Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Musuh Paling Halus: Menaklukkan Ego dan Ora Sopo-Sopo
Perjalanan
Batin Sang Sunan Bagian Musuh Paling Halus: Menaklukkan Ego dan Ora Sopo-Sopo
Setelah membahas
tentang cahaya palsu, suasana hening kembali turun di Alas Mentaok, tetapi kali
ini dengan bobot yang lebih berat. Seakan wejangan berikutnya adalah sesuatu
yang harus benar-benar diwaspadai oleh setiap pencari kebenaran.
Cahaya sosok kecil
itu melembut lalu berdenyut pelan seperti detak jantung alam. Tiba-tiba, sosok
itu menyentuh dadanya sendiri dengan ujung jarinya yang mungil. Gerakan itu
sangat sederhana, tetapi maknanya langsung menggetarkan hati Kalijaga. Suara
halus itu kembali mengalun, lebih berat dibanding sebelumnya:
"Musuh
paling angel ana ing kene." (Musuh
paling sulit ada di sini.)
Kalijaga terdiam.
Ia mengikuti arah telunjuk sosok itu menuju dada, menuju hati. Ia merasa seakan
pintu rahasia yang selama ini tertutup rapat kini mulai dibuka sedikit demi
sedikit. Sosok itu melanjutkan:
"Ego." (Ego.)
Satu kata, tetapi cukup
untuk membuat udara sekeliling bergetar tipis. Kalijaga tahu betapa liciknya
ego. Ia telah melihat banyak orang yang terjatuh karena merasa dirinya paling
suci, paling benar, atau paling mulia. Bahkan orang yang rajin ibadah pun bisa
terperangkap ego tanpa menyadari. Ego bisa menyamar menjadi niat baik, bisa
berwujud pujian, atau bahkan muncul sebagai rasa bangga setelah melakukan
ibadah.
Sosok kecil itu
kemudian membungkuk, mengambil tanah, dan meremasnya perlahan. Butiran tanah
itu keluar di sela-sela jarinya, jatuh seperti simbol betapa mudahnya manusia
tergelincir ketika tidak mengendalikan dirinya.
"Akeh
wong sing salat, nanging niat kanggo nuduhake yen dheweke luwih suci tinimbang
liyane." (Banyak orang yang salat,
tetapi niatnya untuk menunjukkan bahwa dia lebih suci daripada yang lain.)
Kalijaga menunduk.
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar langsung ke dalam hatinya. Ia tak
bisa menyangkal bahwa pernah ada masa ketika ia merasa bangga karena dakwahnya
diterima banyak orang. Ego bisa muncul sebagai rasa lebih baik dari dirinya
yang dulu—sebuah bentuk ego yang sangat halus.
Sosok itu mendekat
sedikit, menatapnya dengan mata yang teduh namun tajam.
"Ego
iku alus. Kadang wong ora ngerti yen ibadah sing dilakoni mung kanggo nyenengke
awake dhewe." (Ego itu halus. Kadang
orang tidak tahu bahwa ibadah yang dilakukan hanya untuk menyenangkan dirinya
sendiri.)
Kalijaga merasakan
dadanya semakin sesak, bukan karena takut, tetapi karena sadar bahwa musuh yang
dijelaskan ini tidak bisa dihadapi dengan kekuatan fisik. Ego tidak bisa
dikalahkan dengan perlawanan. Ego harus diredakan, diakui, dan ditundukkan
melalui kerendahan hati.
Dengan suara
bergetar, Kalijaga bertanya, "Bagaimana? Bagaimana cara mengalahkan
ego?"
Sosok kecil itu
tersenyum lembut. Ia mengangkat tangannya, menyentuh tanah, lalu menyentuh dada
Kalijaga.
"Karo
nerimo yen kowe ora-sopo-sopo. Lan kabeh sing ana ing kowe saka Gusti." (Dengan menerima bahwa engkau bukan siapa-siapa. Dan
semua yang ada padamu berasal dari Tuhan.)
Kalijaga menutup
mata. Kalimat itu masuk begitu dalam. Seluruh perjalanan hidupnya, seluruh
amalnya, seluruh pengetahuannya—semua itu hanyalah titipan, bukan miliknya. Dan
ia harus selalu mengingat bahwa manusia tidak pernah memiliki apapun selain
kelemahan dan ketergantungan kepada Tuhan.
"Ego
bakal mati yen kowe tansah eling lan tansah andhap asor." (Ego akan mati jika engkau selalu ingat dan selalu
rendah hati.)
Musuh yang paling
sulit dikalahkan bukan setan, bukan manusia, melainkan dirinya sendiri. Malam
itu, Kalijaga memahami bahwa langkah menuju agama sejati bukan hanya tentang
menjalankan perintah Tuhan, tetapi juga tentang menaklukkan musuh paling halus
yang bersemayam di hatinya sendiri.
Kontributor: Akang Marta
