berjalan di jalan terang.)
Kalijaga tertegun.
Ia mulai menyusun potongan petunjuk dalam pikirannya: Sosok kecil berperut
buncit, bercahaya lembut, penuh wibawa, dipandang sebagai penjaga tanah Jawa
dan menjadi penuntun para kesatria. Hatinya berdebar kencang. Ia menelan ludah,
menunggu pengakuan terakhir.
Sosok itu kemudian
menunduk sedikit, memberi penghormatan kecil—bukan kepada Kalijaga, tetapi
sebagai tanda bahwa ia akan mengungkapkan sesuatu yang sangat besar.
"Aku
Semar."
Kata
itu menghantam dada Kalijaga seperti kilat. Ia langsung bersujud tanpa mampu
menahan diri. Air matanya mengalir deras. Nama itu bukan sekadar nama. Semar adalah Pamomong (Pengasuh)
para raja, sosok agung dari alam gaib yang menjaga keseimbangan Jawa. Makhluk
luhur yang menyamar dalam rupa sederhana untuk menyertai manusia. Ia bukan
wayang semata, melainkan Wujud Kebijaksanaan
yang telah ada jauh sebelum banyak kerajaan berdiri.
"Nyuwun Sewu, Rama!" ucap Kalijaga dengan suara yang
bergetar. "Panjenengan terlalu mulia untuk hamba pandang langsung."
Semar tersenyum,
senyum yang penuh kasih dan kehangatan.
"Kowe
ora salah tak pilih," katanya pelan. "Amarga atimu wis siap nampa bebener sing luwih jero."
(Engkau tidak salah Kupilih. Karena hatimu sudah siap menerima kebenaran yang
lebih dalam.)
Kalijaga merasakan
lututnya lemas. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu Semar, apalagi
menerima petunjuk langsung darinya. Semua ajaran yang ia terima sejak awal
malam itu kini tampak jauh lebih jelas. Ia sedang dibimbing oleh pamomong agung
yang telah menjaga tanah Jawa selama berabad-abad.
Semar duduk
kembali, menatap Kalijaga dengan lembut.
"Ana
telung lapisan ing agama sing wis dak bukak. Nanging perjalananmu durung
rampung." (Ada tiga lapisan dalam agama
yang sudah Kubuka. Tetapi perjalananmu belum selesai.)
Malam itu menjadi
titik perubahan besar dalam hidupnya. Ia datang dengan hati gelisah, tetapi
kini ia duduk di hadapan Semar, Guru dari alam gaib, siap menerima wejangan
yang akan menentukan masa depannya sebagai penerang tanah Jawa.
Kontributor: Akang Marta
