Legenda Kisah Syekh Nurdjati: Mahakarya Pesantren Pesambangan Jati
Mahakarya Pesantren
Pesambangan Jati
Di tengah kesibukan dakwahnya yang
makin meluas, takdir kembali menenun sebuah kisah indah. Syekh Nurjati bertemu
dengan Khadijah, seorang janda yang salihah dan berwibawa.
Khadijah bukanlah wanita biasa. Ia adalah cucu dari Haji Purwaguh, orang
pertama dari Tatar Sunda yang menunaikan ibadah haji, sebuah kehormatan besar
pada masa itu. Ia juga mewarisi kekayaan melimpah dari mendiang suaminya,
seorang saudagar kaya raya dari Hadramaut.
Kekayaan yang diberkahi bertemu
dengan ilmu yang suci. Syekh Nurjati menikahi Khadijah, dan persatuan mereka
menjadi pilar bagi sebuah mahakarya abadi.
Dengan seluruh harta warisan yang
dimiliki Khadijah, mereka tidak membangun istana megah untuk diri sendiri.
Mereka membangun sebuah pusat pendidikan Islam. Berdirilah Pondok Pesantren Pesambangan Jati.
Pesantren ini menjadi mata air ilmu pertama di wilayah Cirebon dan yang tertua kedua di seluruh Jawa Barat, setelah pesantren Syekh
Quro di Karawang. Pesantren Pesambangan Jati segera menjelma menjadi mercuar yang memancarkan cahaya ilmu ke seluruh penjuru,
menarik santri dari segala lapisan masyarakat dan segala penjuru negeri.
Dari pernikahan ini lahir pula
seorang putri bernama Nyi Ageng Muara, yang menjadi simbol
berakarnya Syekh Nurjati dan ajarannya di tanah Jawa.
Menariknya, dunia dakwah saat itu
adalah sebuah jaringan keluarga yang erat. Syekh Quro, pendiri
pesantren di Karawang, ternyata adalah saudara sepupu dari istri pertama Syekh
Nurjati, Syarifah Halimah. Mereka semua terhubung dalam satu garis keturunan
dan satu misi suci.
Kisah Syekh Nurjati adalah epik
tentang pengorbanan agung. Ia meninggalkan empat anak di puncak kemuliaan
Baghdad untuk menyalakan pelita bagi ribuan jiwa di tanah Jawa. Dan di tanah
yang baru itu, Allah memberinya keluarga baru, pengikut yang setia, dan sebuah
warisan abadi yang cahayanya tak pernah padam: Pesantren Pesambangan Jati.
Kontributor: Akang Marta
