Ads

Legenda Kisah Syekh Nurdjati: Tiga Musafir Agung di Giri Amparan Jati (Lanjutan)

 

Tiga Musafir Agung di Giri Amparan Jati (Lanjutan)



Di bawah langit Pesambangan, nama Syekh Nurjati bergaung laksana gema yang menenangkan. Dakwahnya yang penuh hikmah dan kesejukan telah menyentuh ribuan jiwa, mengubah Bukit Amparan Jati menjadi mata air spiritual bagi mereka yang dahaga. Pondok pesantrennya yang sederhana namun sarat ilmu menjadi tujuan para pencari kebenaran.

Hingga pada suatu hari yang cerah, tiga sosok muda dengan aura ningrat yang tak bisa disembunyikan tiba di gerbang pesantren. Mereka adalah Pangeran Walang Sungsang bersama istrinya yang setia, Nyi Indang Gelis (putri dari Ki Gedeng Danu Warsih, saudara seibu Ki Gedeng Tapa), dan didampingi sang adik, Nyimas Ratu Rara Santang.

Mereka bukan sekadar tamu biasa, mereka adalah cucu dari Ki Gedeng Tapa, sang penguasa pelabuhan, yang darinya Sang Syekh mendapat izin pertama untuk berdakwah. Dan yang lebih menggetarkan, mereka adalah darah daging dari Prabu Siliwangi, Maharaja Agung Pajajaran, Raja terkuat di seantero Tatar Sunda.

Namun, mereka tidak datang dengan kereta kencana atau pengawalan prajurit yang gagah perkasa. Mereka datang laksana musafir yang menanggalkan segala atribut duniawi, dengan langkah yang mantap namun hati yang menyimpan sebuah rahasia besar. Mereka telah melarikan diri dari istana. Ini bukanlah pelarian karena haus kekuasaan, melainkan karena dahaga akan iman.

Ibunda mereka, Nyi Subanglarang, sang permaisuri muslimah, telah berpulang ke haribaan Ilahi. Sebelum menghembuskan napas terakhir, ia membisikkan sebuah wasiat suci kepada anak-anaknya.

“Carilah cahaya sejati. Pergilah ke Gunung Jati. Perdalamlah agama ayahandamu yang pertama—iman kepada Allah—dan agamaku.”

Wasiat itu menjadi kompas dalam hidup mereka, terutama ketika duka membuat sang ayah, Prabu Siliwangi, kembali memeluk keyakinan leluhurnya. Istana Pajajaran yang megah terasa hampa. Benteng keyakinan yang dibangun sang ibunda seakan terancam runtuh oleh arus tradisi. Maka, tanpa restu sang ayah, ketiganya memilih jalan takdir mereka sendiri, mengikuti bisikan wasiat sang ibunda menuju guru besar di Giri Amparan Jati.

Syekh Nurjati menyambut mereka dengan tatapan yang menembus hingga ke dasar jiwa. Ia melihat bukan hanya Pangeran dan Putri Pajajaran, melainkan dua jiwa cemerlang yang ditakdirkan untuk sebuah misi agung, mata rantai penting dalam penyebaran agama di tanah Jawa.

Saat menerima mereka sebagai santri, Sang Syekh mengangkat tangannya dan berdoa dengan suara bergetar:

“Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami dan anak-anak ini orang-orang yang menghidupkan agama-Mu, mulai hari ini hingga akhir zaman. Amin.”

Doa itu menjadi segel perjalanan mereka. Walang Sungsang, Nyi Indang Gelis, dan Rara Santang adalah murid-murid yang luar biasa cerdas. Api Islam telah dinyalakan oleh ibu mereka dan dikobarkan oleh guru mereka sebelumnya, Syekh Quro. Namun, Syekh Nurjati, dengan kearifannya yang mendalam, melihat sesuatu yang lebih penting. Mereka datang dari istana yang berbeda keyakinan; fondasi iman mereka harus diperkokoh hingga tak tergoyahkan oleh badai fitnah dan kekuasaan apapun.

Maka, di hadapan ketiga murid barunya, Syekh Nurjati memulai pelajaran bukan dari kitab-kitab yang rumit dan berat, melainkan dari titik nol.

“Anak-anakku,” ujarnya lembut, “meskipun api iman telah ada di hati kalian, hari ini kita akan menyalakannya kembali dari percikan yang paling murni.”

Ia meminta mereka bertiga untuk kembali mengucapkan dua kalimat syahadat. Bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai sebuah pengukuhan ulang, sebuah janji baru di hadapan Allah dan Sang Guru. Syekh Nurjati ingin memastikan mereka memahami makna setiap kata, meresapi getaran tauhid hingga ke tulang sumsum. Ini adalah cara Sang Guru untuk mengosongkan cawan jiwa mereka dari segala keraguan, untuk kemudian mengisinya kembali dengan air ilmu yang jernih.

Setelah itu, ia membentangkan di hadapan mereka permadani ajaran Islam yang utuh. Ia memulai dengan sebuah firman yang menggetarkan:

“Yā ayyuhalladzīna āmanū udkhulū fī al-silmi kāffah.” (QS Al-Baqarah [2]: 208)

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan.”

“Jangan ambil Islam sepotong-sepotong,” wejangnya. “Rangkullah ia seutuhnya! Dalam salatmu, dalam puasamu, dalam caramu memimpin, dalam caramu berniaga, bahkan dalam caramu menghadapi musuh. Iman adalah totalitas, anak-anakku.”

Ia kemudian membekali mereka dengan senjata spiritual yang dibutuhkan oleh seorang pewaris takhta yang menempuh jalan sunyi. Sebuah doa diajarkan kepada mereka, sebuah wirid untuk melunakkan hati yang keras dan menundukkan jiwa yang sombong:

“Yā Allāh, Anta Al-A’izzu wa anā ‘Abduka Adh-Dha’īfu. Tundukkanlah hati si fulan untukku sebagaimana Engkau menundukkan Firaun bagi Musa. Lunakkanlah hatinya untukku sebagaimana Engkau melunakkan besi bagi Daud.”

Syekh Nurjati tahu jalan yang akan ditempuh kedua muridnya ini akan penuh dengan tantangan. Mereka akan berhadapan dengan kekuasaan, kesombongan, dan kekikiran yang melekat pada tatanan lama. Doa itu adalah bekal mereka, sebuah kekuatan lunak yang lebih tajam daripada pedang manapun.

Pelajaran di Pesambangan Jati bukan sekadar transfer ilmu, melainkan sebuah proses penempaan. Di sanalah sang pangeran dan putri Pajajaran dilebur, dibentuk ulang, dan ditempa menjadi baja-baja pilihan yang kelak akan membangun pilar-pilar peradaban Islam di tanah Pasundan.

Kontributor: Akang Marta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel