Ads

Gangguan Awal dan Pindah Kamar di Malam Kedua

 

Gangguan Awal dan Pindah Kamar di Malam Kedua

Penulis: Akang Marta



Kejadian aneh yang dialami Teh Riri pada malam pertama sebenarnya masih berputar-putar di kepalanya keesokan harinya. Suara timba sumur yang ditarik tanpa wujud itu terus terngiang, seolah menjadi pesan awal bahwa tempat tinggal barunya bukanlah ruang yang sepenuhnya sunyi. Namun ia memilih untuk memendam cerita tersebut. Tubuhnya terlalu lelah setelah seharian bekerja dan membereskan barang-barang pindahan. Bagi Teh Dewi, pengalaman-pengalaman ganjil semacam itu bukan hal baru, hanya saja kali ini terasa lebih nyata dan dekat.

Malam kedua datang dengan keputusan yang tak terduga. Pemilik studio memanggil Teh Riri dan menyarankan agar ia pindah ke kamar di bagian belakang bangunan. Alasannya terdengar masuk akal: keamanan. Teras depan studio kerap menjadi tempat tidur anak-anak jalanan, dan dikhawatirkan kehadiran Teh Riri di ruangan depan dapat mengundang hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal, selama satu malam tinggal di sana, Teh Riri justru merasa anak-anak jalanan itu bersikap sopan dan sering kali melindunginya secara tidak langsung. Mereka menyapa dengan ramah, menjaga area depan studio, bahkan mengingatkan jika ada orang asing mondar-mandir.

Meski begitu, Teh Riri tidak ingin menolak. Ia memahami niat baik pemilik studio. Dengan dibantu beberapa rekan kerja, barang-barangnya dipindahkan ke kamar belakang menjelang sore. Kamar itu memiliki pintu terpisah yang langsung menghadap ke halaman luas. Di halaman tersebut berdiri menara radio yang menjulang tinggi, besi-besinya berderit pelan tertiup angin. Tepat di seberang kamar, berdiri sebuah sumur kuno yang tampak jauh lebih tua dari bangunan studio itu sendiri. Bibir sumurnya berlumut, dan meski tidak digunakan, aura dingin seolah terus memancar dari sana.

Kamar tersebut sudah lama tidak berpenghuni. Bau lembap bercampur debu masih terasa kuat. Saat pintu dibuka, hawa dingin langsung menyergap, membuat bulu kuduk Teh Riri meremang. Namun ia menenangkan diri. “Hanya kamar kosong,” batinnya. Ia membersihkan seadanya, menata kasur, dan meletakkan barang-barang pribadi. Senja perlahan berganti malam, dan halaman luas di depan kamar tenggelam dalam kesunyian yang tidak wajar. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada obrolan manusia—hanya desau angin dan bunyi serangga yang terasa terlalu jauh.

Begitu semua selesai dan tubuhnya menyentuh kasur, gangguan itu datang tanpa aba-aba. Dari balik jendela kamar, Teh Riri melihat bayangan melintas cepat. Bersamaan dengan itu, terdengar suara tangisan—bukan tangisan sedih, melainkan tangisan kesal, seperti seseorang yang merasa terganggu atau tidak terima. Tangisan itu samar, namun cukup jelas untuk membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Teh Riri menarik selimut, mencoba mengabaikan. Ia tahu, semakin diperhatikan, semakin kuat gangguannya.

Namun apa yang terjadi setelah itu jauh melampaui dugaannya. Dalam sekejap, hawa kamar berubah semakin dingin. Aroma anyir bercampur wangi bunga samar tercium. Saat Teh Riri membuka mata, sosok itu sudah berada di dalam kamar. Duduk di sampingnya. Sosok perempuan dengan wajah pucat dan mata kosong menatap lurus ke depan. Rambutnya hitam, tetapi pendek—tidak terurai panjang seperti gambaran Kuntilanak pada umumnya. Gaunnya berwarna kemerahan, dan tubuhnya terlihat seperti tidak sepenuhnya menyentuh lantai.

Teh Riri mengenali sosok itu seketika. Kuntilanak.

Anehnya, ia tidak berteriak. Tidak pula bangkit atau lari. Rasa takut memang ada, tetapi tertutup oleh kelelahan yang luar biasa. Ia hanya memejamkan mata, membaca doa dalam hati, berulang-ulang. Dalam keyakinannya, makhluk-makhluk seperti itu tidak perlu diperangi. Semakin diladeni, semakin mereka merasa tertantang. Ia memilih diam, seolah menganggap kehadiran itu tidak lebih dari bayangan yang lewat.

Beberapa saat kemudian, hawa dingin perlahan menghilang. Ketika Teh Riri membuka mata, kamar kembali kosong. Tidak ada sosok, tidak ada suara. Hanya detak jam dinding yang berdetak pelan, seakan memastikan bahwa waktu tetap berjalan.

Pagi harinya, kejutan lain menantinya. Saat bangun tidur, Teh Riri mendapati taburan bunga melati di lantai kamar dan di dekat kasurnya. Bunganya masih segar, putih bersih, dan beraroma wangi menyengat. Tidak mungkin ada orang yang masuk ke kamar itu semalam. Pintu terkunci, dan ia yakin tidak bermimpi. Taburan bunga itu menjadi penanda nyata bahwa apa yang ia alami bukan sekadar ilusi kelelahan.

Sebagai penyiar yang tinggal di studio, Teh Riri memiliki tanggung jawab menyalakan mesin radio di pagi hari. Ia melangkah ke ruang siaran dengan perasaan campur aduk. Saat sedang menyiapkan peralatan, seorang rekan penyiar yang juga merangkap teknisi datang. Wajahnya tampak biasa saja, seolah tidak menyadari kegelisahan yang masih tersisa di diri Teh Dewi.

Akhirnya, Teh Riri menceritakan apa yang dialaminya. Tentang sosok Kuntilanak berwarna merah dengan rambut pendek. Rekannya terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Ia mengaku sering diganggu Kuntilanak juga, tetapi yang muncul padanya berwarna putih, berambut panjang, dan suka membuka-tutup gorden studio saat siaran malam. Cerita itu membuat bulu kuduk Teh Riri kembali berdiri. Artinya, makhluk yang menghuni studio itu bukan hanya satu.

Rekannya lalu menasihati dengan suara pelan agar Teh Riri tidak terlalu sering bercerita kepada orang lain. “Nanti kamu dikira halu,” katanya singkat. Di dunia penyiaran, kewarasan adalah segalanya. Terlalu banyak cerita mistis bisa membuat seseorang dipandang aneh.

Sejak saat itu, Teh Riri memahami satu hal: studio radio itu bukan hanya tempat bekerja, tetapi ruang hidup yang dihuni oleh banyak dimensi. Dan malam kedua hanyalah awal dari gangguan-gangguan lain yang lebih panjang.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel