Malam Rebo Wekasan dan Pertemuan Para Setan
Malam Rebo Wekasan dan Pertemuan Para Setan
Penulis:
Akang Marta
Malam itu
terasa berbeda sejak awal. Udara di sekitar studio radio terasa lebih berat,
seolah menekan dada dan membuat napas menjadi pendek. Angin tidak bertiup,
tetapi dedaunan di halaman belakang bergerak pelan, seperti disentuh oleh
sesuatu yang tak terlihat. Teh Riri merasakan firasat buruk bahkan sebelum Ki
Gede membuka pembicaraan.
Sosok
tinggi kurus dengan kaki panjang menyerupai bambu, yang sebelumnya muncul dari
sumur tua di sudut belakang studio, masih terbayang jelas di benaknya.
Kepalanya botak mengilap, lidahnya menjulur panjang, dan gerakannya
menghasilkan suara tok-lek-tok-lek seperti orang berjalan menggunakan egrang.
Sosok itu begitu mengerikan hingga membuat jantung Teh Riri serasa berhenti
berdetak.
Ki Gede,
yang berdiri di hadapannya dengan wujud cebolnya, menatap sumur itu dengan mata
menyala. Dengan suara berat dan penuh wibawa, ia menjelaskan bahwa makhluk
tersebut adalah jenis makhluk pemangsa yang sangat menyukai anak-anak kecil. Ia
sering menculik mereka pada waktu Maghrib, saat batas antara dunia manusia dan
dunia gaib dianggap paling tipis. Mendengar penjelasan itu, Teh Riri bergidik. Ia
teringat suara tangisan samar yang pernah ia dengar beberapa kali menjelang
Maghrib, yang selalu ia kira hanya imajinasinya sendiri.
Ki Gede
lalu menoleh kepadanya dan berkata dengan nada yang lebih serius dari biasanya.
Malam itu, katanya, bukan malam biasa. Itu adalah Malam Rebo Wekasan,
malam Rabu terakhir di bulan Safar, yang dalam kepercayaan Jawa dikenal sebagai
malam penuh bala dan petaka. Pada malam seperti ini, makhluk-makhluk halus
berkeliaran dengan lebih bebas, dan manusia dengan “tulang wangi” seperti Teh Riri
berada dalam bahaya besar.
“Orang
sepertimu tidak boleh keluar rumah,” kata Ki Gede. “Kalau nekat, musibahnya
bisa berat.”
Mendengar
itu, lutut Teh Riri terasa lemas. Ia sadar bahwa dirinya memang sering disebut
memiliki tulang wangi—istilah yang sejak kecil ia dengar dari orang-orang tua
di kampungnya. Istilah itu selalu membuatnya tidak nyaman, karena berarti ia
mudah “tercium” oleh makhluk gaib. Malam itu, ia hanya bisa mengangguk pelan,
menahan rasa takut yang semakin menguat.
Setelah
Ki Gede pergi, Teh Riri menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia tidak berani
menyalakan lampu terlalu terang, seolah takut cahayanya akan mengundang
perhatian. Ia duduk bersila di atas kasur, memeluk lutut, lalu mulai berwirid
dan berzikir sekuat yang ia bisa. Namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa
wiridnya terasa lemah. Pikirannya tidak sepenuhnya fokus; rasa takut terus
menyusup di sela-sela doa.
Jam
dinding berdetak pelan, tetapi setiap detiknya terasa seperti satu jam penuh.
Sekitar tengah malam, hawa di dalam kamar berubah drastis. Udara menjadi dingin
menusuk, meski pintu dan jendela tertutup rapat. Dari balik tembok, terdengar
suara gumaman samar, seperti banyak orang berbicara bersamaan dalam bahasa yang
tidak ia mengerti.
Tanpa
permisi, Ki Gede muncul kembali di depan pintu kamarnya. Kali ini wajahnya
terlihat lebih tegang. Ia berkata bahwa malam itu ia “mengumpulkan mereka
semua.” Teh Riri tidak perlu bertanya siapa “mereka” yang dimaksud. Jawabannya
segera terlihat.
Satu per
satu, makhluk-makhluk gaib bermunculan di sekitar halaman belakang studio. Ada
yang besar dan berbulu, ada yang hitam pekat tanpa wajah, ada pula yang hanya
berupa bayangan bergerak cepat. Dari balik Ki Gede, muncul sosok Gendaruo
dengan tubuh tinggi besar dan bulu lebat, matanya merah menyala, napasnya
terdengar berat seperti binatang buas.
Teh Riri merasa
kakinya tak sanggup menopang tubuhnya. Ia berdiri di ambang pintu kamar,
menyaksikan pertemuan itu dengan tubuh gemetar. Ki Gede berdiri di
tengah-tengah mereka, seperti seorang pemimpin yang disegani. Dengan suara
lantang dan penuh wibawa, ia memperkenalkan Teh Riri kepada semua makhluk yang
hadir.
“Ini
manusia yang tinggal di wilayahku,” katanya. “Tidak ada yang boleh
mengganggunya.”
Kata-kata
itu terdengar seperti perintah mutlak. Beberapa makhluk mendengus, yang lain
menggeram pelan, namun tidak ada yang membantah. Teh Riri merasa ngeri
sekaligus bingung. Ia tidak tahu apakah harus merasa aman atau justru semakin
takut karena kini ia menjadi pusat perhatian dunia yang tidak pernah ingin ia
masuki.
Malam
semakin larut, dan suasana kian mencekam. Makhluk-makhluk itu mulai berbicara
satu sama lain dengan bahasa mereka sendiri. Suaranya tidak seperti bahasa
manusia—lebih mirip suara angin kencang yang bercampur gumaman, sesekali diselingi
tawa kasar dan pekikan penuh amarah. Teh Riri tidak mengerti maknanya, tetapi
hatinya tahu bahwa pembicaraan itu berkaitan dengan tumbal.
Beberapa
di antara mereka baru saja mengambil tumbal manusia malam itu. Energi
kemarahan, keserakahan, dan kepuasan bercampur menjadi satu, membuat suasana
terasa sangat gelap. Teh Riri menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir
jatuh. Ia merasa kecil, tak berdaya, dan asing di tengah pertemuan
makhluk-makhluk yang sama sekali berada di luar jangkauan logikanya.
Ki Gede
sesekali membentak jika ada makhluk yang terlalu mendekat ke arah kamar Teh
Dewi. Sikapnya jelas: malam itu, ia bertindak sebagai pelindung. Namun
perlindungan itu tidak membuat Teh Riri tenang. Justru sebaliknya, ia merasa
berada di tengah pusaran kekuatan yang sewaktu-waktu bisa berubah arah.
Menjelang
dini hari, satu per satu makhluk itu menghilang. Ada yang larut ke dalam tanah,
ada yang lenyap bersama kabut tipis, ada pula yang masuk kembali ke sumur tua
dengan suara tok-lek-tok-lek yang membuat bulu kuduk berdiri. Halaman studio
kembali sepi, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Ki Gede
menatap Teh Riri untuk terakhir kalinya malam itu. “Ingat,” katanya singkat,
lalu menghilang.
Teh Riri menutup
pintu kamarnya perlahan dan bersandar di baliknya. Tubuhnya lemas, pikirannya
kosong. Malam Rebo Wekasan itu menjadi salah satu malam paling mengerikan dalam
hidupnya—malam ketika ia menyaksikan sendiri pertemuan para setan, dan
menyadari betapa tipisnya batas antara dunia manusia dan dunia yang selama ini
hanya ia dengar dari cerita.
