Pertemuan Mencekam di Subuh Malam Jumat
Pertemuan Mencekam di Subuh Malam Jumat
Kisah Nyata
Sang Penyiar Radio
Penulis: Akang Marta
Peringatan
dari Pak Ustaz sore itu terus terngiang di kepala Teh Dewi. Kalimat demi
kalimatnya terasa menempel, seperti gema yang tak mau hilang. Tentang penguasa
wilayah, tentang makhluk cebol yang ganas, tentang tempat yang tak boleh
dikotori. Semua itu membuat pikirannya sulit tenang. Usai acara Kismis
malam Jumat, alih-alih tidur, Teh Riri justru diliputi rasa penasaran yang
bercampur ketakutan. Ia merasa malam itu bukan malam biasa.
Studio
radio yang siang hari terasa ramai dan hidup, berubah menjadi bangunan tua yang
sunyi dan menekan saat malam semakin larut. Lampu-lampu redup memantulkan
bayangan panjang di lorong. Angin tak bertiup, namun hawa dingin merayap
perlahan ke dalam kamar belakang tempat ia tinggal sementara. Jam dinding
berdetak pelan, terdengar jelas di tengah kesunyian yang menyesakkan.
Teh Riri memilih
menghabiskan waktu dengan beribadah. Ia mengambil air wudu menggunakan air
galon seadanya, karena kamar mandi berada jauh di bagian depan studio. Setiap
langkah menuju sudut kamar terasa berat. Setelah berwudu, ia melaksanakan salat
dengan khusyuk yang dipaksakan, lalu melanjutkannya dengan zikir panjang.
Bibirnya terus bergerak melafalkan asma Tuhan, berharap hatinya ikut tenang.
Namun semakin lama, justru perasaan waswas semakin kuat.
Sekitar
pukul tiga dini hari, suasana terasa berubah. Udara mendadak lebih dingin,
seolah ada pintu tak kasatmata yang terbuka. Bulu kuduk Teh Riri berdiri tanpa
sebab yang jelas. Ia memejamkan mata lebih erat, mencoba mengabaikan firasat
buruk yang menggerogoti pikirannya.
Tepat
sekitar pukul 03.30, ketenangan semu itu pecah seketika.
“Assalaaaamu’alaikum!”
Suara
salam itu menggema sangat keras, bukan hanya di depan pintu kamarnya, tetapi
seakan memenuhi seluruh ruangan studio. Teh Riri tersentak, jantungnya berdegup
kencang. Ia menoleh ke arah pintu, tubuhnya kaku. Suara itu terdengar terlalu
lantang untuk ukuran manusia, berat dan bergaung, seperti datang dari rongga
kosong yang luas.
Ia
teringat pesan orang tua sejak kecil: jangan pernah menjawab salam dari
sesuatu yang tidak terlihat rupanya. Katanya, itu bukan manusia. Itu setan.
Teh Riri diam.
Napasnya tertahan. Beberapa detik terasa seperti menit yang panjang.
Tak lama
kemudian, terdengar ketukan keras di pintu. Duk! Duk! Duk! Getarannya
terasa sampai ke lantai. Lalu suara salam itu terdengar lagi, lebih dekat,
lebih menekan. Ia tetap tidak menjawab. Kepalanya dipenuhi dilema—antara adab
menjawab salam dan ketakutan akan akibatnya.
Salam itu
diucapkan untuk ketiga kalinya. Kali ini disertai ancaman yang membuat tubuh
Teh Riri gemetar.
“Kalau
tidak dibuka, saya masuk paksa.”
Tangannya
gemetar hebat. Kakinya terasa lemas. Dengan sisa keberanian yang ada, ia
mengintip dari balik hordeng jendela kecil di samping pintu. Yang terlihat
hanya kepala kecil dan botak. Tidak ada tubuh yang jelas. Hanya kepala itu,
diam, seolah menunggu.
Dalam
kepanikan, Teh Riri mendengar suara itu berkata bahwa ia tidak jahat. Kalimat
itu terdengar datar, tanpa emosi, justru semakin membuat bulu kuduknya berdiri.
Ketakutan sudah mencapai puncaknya. Ia bahkan mengakui kemudian, dalam kondisi
itu tubuhnya bereaksi di luar kendali—iaциялық mengompol karena ngeri yang
teramat sangat.
Dengan
tangan gemetar dan napas tersengal, Teh Riri membuka pintu perlahan, hanya
sedikit celah. Belum sempat ia berkata apa-apa, sosok di luar itu langsung
menyambutnya.
“Bagus,
sini Nduk… keluar Nduk…”
Suara itu
terdengar aneh—ramah tapi mengancam. Dari balik celah pintu, sosok itu akhirnya
terlihat jelas. Tingginya hanya sekitar anak kecil usia tujuh tahun. Tubuhnya
pendek dan gendut, dipenuhi bulu kasar. Gerakannya gesit, tidak wajar. Wajahnya
membuat perut Teh Riri terasa melilit.
Matanya
merah kehitaman, menatap tajam tanpa berkedip. Kepalanya botak mengilap. Dari
mulutnya tampak taring menonjol yang membuatnya tampak seperti makhluk buas.
Kupingnya lebar, tidak proporsional dengan wajahnya. Aura yang terpancar dari
tubuh kecil itu begitu menekan, membuat Teh Riri merasa seolah sedang berdiri
di hadapan kematian.
Makhluk
itu memperkenalkan dirinya sebagai penguasa wilayah tersebut. Suaranya berat
dan penuh keyakinan, seperti seseorang yang terbiasa ditaati. Teh Riri mendengar
setiap kata dengan perasaan campur aduk—takut, ngeri, dan tak percaya bahwa
semua ini benar-benar terjadi di dunia nyata.
Dalam
benaknya, gambaran film-film horor berkelebat. Ia membayangkan jika makhluk
bertaring itu tiba-tiba menyerangnya, menggigitnya seperti zombie. Tubuhnya
kembali gemetar hebat. Ia tidak mampu melangkah mundur, seolah kakinya tertanam
di lantai.
Subuh
malam Jumat itu menjadi titik balik dalam hidup Teh Dewi. Bukan hanya karena ia
bertemu langsung dengan penguasa gaib wilayah studio radio, tetapi karena ia
akhirnya menyadari bahwa peringatan Pak Ustaz bukan sekadar cerita untuk
menakut-nakuti. Semua itu nyata. Terlalu nyata.
Dan sejak
detik itu, Teh Riri tahu, tinggal di studio radio angker itu bukan hanya
tentang siaran dan pekerjaan—melainkan tentang bertahan hidup di antara dua
dunia yang saling bersinggungan, dengan keberanian yang terus diuji setiap
malam.
