Ads

Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Amanah Pamomong: Melanjutkan Laku Kebenaran di Tanah Jawa

 

Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Amanah Pamomong: Melanjutkan Laku Kebenaran di Tanah Jawa



Setelah mengungkap jati dirinya, Semar kembali duduk dengan tenang. Sunan Kalijaga masih bersujud, berusaha menyeimbangkan napas. Kini ia merasakan ketenangan aneh yang mengisi dadanya.

"Jupuken awakmu, Kalijaga!" ujar Semar lembut. (Bangunlah, Kalijaga!)

Kalijaga mengangkat kepala, menatap sosok itu dengan mata yang masih basah. Ia duduk kembali dengan sikap sopan, memusatkan seluruh perhatiannya. Semar kemudian menyinggung kembali tentang tiga lapisan yang telah ia ajarkan (Syariat, Tarekat, Hakikat), dan secara implisit menghubungkannya dengan dua lapisan selanjutnya yang menjadi inti dari ajaran Semar: Ma'rifat dan Jati Diri.

"Kowe wis ngerti bab telung dalan. Syariat, Tarekat, Hakikat. Nanging kowe kudu ngerti yen dalan iki ana hubungane karo loro maneh: Ma'rifat lan Jati Diri." (Engkau sudah mengerti tentang tiga jalan. Tetapi engkau harus tahu bahwa jalan ini berhubungan dengan dua lagi: Ma'rifat dan Jati Diri.)

Semar menjelaskan bahwa Ma'rifat adalah ilmu tentang mengenal Tuhan melalui Nur (Cahaya) yang dipancarkan dalam segala ciptaan. Ini adalah tahap di mana seorang wali tidak lagi membutuhkan argumen logis; ia melihat kebenaran dengan mata hati. Inilah yang harus diwujudkan Kalijaga dalam seni dan budaya.

"Gawea wayang sing ora mung crita. Gawea gamelan sing ora mung swara. Gawea tembang sing ora mung lagu. Kabeh iku kudu dadi dalan Ma'rifat. Wadah Jawa kanggo Isi Islam." (Buatlah wayang yang tidak hanya bercerita. Buatlah gamelan yang tidak hanya bersuara. Buatlah tembang yang tidak hanya lagu. Semua itu harus menjadi jalan Ma'rifat. Wadah Jawa untuk Isi Islam.)

Semar menegaskan bahwa Wali Limo (lima tingkatan) adalah kunci sukses dakwah di Nusantara. Jika ia hanya mengajarkan Syariat, masyarakat akan menolaknya karena dianggap asing. Jika ia mengajarkan Hakikat tanpa fondasi Syariat, mereka akan tersesat dalam kesesatan. Integrasi adalah jalan Semar.

Amanah Besar: Meredakan Gejolak Nusantara

Semar kemudian menatapnya dengan pandangan yang serius, beralih ke dimensi tugas kenegaraan dan spiritual yang lebih luas.

"Tanah Jawa iki butuh wong sing melaku kanthi tentrem. Ing ngarep, bakal ana gejolak. Para raja bakal lali karo Laku Sejati. Tugasmu dadi penyeimbang, dadi Pamomong Spiritual kang ngelingake menungsa bab Eling lan Waspada." (Tanah Jawa ini membutuhkan orang yang berjalan dengan damai. Di depan, akan ada gejolak. Para raja akan lupa dengan Laku Sejati. Tugasmu menjadi penyeimbang, menjadi Pengasuh Spiritual yang mengingatkan manusia tentang Ingat dan Waspada.)

Kalijaga kini mengerti. Gelisah di hatinya bukan hanya tentang dirinya, tetapi tentang gejolak yang akan terjadi di masa depan. Semar tidak hanya memberinya ilmu pribadi, tetapi juga Mandat Kepamongan atas spiritualitas Jawa, menggenapi takdirnya sebagai Sunan Kalijaga.

Wejangan Akhir: Tentang Waktu dan Keikhlasan

Semar memberi wejangan terakhir tentang kesabaran dan keikhlasan, mengakhiri semua keraguan Kalijaga.

"Ojo gampang kesel, ojo gampang bungah. Kabeh iku Laku. Kaya banyu, mili terus tanpa ngeluh. Senajan banyu iku ngrusak watu. Kowe kudu kaya banyu: lembut, nanging kuat kanggo ngrubah." (Jangan mudah lelah, jangan mudah bangga. Semua itu Perjalanan. Seperti air, mengalir terus tanpa mengeluh. Meskipun air itu bisa merusak batu. Engkau harus seperti air: lembut, tetapi kuat untuk merubah.)

Pesan ini menyimpulkan seluruh ajaran: bersikap rendah hati (andhap asor), tetapi memiliki kekuatan batin yang tak terbatas, dan terus mengalir (berdakwah) tanpa henti.

Mendengar wejangan terakhir ini, Sunan Kalijaga sekali lagi bersujud dalam-dalam. Ketika ia mengangkat kepala, ia menemukan dirinya kembali sendirian di Alas Mentaok. Semar telah pergi. Hanya hening dan cahaya lembut fajar yang mulai menyentuh dahan pohon.

Kalijaga bangkit. Ia adalah orang yang berbeda. Ia telah bertemu Semar, menerima kunci Hakikat dan Ma'rifat, dan menaklukkan ego di dalam hatinya sendiri. Ia kini telah siap menghadapi dunia, membawa ajaran Islam yang melaku dan nyawiji (menyatu) dengan jiwa Nusantara. Ia meninggalkan Alas Mentaok sebagai Sang Guru Sejati, yang ajarannya abadi dan mengakar kuat di hati setiap manusia Jawa.

Kontributor: Akang Marta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel