Fasilitas Baru dan Intrik Keirian Manusia
Fasilitas Baru dan Intrik Keirian Manusia
Kisah
Nyata Sang Penyiar Radio
Penulis: Akang Marta
Pagi itu
matahari baru saja naik ketika Teh Riri dipanggil menghadap ke kantor bos.
Tubuhnya masih terasa lelah setelah malam panjang yang dipenuhi pertemuan
mencekam dengan Ki Gede. Namun ia berusaha bersikap biasa saja, menata wajah
agar tampak segar, seolah tidak terjadi apa-apa semalam. Ia menyadari, di dunia
manusia, cerita tentang dunia gaib sering kali justru dianggap sebagai tanda
kelemahan atau halusinasi.
Saat
memasuki ruang kantor, suasana terasa berbeda. Bos menyambutnya dengan sikap
yang lebih serius dari biasanya. Bahkan, ada kesan protektif yang belum pernah
Teh Riri rasakan sebelumnya. Ia dipersilakan duduk, lalu bos bertanya dengan
nada yang terkesan peduli, apakah ia merasa nyaman tinggal di studio dan apakah
ada kebutuhan yang belum terpenuhi.
Bos lalu
menjelaskan bahwa, demi keamanan dan kenyamanan, Teh Riri akan mendapatkan
perbaikan dan penambahan fasilitas di kamarnya. Ia tidak perlu sungkan meminta
apa pun yang dirasa perlu. Kasur baru, kulkas, kompor, peralatan makan, bahkan
perlengkapan kecil seperti ember dan rak—semuanya akan disediakan agar Teh Riri
tidak perlu sering keluar-masuk studio, terutama di malam hari.
Teh Riri sempat
terdiam. Ia merasa canggung menerima perhatian sebesar itu. Namun mengingat
kondisi studio yang jauh dari permukiman dan pengalaman-pengalaman aneh yang
telah ia alami, ia akhirnya mengiyakan dengan penuh kehati-hatian. Beberapa
kebutuhannya disampaikan, tidak berlebihan, sekadar agar ia bisa hidup lebih
layak selama bertugas.
Tak
disangka, semua permintaan itu dipenuhi dengan cepat. Barang-barang baru didatangkan
langsung dari pabrik, masih terbungkus rapi. Kasur empuk menggantikan alas lama
yang tipis dan bau apek. Kulkas baru berdiri di sudut kamar. Kompor, piring,
sendok, hingga peralatan dapur kecil lainnya tersusun rapi. Kamar belakang
studio yang sebelumnya terasa dingin dan menyeramkan, mendadak tampak lebih
manusiawi.
Namun, di
balik kenyamanan baru itu, benih masalah mulai tumbuh.
Perhatian
khusus dari bos ternyata tidak luput dari pengamatan orang-orang di sekitar.
Ada satu sosok yang sangat dekat dengan bos—orang yang selama ini merasa
memiliki kuasa lebih di studio. Melihat Teh Riri mendapat fasilitas dan
perlakuan istimewa, hatinya terbakar oleh iri dan dengki. Baginya, kehadiran
Teh Riri bukan hanya ancaman profesional, tetapi juga ancaman terhadap
posisinya.
Teh Riri sebenarnya
merasakan perubahan sikap itu. Tatapan yang dulu biasa saja, kini terasa
dingin. Senyum yang muncul terasa dipaksakan. Namun ia memilih diam.
Pengalamannya berhadapan dengan makhluk gaib justru membuatnya belajar satu
hal: tidak semua bahaya datang dengan wajah seram. Ada yang datang dengan wajah
manusia dan senyum palsu.
Fasilitas
baru itu hanya bertahan tiga hari.
Pada hari
keempat, Teh Riri mengambil jatah libur untuk pulang ke rumah. Ia meninggalkan
studio dengan perasaan campur aduk—antara senang bisa berkumpul dengan keluarga
dan sedikit waswas meninggalkan kamar barunya. Namun ia tidak menyangka bahwa
ketidakhadirannya justru menjadi kesempatan bagi niat jahat untuk dijalankan.
Beberapa
hari kemudian, saat Teh Riri kembali ke studio, perasaannya langsung tidak
enak. Begitu membuka pintu kamar, ia mendapati suasana yang sangat berbeda.
Kasur empuk yang baru ia nikmati lenyap. Kulkas barunya berganti dengan kulkas
tua yang pintunya copot dan tidak dingin. Peralatan dapur yang bersih dan
mengilap berubah menjadi barang-barang lama yang kusam dan berkarat.
Teh Riri berdiri
terpaku. Kepalanya pusing. Ia merasa seperti ditampar kenyataan. Semua barang
barunya hilang, diganti dengan barang bekas yang jelas bukan miliknya. Hatinya
langsung diliputi ketakutan lain—bukan takut pada makhluk gaib, melainkan takut
dituduh menjual atau menghilangkan barang milik perusahaan.
Dalam
kebingungan, ia bertanya kepada tetangga yang biasa berjualan masakan di depan
studio. Dengan raut wajah ragu, tetangga itu akhirnya bercerita bahwa pada
malam hari, ia melihat seseorang memindahkan barang-barang dari kamar Teh Dewi.
Orang itu bukan orang asing. Ia adalah sosok yang sangat dekat dengan bos. Dan
yang lebih mengejutkan, orang itu ternyata memegang kunci duplikat kamar Teh
Dewi.
Mendengar
itu, tangan Teh Riri bergetar. Dadanya terasa sesak. Tanpa menunda, ia langsung
menghubungi bos. Dengan suara tertahan, ia menjelaskan apa yang terjadi, bukan
dengan nada mengadu, melainkan demi melindungi dirinya sendiri. Ia takut jika
diam, justru ia yang akan disalahkan.
Bos marah
besar. Amarahnya meledak begitu mendengar penjelasan Teh Dewi. Ia langsung
melabrak oknum tersebut tanpa basa-basi. Keributan pun terjadi. Suasana studio
yang biasanya sunyi, mendadak panas oleh konflik manusia.
Tak lama
kemudian, Teh Riri justru dimarahi oleh oknum yang iri itu. Ia dituduh mengadu
dan mencari muka. Kata-kata kasar dilontarkan tanpa rasa malu. Teh Riri menahan
air mata. Dengan suara gemetar namun tegas, ia membela diri. Ia mengatakan
bahwa ia hanya ingin mengamankan diri agar tidak dituduh menjual atau
menghilangkan barang-barang baru.
Konflik
itu meninggalkan luka batin yang dalam. Teh Riri tersadar akan satu ironi
pahit: selama ini ia menghadapi Kuntilanak, Buta Cebol, dan berbagai makhluk
gaib tanpa dendam atau niat jahat. Namun justru manusia—sesamanya—yang tega
berbuat licik, iri, dan merugikan.
Malam
itu, saat ia kembali ke kamarnya yang kembali sederhana dan tak nyaman, Teh Riri
teringat perkataan Ki Gede. Bahwa ada manusia yang iri dan berniat jahat
padanya. Kini ia paham sepenuhnya makna peringatan itu.
Gangguan
gaib mungkin menakutkan, tetapi intrik dan kejahatan manusia jauh lebih
menyakitkan. Dan sejak saat itu, Teh Riri belajar satu pelajaran penting: di
studio radio angker itu, bukan hanya makhluk halus yang harus diwaspadai,
melainkan juga hati manusia yang dipenuhi iri dan dengki.
