Ads

Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Keheningan Setelah Gejolak: Menguak Isyarat Batin

 

Perjalanan Batin Sang Sunan Keheningan Setelah Gejolak: Menguak Isyarat Batin  



Setelah bayangan raksasa yang mewakili energi kosmik dan tekanan alamiah itu lenyap untuk kedua kalinya, suasana di Alas Mentaok berubah menjadi sangat berbeda. Tidak ada lagi tekanan yang menyesakkan dada, tidak ada lagi getaran halus yang memperingatkan bahaya. Yang tersisa hanyalah kesunyian yang begitu dalam. Sunyi itu bukan kekosongan, melainkan keheningan yang penuh kehadiran, seolah seluruh alam sedang duduk bersama sebagai saksi bisu dari peristiwa besar yang akan terjadi.

Sunan Kalijaga menatap sosok kecil berperut buncit itu dengan rasa hormat yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. Cahaya lembut yang melingkari tubuh sosok itu tampak seperti jubah keagungan dari dunia lain. Kekuatan sosok ini, yang mampu meredakan energi raksasa hanya dengan lambaian tangan, menegaskan bahwa ia sedang berhadapan dengan entitas yang jauh melampaui kemampuan manusia biasa—seorang Guru Agung dari dimensi spiritual.

Perlahan, sosok kecil itu bergerak. Ia menoleh sedikit, cukup untuk memperlihatkan separuh wajah yang penuh kebijaksanaan. Sorot matanya tidak tajam atau menakutkan, justru sangat teduh, seperti mata seorang tua yang melihat anaknya telah tiba di jalan yang benar. Di bibirnya terukir senyum tipis yang terkesan sangat tua, jauh lebih tua daripada usia yang bisa dibayangkan manusia. Senyum itu mengandung hikmah yang mengalir, membuat hati Kalijaga bergetar. Ia merasa sedang berada di hadapan guru besar yang tidak mengajar dengan kata-kata, tetapi mengajar melalui kehadiran dan wibawa.

"Assalamualaikum," ulang Kalijaga dengan suara yang lebih mantap, mencoba menegaskan niatnya. "Hamba datang mencari petunjuk. Jika panjenengan diutus oleh Tuhan untuk memberi cahaya, maka hamba mohon diarahkan."

Sosok kecil itu masih tidak menjawab secara lisan. Namun, kabut lembut bergerak dari tanah, naik perlahan seperti asap dupa yang mengalir tanpa terganggu angin. Kabut itu membentuk pola spiral di udara, bergerak mengelilingi mereka dengan ritme yang sangat teratur. Kalijaga tahu ini bukan sekadar pemandangan alam; ini adalah tanda isyarat bahwa ia telah memasuki sebuah ruang batin, ruang yang dipisahkan dari hiruk pikuk dunia manusia.

Kemudian, suara yang sama seperti sebelumnya muncul kembali. Suara yang tidak berasal dari mulut, tetapi langsung dari dalam dada Kalijaga sendiri, berbicara dalam bahasa halus yang tidak perlu diterjemahkan oleh telinga:

"Kowe teka amarga atimu wis dak bukak." (Engkau datang karena hatimu telah Kubuka.)

Kalijaga terdiam. Kata-kata itu menembus hatinya begitu dalam. Ia sudah lama merasakan kekosongan itu, sudah lama merasa seperti ada lapisan yang belum ia ketahui. Selama bertahun-tahun berdakwah, ia selalu merasa ada pintu yang hanya bisa diketuk tetapi tidak pernah ditarik dari dalam. Dan malam itu, pintu itu mulai terbuka sedikit demi sedikit.

Sosok kecil itu kemudian mengambil segenggam pasir dari tanah. Ia genggam sesaat, lalu dilepaskan. Butiran pasir itu jatuh membentuk garis tipis di tanah, seolah menggambar sesuatu yang hanya ia pahami. Setelah itu, ia menoleh sepenuhnya ke arah Kalijaga untuk pertama kalinya. Mata sosok kecil itu memancarkan ketenangan yang dalam, ketenangan seorang guru yang telah melihat banyak zaman dan banyak jiwa tersesat.

"Aning resah ing atimu iku dudu salah. Resah iku tanda yen Gusti maringi pituduh." (Adanya keresahan di hatimu itu bukanlah kesalahan. Resah itu adalah tanda bahwa Tuhan sedang memberimu petunjuk.)

Kalimat sederhana itu menghantam Kalijaga seperti angin hangat yang menyapu seluruh jiwanya. Selama ini, ia mengira kegelisahannya adalah kekurangan iman, kelemahan diri. Namun, sosok ini justru mengatakan bahwa keresahan itu adalah panggilan—tanda bahwa Tuhan sedang membimbingnya menuju kedalaman yang lebih sejati. Kalijaga menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa kegelisahannya bukan beban, tetapi sebuah panggilan yang disambut. Ia merasa diterima.

Kontributor: Akang Marta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel