Misi Penyempurnaan Arwah Yusniah
Misi Penyempurnaan Arwah Yusniah
Kisah
Nyata Sang Penyiar Radio
Penulis: Akang Marta
Di tengah
kesunyian studio radio yang mulai terasa berbeda sejak kehadiran Yusniah
terungkap, Teh Riri mendengarkan pengakuan itu dengan dada yang sesak. Tidak
ada lagi rasa takut yang mendominasi seperti awal pertemuan mereka. Yang
tersisa hanyalah perasaan iba, sedih, dan kelelahan batin seorang perempuan
terhadap kisah perempuan lain yang hidupnya direnggut dengan kejam.
Dengan
suara lirih dan wajah tertunduk, Yusniah akhirnya mengungkapkan kebenaran yang
selama ini ia pendam. Ia tidak meninggal karena kecelakaan, bukan pula karena
sakit. Ia dibunuh. Pelakunya adalah pacarnya sendiri—laki-laki yang dulu ia
percaya, yang berjanji akan bertanggung jawab atas kehamilan yang ia tanggung
sendirian.
Yusniah
menceritakan bahwa malam itu ia dibawa ke rumah kuno peninggalan Belanda yang
sudah lama kosong. Bangunan itu lembap, gelap, dan berbau tanah basah. Di
sanalah, hidupnya diakhiri. Tubuhnya dikuburkan secara asal di dalam rumah itu,
tanpa nisan, tanpa doa, tanpa seorang pun yang tahu. Seiring waktu, rumah
tersebut berubah fungsi. Dindingnya dirobohkan, tanahnya diratakan, dan kini
berdiri lapangan futsal yang ramai oleh tawa dan sorak manusia. Tepat di
sebelahnya berdiri studio radio tempat Teh Riri bekerja—dan tak jauh dari kamar
mandi serta ruang ganti.
Itulah
sebabnya Yusniah terus muncul. Arwahnya terikat pada tempat itu. Ia tidak
mencari balas dendam. Ia hanya ingin disempurnakan. Ia ingin didoakan. Ia ingin
keluarganya tahu bahwa ia telah pergi dengan cara yang tidak wajar.
Namun
ketika Yusniah menyampaikan harapannya agar keluarga diberi kabar, Teh Riri terdiam
lama. Dengan hati-hati, ia menjelaskan kenyataan pahit yang harus diterima
bersama. Peristiwa itu terjadi di tahun 90-an. Sudah puluhan tahun berlalu.
Sangat mungkin orang tua Yusniah telah wafat, atau keluarganya berpindah tanpa
jejak yang bisa ditelusuri. Mencari mereka sekarang nyaris mustahil.
Penjelasan
itu membuat Yusniah menangis tersedu. Tangisnya bukan meraung, melainkan jatuh
perlahan seperti hujan tipis yang panjang. Teh Riri merasakan sesuatu yang
aneh—sebuah keterhubungan batin. Ia tahu, ia tidak bisa membiarkan arwah ini
terus terkatung-katung.
Dengan
keyakinan yang lahir dari empati, Teh Riri menawarkan jalan lain.
Ia
berkata bahwa jika raga tidak bisa lagi disempurnakan, maka ruh masih bisa
didekatkan kepada ketenangan. Ia berjanji akan membantu Yusniah melalui doa,
tawasul, dan niat tulus. Bukan dengan ritual aneh, bukan dengan perjanjian
gaib, melainkan dengan cara yang ia yakini benar dan bersandar pada Tuhan.
Malam itu
juga, Teh Riri mengajak Yusniah menuju lapangan futsal. Meski hatinya berdebar,
ia memberanikan diri meminta izin kepada pemilik tempat tersebut. Dengan alasan
ingin memastikan cerita-cerita “penghuni lama” yang sering mengganggu, ia
diizinkan masuk untuk melihat-lihat area tertentu.
Yusniah
berjalan di depan, menunjuk satu titik di sudut bangunan lama, dekat kamar
mandi dan ruang ganti. Di sanalah, katanya, tubuhnya dikuburkan. Pemilik futsal
mengangguk pelan ketika mendengar penjelasan itu. Ia mengakui bahwa area
tersebut memang terasa berbeda sejak awal pembangunan. Namun ia juga mengatakan
bahwa tanah itu sudah dibeton tebal, dan pembongkaran hampir mustahil dilakukan
tanpa merusak seluruh bangunan.
Setelah
berdiskusi panjang, mereka sepakat bahwa penyempurnaan tidak dilakukan secara
fisik. Tidak ada penggalian. Tidak ada pembongkaran. Yang dilakukan adalah
penyempurnaan batin dan spiritual.
Teh Riri kemudian
mengajukan satu janji. Ia akan mengirimkan doa secara rutin. Setiap malam
Jumat, ia akan bertawasul, membaca Al-Fatihah, dan menyebut nama lengkap
Yusniah beserta nama kedua orang tuanya, sebagaimana adab mendoakan orang yang
telah wafat. Ia tidak menjanjikan sesuatu yang berlebihan. Ia hanya menjanjikan
keikhlasan dan konsistensi.
Pemilik
futsal menerima dengan lapang dada. Ia pun ikut merasa tenang, seolah beban
yang tak terlihat mulai diangkat sedikit demi sedikit.
Setelah
semuanya disepakati, mereka kembali ke gerbang studio radio. Di sanalah Yusniah
berhenti melangkah. Wajahnya tidak lagi pucat menakutkan. Ada cahaya lembut di
matanya—bukan cahaya fisik, melainkan ketenangan yang perlahan tumbuh.
“Terima
kasih,” ucapnya pelan kepada Teh Dewi. “Aku tidak ingin mengganggu lagi. Aku
hanya ingin didoakan.”
Teh Riri mengangguk
sambil menahan air mata. Ia mengucapkan doa singkat dalam hati. Saat ia
mengangkat pandangan, Yusniah sudah tidak ada. Menghilang tanpa suara, tanpa
angin, tanpa jejak.
Sejak
malam itu, studio radio terasa berbeda. Tidak ada lagi tawa asing di udara.
Tidak ada lagi penampakan di sudut ruangan. Yang tersisa hanyalah kesunyian
yang damai.
Pengalaman
itu mengajarkan Teh Riri satu hal penting: tidak semua makhluk gaib datang
untuk menakut-nakuti. Sebagian datang membawa luka, menunggu manusia yang mau
mendengar. Dan terkadang, yang mereka butuhkan bukanlah perlawanan atau
ketakutan, melainkan empati, doa, dan penyelarasan niat.
Di antara
gelombang suara radio dan keheningan malam, Teh Riri belajar bahwa kemanusiaan
tidak berhenti pada batas dunia yang kasat mata. Ia meluas—hingga ke mereka
yang tak lagi memiliki raga, tetapi masih menyimpan harapan untuk
disempurnakan.
