Ads

Dompet Politik dan Jerat Anggaran Daerah

 

Dompet Politik dan Jerat Anggaran Daerah



Biaya 'Sedekah' Politik di Atas Rp15 Miliar: Demokrasi untuk Kaum Sudagar?

Pernyataan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto bahwa demokrasi Indonesia mahal tampaknya bukan isapan jempol. Pengalaman seorang politisi senior, Dr. Trimedia Panjaitan (Niko), yang memilih tak melanjutkan karir di Senayan setelah lima kali mencalonkan diri, memberikan angka telanjang: biaya politik untuk menjadi Caleg DPR RI dapat menembus angka di atas Rp15 miliar. Bahkan, menurut pengakuannya, nilai ini merupakan pengeluaran terbesar yang pernah ia alami.

Kisah Trimedia, empat setengah periode anggota DPR RI dari PDI-P, menjadi cermin buram praktik politik di akar rumput. Ia secara blak-blakan menyebut bahwa masyarakat kita semakin materialistis, dan pada saat pemilihan, perhatian serta ‘sedekah’ politik harus jelas bentuknya. Fenomena ini, yang dikenal sebagai 'serangan fajar', menjadi penentu utama kemenangan—sebuah kondisi yang membuat Caleg harus merogoh kocek lebih dalam, bahkan sampai pada level di atas Rp20 miliar bagi banyak koleganya, hanya agar "uangnya tidak kurang besar."

Keterkaitan dengan Anggaran Daerah

Mahalnya ongkos politik ini berimplikasi langsung pada tata kelola pemerintahan daerah. Trimedia Panjaitan memaparkan sebuah siklus yang hampir menjadi 'hukum alam' bagi kepala daerah:

1.      Tahun Pertama: Anggaran proyek daerah dialokasikan untuk membalas budi dan membayar tim sukses (Timses).

2.      Tahun Kedua & Ketiga: Anggaran diperuntukkan bagi kepentingan pribadi kepala daerah.

3.      Tahun Keempat: Anggaran digunakan untuk persiapan maju kembali atau memuluskan jalan dinasti politik (anak/istri/kerabat).

Siklus ini mengonfirmasi kekhawatiran publik: politik mahal memaksa pemimpin daerah mencari 'balik modal' dari APBD/APBN. Parahnya, pola permainan anggaran ini, menurut penegak hukum yang berinteraksi dengannya, dianggap terlalu kasar dan mudah terdeteksi.

Kondisi ini mendesak untuk adanya perbaikan sistemik. Anggota DPR yang berintegritas dan memilih untuk tidak 'bermain anggaran' seperti Trimedia menjadi semakin langka. Jelas, jika ongkos politik tetap semahal ini, maka Demokrasi Pancasila yang kita banggakan akan jatuh menjadi Demokrasi Kaum Sudagar, tempat rakyat hanya menjadi komoditas 'amplop' lima tahunan.

 

Kontributor

Akang Marta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel