Pisau Bedah dan Pertanyaan Abadi
Pisau
Bedah dan Pertanyaan Abadi
Kecerdasan Semesta: Kisah Dewa, Sang Penulis
Spiritual
Penulis: Akang Marta
Dewa terlahir di sebuah kota kecil yang tenang di Pulau
Lombok, namun dibesarkan dengan nilai-nilai pengabdian (ngayah). Sejak
kecil, ia bukan bermimpi menjadi dokter; gairahnya adalah dunia teknik—mesin,
sipil, arsitektur. Ia bahkan sudah mengajar les matematika dan fisika secara
gratis sejak SMP, meneruskan tradisi keluarga yang senang melayani tanpa
bayaran.
Hidupnya penuh tanda tanya. Ia lahir di tahun 80-an, di
mana hiburan adalah kisah-kisah spiritual dari Mahabarata dan Bagawat Gita.
"Untuk apa sih Tuhan menciptakan saya?" pertanyaan-pertanyaan ini
tersimpan sejak lama, tanpa pernah terjawab secara logis.
Keputusan menjadi dokter datang secara tiba-tiba, satu
hari sebelum ujian masuk perguruan tinggi. Setelah mengantar ponakannya ke
klinik, ia mendengar biaya konsultasi. Seketika, ia teringat kebiasaannya
menggratiskan jasa. "Kalau begitu, saya harus jadi dokter, agar bisa
menggratiskan layanan medis untuk banyak orang," pikirnya.
Ia kuliah kedokteran di Bandung. Namun, dunia medis
justru memunculkan kembali pertanyaan masa kecilnya. Di ruang bedah mayat saat
koas, di hadapan jasad tak bernyawa, pertanyaan itu mengemuka: "Kira-kira roh itu ada di mana? Di
jantung, paru-paru, atau di otak?"
Sejak kuliah, ia telah menjadi vegetarian, bukan karena
spiritual, melainkan karena sebuah momen saat ia melihat air mata kambing dan
penyu yang akan disembelih untuk pesta. Kebiasaan ini, ditambah minatnya
membaca buku-buku agama dan yoga secara sembunyi-sembunyi sejak kecil, membuat
orang mengira ia memang seorang spiritualis.
Setelah menyelesaikan masa PTT di pedalaman Nusa Tenggara
Barat, ia kembali ke klinik pribadinya. Di ruang UGD yang sepi saat jaga malam,
ia memutuskan untuk mengumpulkan semua pertanyaan filosofisnya di laptop.
Tujuannya, jika suatu hari bertemu guru spiritual hebat, ia sudah siap.
Ia mengetik pertanyaan pertamanya: "Untuk apa sih kehidupan
ini?"
Seketika, sebuah jawaban mengalir, bukan suara, melainkan
aliran kesadaran yang terangkai menjadi kata-kata di layar: "Untuk apa
kamu tanyakan itu?"
Dewa terkejut. Ia mengetik lagi: "Kamu siapa?"
Jawabannya mengalir: "Kenapa kamu tanyakan aku siapa? Jika kamu hanya
melihat siapa yang menjawab, kamu hanya melihat subjektif, bukan
objektif."
