Ads

Legenda Kisah Syekh Nurdjati: Penempaan Somadullah dan Pusaka yang Dicuci Tauhid

 

Penempaan Somadullah dan Pusaka yang Dicuci Tauhid



Tiga tahun telah berlalu laksana sekejap mata. Di bawah bimbingan Syekh Nurjati, Pangeran Walang Sungsang, Nyi Indang Gelis, dan Nyimas Rara Santang tidak lagi sekadar belajar. Mereka menyelam ke dalam samudra ilmu Islam yang tak bertepi. Fondasi syahadat, salat, dan puasa yang telah diperkokoh kini menjadi landasan untuk membangun sebuah istana makrifat yang megah. Mereka mempelajari fikih mazhab Syafi’i untuk menavigasi syariat, dan mulai menapaki jalan sunyi para sufi melalui Tarekat Syatariyah yang dibawa oleh Sang Guru.

Namun, ada satu ajaran yang membakar jiwa sang pangeran lebih dari yang lain: ajaran tentang Perang Sabil, perjuangan di jalan Allah. Ini bukan sekadar tentang pertempuran fisik, melainkan tentang penegakan kebenaran dan perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman. Jihad fi sabilillah inilah yang kelak akan menempa Walang Sungsang menjadi seorang kesatria ulama legendaris yang pedangnya berayun demi kalimat Allah hingga akhir hayatnya.

Setelah tiga tahun penempaan yang dahsyat, tibalah saatnya bagi Sang Guru untuk memberikan anugerah tertinggi. Dalam sebuah upacara yang khidmat, Syekh Nurjati menatap murid kesayangannya dan berkata, "Pangeran Walang Sungsang, engkau telah menyelesaikan satu babak dalam perjalananmu. Mulai hari ini, lepaskanlah namamu yang lama. Namamu yang baru adalah Somadullah, ‘Hamba dari Allah yang Maha Dibutuhkan’."

Nama itu bukan sekadar gelar, melainkan sebuah proklamasi takdir. Dan bersama nama baru itu datanglah sebuah wejangan agung yang akan menenun kembali seluruh benang masa lalu Somadullah.

Syekh Nurjati tahu bahwa muridnya ini datang dengan membawa warisan dari guru-guru lamanya, para pendeta Buddha dan resi sakti, yang telah memberinya berbagai pusaka dan ajimat. Sang Guru tidak menyuruhnya membuang pusaka-pusaka itu. Sebaliknya, dengan hikmah yang cemerlang, ia membukakan makna sejati di balik setiap benda keramat itu, menyiraminya dengan cahaya tauhid.

"Hai Somadullah!" Sang Syekh memulai wejangannya, suaranya dalam dan menenangkan. "Ketahuilah, semua pengembaraanmu sebelum tiba di sini adalah bagian dari rencana-Nya. Engkau bertemu dengan Sang Hyang dan Warsih di Gunung Merapi bukanlah sebuah kebetulan. Itu adalah isyarat bahwa engkau ditakdirkan untuk bertemu dengan para ulama, pewaris para nabi."

Syekh Nurjati kemudian mengambil satu persatu pusaka itu dalam percakapan mereka, mengupas kulit sihirnya untuk menyingkap inti hikmahnya:

1.      Cincin Ampal: "Engkau menerima cincin Ampal yang konon bisa menyingkap yang gaib. Ketahuilah, nama Ampal itu sejatinya berasal dari firman-Nya: 'Bimā yanfa’u an-nās.' (Usahakanlah apa yang membawa manfaat bagi manusia). Maka gunakanlah cincin itu bukan untuk kesaktian, melainkan sebagai pengingat agar setiap langkahmu membawa kebaikan bagi sesama."

2.      Baju Kamemayan: "Engkau mengenakan baju Kamemayan agar disegani makhluk. Namun, wibawa sejati bukanlah dari kain. Di balik baju itu ada tulisan agung yang bermakna: 'Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka.' Peganglah ayat itu, bukan bajunya, maka seluruh alam akan tunduk padamu."

3.      Baju Pengabaran: "Engkau memiliki baju Pengabaran yang membuatmu tak kenal takut. Kekuatan itu bukan dari jimat, melainkan dari firman yang tersembunyi di dalamnya: 'Wa ‘bud rabbaka hattā ya’tiyaka al-yaqīn.' (Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu kematian). Orang yang hatinya terpaut pada Allah hingga ajal, maka rasa takut pada musuh akan sirna dari hatinya."

Sang Syekh terus mengurai makna. Ilmu Kadewa yang diterima Somadullah diartikan ulang menjadi Dawā’unī (obatnya agama) yaitu ilmu. Ilmu Kapilisan yang mencegah lupa ditafsirkan sebagai Fa laisa lil insāniy an yansā (pengingat agar manusia tidak pernah lupa berzikir kepada Allah).

Akhirnya, Syekh Nurjati menunjuk pada pusaka terhebat milik Somadullah.

4.      Golok Cabang: "Dan golok saktimu itu, Somadullah. Namanya berasal dari kalimat 'Saba’a asyā’' (Tujuh perkara). Ia diciptakan untuk tujuh perkara. Tujuh perkara itu bukanlah tujuh kekuatan sihir. Ia adalah tujuh anggota tubuhmu yang bersujud kepada Allah: dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua ujung kaki. Jika engkau ingin membuka kekuatan sejati golok itu—jika engkau ingin menaklukkan singa, meruntuhkan gunung, dan mengeringkan lautan—maka tundukkanlah dulu ketujuh anggota sujudmu itu di hadapan Allah dalam salat. Itulah kunci dari segala kekuatan!"

Saat wejangan itu berakhir, Pangeran Walang Sungsang, yang kini adalah Somadullah, terdiam. Air mata mengalir di pipinya. Ia akhirnya mengerti: Gurunya tidak menghancurkan masa lalunya, melainkan menyempurnakannya. Semua pusaka yang ia kumpulkan dalam pengembaraannya kini telah berubah. Bukan lagi benda-benda klinik, melainkan simbol-simbol agung dari ajaran tauhid. Ia telah lahir kembali di puncak Gunung Jati, bukan hanya dengan nama baru, melainkan dengan jiwa dan pandangan hidup yang sepenuhnya baru. Ia kini siap melangkah bukan lagi sebagai Pangeran Pajajaran yang mencari kesaktian, melainkan sebagai Somadullah, hamba Allah yang siap mengayunkan golok cabangnya dalam Perang Sabilnya.

Kontributor: Akang Marta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel