Ads

Pengaruh "Isi Amplop" dalam Menentukan Hasil Pemilu 2024

 

Pengaruh "Isi Amplop" dalam Menentukan Hasil Pemilu 2024



Dari Politisi Senior ke Pengacara: Kapok dalam "Dunia Abu-Abu" Politik Uang

Politikus senior PDI Perjuangan, Dr. Trimedia Panjaitan, menyingkap praktik politik uang yang mencapai titik "paling barbar" pada Pemilu 2024. Trimedia, yang mengakhiri karir legislatifnya setelah empat periode dan gagal terpilih kembali, memberikan testimoni pahit bahwa Pemilu kini telah menjadi arena pertarungan kapital, di mana cost of politics jauh melebihi upaya merawat konstituen.

Korelasi Uang Tunai dan Margin Elektoral

Inti dari problem barbarisme politik uang ini terungkap dari hasil riset yang melibatkan Trimedia. Riset yang dilakukan oleh peneliti, termasuk Burhanudin Muhtadi, menunjukkan adanya korelasi kuat yang baru terungkap: semakin besar isi amplop yang diberikan, semakin rendah margin error (risiko kekalahan) seorang Caleg.

Trimedia sendiri, yang membagikan amplop kepada 260.000 kepala keluarga di Dapil Sumut II, hanya memperoleh 63.000 suara. Tingginya margin error yang ia alami (sekitar 70% lebih) dikonfirmasi oleh temuan riset tersebut: konstituen cenderung memilih Caleg yang memberikan imbalan finansial paling besar, terlepas dari rekam jejak.

Politik uang ini mengubah fokus Caleg. Upaya "merawat" pemilih melalui reses atau kunjungan daerah, yang secara substansial merupakan tugas dewan, dianggap "tidak ada gunanya". Ini mendorong politisi untuk menyimpan dana dan menggunakannya secara efektif pada detik-detik akhir—sebuah cara instan yang memenangkan Pemilu namun merugikan kualitas representasi.

Reformasi Profesi Hukum: Menolak "Keranjang Sampah"

Trimedia, kini sebagai Ketua Umum Serikat Pengacara Indonesia (SPI), melihat kerusakan serupa terjadi di profesi advokat. Ia menyebut profesi hukum kini menjadi "dunia abu-abu" dan bahkan "keranjang sampah" bagi pensiunan dari TNI, Polri, dan ASN yang mencari penghidupan atau kegiatan baru.

Hal ini, ia sebut, merusak kehormatan profesi dan mendorong maraknya praktik nakal. Trimedia mendesak dua langkah reformasi fundamental:

1.      Pengawasan Ketat PKPA: Menghentikan praktik Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang telah menjadi semacam "industri" pencari uang bagi banyak organisasi advokat.

2.      Majelis Kode Etik Bersama: Mendesak revisi UU Advokat untuk memperketat syarat menjadi advokat dan mendirikan majelis kode etik bersama yang berlaku lintas organisasi, sehingga advokat nakal yang dipecat tidak bisa berpindah ke organisasi lain.

Kesimpulan Trimedia tegas: politisi senior harus tahu waktu untuk cukup. Di usia 60 tahun, ia memilih meninggalkan hingar bingar politik Senayan, menekuni advokat dan usaha, dan menyerukan perbaikan sistem agar Pemilu 2029 tidak menjadi lebih barbar lagi.

Kontributor

Akang Marta

 

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel