Ads

Seruan Otoritas Jati Diri dan Kesetaraan dalam Keberagaman

 

Seruan Otoritas Jati Diri dan Kesetaraan dalam Keberagaman: Manajemen Hidup Antara Pendek dan Abadi

Ditulis ulang berdasarkan ceramah Cak Nun di Kenduri Cinta oleh: Akang Marta



Otentisitas dan Keabadian: Menyelami Dua Pilar Pemikiran Cak Nun

Tulisan opini publik ini mendalami intisari pemikiran Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang disampaikan dalam forum Kenduri Cinta, terutama fokus pada dua pilar fundamental manajemen hidup dan spiritualitas.

Pilar pertama adalah Keotentikan dalam Komunikasi Beragama. Cak Nun menyerukan agar individu meninggalkan segala bentuk kepura-puraan sosial dan politik. Beragama dan berkomunikasi haruslah dilakukan secara jujur, bebas dari topeng kepentingan sesaat atau pencitraan publik. Keotentikan ini menjadi prasyarat untuk setiap pergerakan sosial dan spiritual yang sejati.

Pilar kedua adalah pemahaman mendalam tentang Manajemen Kehidupan yang terbagi atas Finite Game (permainan berbatas) dan Infinite Game (permainan tak berbatas). Finite Game mencakup segala hal yang bersifat sementara dan memiliki tujuan akhir—seperti politik lima tahunan, jabatan, atau kepentingan fisik yang fana. Sebaliknya, Infinite Game adalah ranah keabadian yang tidak memiliki akhir, diwakili oleh keutuhan jiwa, relasi seumur hidup, dan pengabdian jangka panjang kepada nilai-nilai luhur.

Inti dari keseluruhan pandangan Cak Nun adalah sebuah seruan tegas untuk hidup dalam ranah keabadian. Individu didorong untuk mengabdikan energi mereka bukan pada kemenangan Finite Game yang cepat berlalu, melainkan pada pemeliharaan Infinite Game—yaitu membangun keutuhan batin, komitmen moral, dan kesetiaan pada tugas kemanusiaan yang abadi. Hanya dengan mengutamakan Infinite Game, seseorang dapat mencapai kematangan dan kebijaksanaan sejati.

Keagungan Al-Hayiyu: Rasa Malu Ilahi dan Keberanian Otentik Manusia

Penulis mengangkat konsep fundamental tentang harga diri dan rasa malu yang telah lama dipegang teguh dalam masyarakat: "lebih baik saya mati daripada malu" (putih tulang daripada putih mata). Rasa malu (putih mata) dinilai lebih buruk daripada kematian (putih tulang). Secara filosofis, ini menempatkan martabat spiritual di atas keberadaan fisik.

Dalam konteks spiritual, penulis menyinggung sebuah ironi agung dengan merujuk pada salah satu asma Allah: Al-Hayiyu (Yang Maha Pemalu). Tuhan digambarkan memiliki rasa malu, terutama malu jika tidak mengabulkan doa hamba-Nya yang telah berjuang dan memohon dengan sungguh-sungguh. Rasa malu Ilahi ini menjadi basis rahmat dan kasih sayang-Nya.

Namun, realitas modern justru terbalik. Ada semacam Keluhan Ilahi yang tersirat: "Gimana si wong aku ini pemalu sekali kok kalian manusia makin tidak tahu maklum." Manusia modern cenderung kehilangan rasa malu dan maklum—terhadap diri sendiri dan orang lain—sementara Tuhan justru menggunakan rasa malu-Nya sebagai basis interaksi.

Penulis menegaskan bahwa fondasi moral yang benar harus diawali dengan sikap otentik terhadap diri sendiri. Ia secara pribadi menyatakan tidak memiliki kepuasan dalam menyalahkan orang lain. Sebaliknya, ia sangat senang menemukan kesalahan pada dirinya sendiri, sebuah sikap yang mendukung otentisitas dan penemuan diri. Sikap ini, yakni mengakui dan menikmati penemuan kekurangan diri, merupakan fondasi moral esensial sebelum seseorang berhak membahas atau menerapkan manajemen hidup yang lurus dan beretika.

Pernikahan sebagai Infinite Game: Mengutamakan Keabadian Relasi

Pemikiran ini berpusat pada pemisahan mendasar antara aspek kehidupan yang bersifat sementara (Finite Game) dan yang bersifat abadi (Infinite Game). Dikotomi ini secara tegas diterapkan dalam konteks Ranah Keluarga dan relasi pernikahan.

Masalah sehari-hari dalam rumah tangga, seperti perdebatan memilih menu makan, pertengkaran kecil, atau urusan domestik lainnya, adalah contoh Finite Game. Ini adalah urusan jangka pendek yang memiliki batas awal dan akhir. Namun, hakikat Pernikahan adalah Infinite Game—sebuah keabadian relasi yang disatukan oleh komitmen seumur hidup dan, terutama, oleh kehadiran anak-anak. Infinite Game ini adalah relasi yang tidak bisa dan tidak boleh diakhiri.

Penulis berargumen bahwa tolok ukur yang bersifat jangka pendek dan fana tidak relevan dalam pernikahan abadi. Kriteria awal seperti kecantikan fisik, ketampanan, keseksian, atau kelembutan adalah hal yang temporal. Fisik adalah fana ("umur 40 sudah enggak bisa dilihat," mengutip guyonan tentang 'Quran suwek'). Oleh karena itu, cinta harus bertransisi, beralih dari ukuran dangkal (fisik, santun) menuju ukuran yang abadi: kesetiaan, penerimaan tanpa syarat, dan komitmen spiritual.

Rumah tangga yang benar dan sehat tidak mengenal konsep kalah-menang. Konsep kalah-menang adalah urusan pendek yang hanya berlaku dalam Finite Game. Dalam Infinite Game pernikahan, tujuannya bukan untuk memenangkan argumen, melainkan untuk memastikan relasi terus berlanjut dan menguat dalam keabadian.

Melawan Ancaman '3C': Mencari Interkoneksi antara Kedangkalan dan Kedalaman

Penulis menyoroti ancaman nyata yang mendera kehidupan modern, yaitu hegemoni mentalitas '3C': Cekak, Cetek, dan Ciut. Istilah ini merujuk pada cara berpikir yang: Cekak (sempit dan pendek visinya), Cetek (dangkal dalam analisisnya), dan Ciut (terbatas cakupan ke depannya). Mentalitas 3C ini telah merasuki seluruh dimensi kehidupan, mulai dari politik, kebudayaan, ekonomi, bahkan hingga cara beragama. Hasilnya adalah masyarakat yang reaktif, tidak substansial, dan mudah terpecah belah.

Untuk mengatasi jebakan 3C, manusia didorong untuk mengedepankan analisis, kelengkapan, dan interkoneksi.

Interkoneksi adalah kunci utamanya. Penulis mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati bukanlah tentang berpihak pada yang "panjang" (mendalam, luas) atau yang "pendek" (dangkal, sempit), melainkan tentang kemampuan untuk mengerti peran keduanya dan menemukan titik temu serta kerja sama yang harmonis di antara mereka. Kedangkalan (cetek) diperlukan untuk kepraktisan, dan kesempitan (cekak) dibutuhkan untuk fokus, karena hidup tidak bisa selamanya "longgar" atau abstrak.

Prinsip ini mengarah pada Kesetimbangan. Seseorang yang otentik tidak akan menghina yang dangkal hanya karena ia merasa mendalam, atau merendahkan kesempitan karena ia merasa luas. Sikap yang benar adalah mengerti bahwa setiap ranah memiliki peran dan waktu yang tepat. Keutuhan (kelengkapan) tercapai ketika kita mampu bergerak secara cair di antara kedalaman filosofis dan kepraktisan yang dangkal, memastikan bahwa kedua kutub tersebut saling menopang, bukan saling meniadakan.

Dikotomi Finite dan Infinite Game: Krisis Kepentingan Jangka Pendek

Penulis menggunakan kerangka dikotomi Finite Game dan Infinite Game untuk mengkritik kegagalan fundamental dalam manajemen kenegaraan saat ini. Negara harus dipahami sebagai Infinite Game—sebuah entitas abadi yang keberadaannya tidak memiliki rencana untuk diakhiri, menuntut visi dan program jangka panjang (ideal 30 hingga 200 tahun). Sebaliknya, Pemerintah adalah Finite Game—sebuah tim sementara yang terikat pada jangka waktu pendek, yaitu kontrak kekuasaan lima tahun.

Kritik Utama penulis berpusat pada pertanyaan esensial: Siapa yang seharusnya mengabdi kepada siapa? Logika yang sehat menuntut agar Pemerintah yang berjangka pendek harus mengabdi, menyesuaikan, dan melayani kepentingan strategis jangka panjang Negara. Namun, Realitas Cacat yang terjadi justru sebaliknya. Penulis menyimpulkan adanya keanehan manajemen yang menyimpang: "Sesuatu yang abadi taat kepada sesuatu yang sementara, sesuatu yang panjang taat kepada sesuatu yang pendek."

Pemerintah, yang bertindak layaknya seorang sprinter dengan insentif jangka pendek, enggan berinvestasi pada kebijakan atau proyek baik yang hasilnya baru dapat dinikmati oleh pemerintahan atau Presiden berikutnya. Fokus hanya pada hasil elektoral lima tahunan mengorbankan kesinambungan pembangunan dan program strategis nasional. Kegagalan untuk menempatkan kepentingan Infinite Game di atas Finite Game ini telah menjadi penyakit kronis yang menghambat kemajuan fundamental bangsa.

Cacat Manusia Modern: Sinkronisasi Sprint, Bukan Maraton Kehidupan

Penulis menengarai adanya 'cacat' fundamental pada manusia modern, yang dipaksa hidup dengan manajemen sprint—serba cepat, fokus instan, dan terkotak-kotak. Kontrasnya, kehidupan ideal menuntut ritme maraton yang membutuhkan pacing yang tepat, napas panjang, irama stabil, dan stamina keseluruhan. Manusia modern, yang terus-menerus berlari cepat tanpa jeda, akhirnya kehilangan kelengkapan dan keutuhan diri.

Penyebab utama 'cacat' ini adalah sistem pendidikan formal. Penulis mengkritik keras bahwa institusi yang ada hanyalah kumpulan Fakultas-Fakultas (studi yang terkotak-kotak/fakultatif), bukan Universitas sejati yang harusnya menyajikan keutuhan. Universitas saat ini hanyalah "paguyuban fakultas-fakultas" yang menghasilkan manusia 'sepertiga'. Sarjana, sehebat apapun gelar atau bidangnya, hanya lulusan fakultatif yang unggul di satu sisi (misalnya, intelektual tok), namun mengabaikan dimensi spiritual, emosional, dan kebijaksanaan.

Kondisi ini membuat manusia modern kehilangan keseimbangan jiwa, yang seharusnya menjadi bekal untuk menjalani maraton kehidupan.

Dalam kontras yang tajam, Maiyah digambarkan sebagai Universitas sejati—meskipun tidak formal—karena menyediakan keutuhan, keseimbangan, dan kelengkapan jiwa yang gagal diberikan oleh pendidikan formal. Partisipan Maiyah dianggap sebagai "sarjana universitas" karena prosesnya membantu mereka menjadi lebih tenang, matang, dan bijaksana. Kebijaksanaan ini menjadikan mereka tempat orang bertanya dan menyelesaikan masalah, menunjukkan bahwa keutuhan jiwa adalah prasyarat menjadi solusi, bukan sekadar pelari sprint yang lelah.

 

Dilema Kontrak Negara: Outsourcing Kepemimpinan vs. Kontrak Seumur Hidup Aparatur

Penulis menyoroti adanya jurang filosofis mendasar dalam manajemen negara saat ini, yaitu ketidakseimbangan antara langkah Pemerintah yang sifatnya sementara dan langkah Negara yang seharusnya bersifat abadi. Fokus utama kritik terletak pada sifat kontrak kepemimpinan tertinggi. Presiden memiliki status 'outsourcing' dengan durasi kontrak terbatas lima tahun. Ironisnya, pemimpin yang berjangka pendek ini menaungi dan memimpin Aparatur Sipil Negara (ASN) yang justru memiliki kontrak seumur hidup.

Ini menciptakan Absurditas Manajemen yang menohok: "Mengapa sekarang yang sepanjang hidup disuruh taat kepada yang outsourcing?"

Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan cerminan dari landasan manajemen negara yang secara filosofis sudah terbalik atau 'salah di hulu'. Pembuat kebijakan strategis dan jangka panjang (Presiden/Pemerintah) hanya memiliki insentif jangka pendek (lima tahun), sementara pelaksana operasional yang harus menjaga kesinambungan (ASN) justru memiliki komitmen seumur hidup. Hal ini sangat berpotiko pada kebijakan yang lebih mengutamakan popularitas politik jangka pendek daripada keberlanjutan dan kepentingan nasional jangka panjang.

Akibat Hilir dari landasan manajemen yang keliru ini terwujud dalam berbagai aspek, termasuk proses politik itu sendiri. Jika pondasi manajemen negara sudah goyah dan diselimuti kepentingan sesaat, maka hasil di hilir, seperti dinamika Pilpres, kualitas calon pemimpin yang muncul, atau kebijakan publik yang dihasilkan, hanyalah manifestasi dan akibat logis dari kesalahan filosofis tersebut. Fenomena hilir ini menjadi penanda, bukan masalah utama, yang justru terletak pada desain kontrak dan insentif di tingkat hulu.

Bahagia Otentik: Merdeka dari Kepemilikan dan Finite Game

Penulis menutup dengan kekhawatiran personal: ia takut audiens salah sangka dan menganggapnya sebagai figur yang "memiliki" mereka. Penulis menekankan pentingnya Kemerdekaan dari Kepemilikan; ia tidak ingin mengklaim kepemilikan audiens ("saya tidak ingin memiliki Anda"), karena yang berhak memiliki umat hanyalah Nabi Muhammad SAW. Dengan melepaskan tuntutan kepemilikan ini, ia menjadi merdeka.

Ranah Maiyah ditekankan sebagai wadah Kebahagiaan dan Keutuhan. Ciri utama orang Maiyah adalah bahagia (melampaui sekadar gembira), yang muncul dari jiwa yang sehat, seimbang, dan utuh—mencapai keseimbangan mental, intelektual, hati, dan perasaan. Keutuhan ini memastikan seseorang tidak memiliki ruang untuk berbuat buruk.

Sebagai kesimpulan, penulis menegaskan bahwa perjuangan pendek (finite game), seperti politik dan pertengkaran, boleh terjadi, asalkan selalu ditempatkan dalam rangka perjuangan panjang (infinite game). Orientasi utama haruslah pada kehidupan abadi, keutuhan jiwa, dan pengabdian pada nilai-nilai yang abadi. Kebahagiaan otentik dicapai bukan melalui kepura-puraan atau kemenangan singkat, melainkan dengan memprioritaskan nilai-nilai yang tak lekang oleh waktu.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel