Ads

Manajemen Hidup Antara Pendek dan Abadi

 

Seruan Otoritas Jati Diri dan Kesetaraan dalam Keberagaman: Manajemen Hidup Antara Pendek dan Abadi

Ditulis ulang berdasarkan ceramah Cak Nun di Kenduri Cinta oleh: Akang Marta

 

Intisari Pemikiran Cak Nun: Otentisitas dan Ranah Keabadian

Tulisan opini publik ini menggali kedalaman pemikiran Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang disajikan dalam forum Kenduri Cinta, terutama fokus pada dua hal fundamental: keotentikan dalam komunikasi beragama dan manajemen kehidupan antara Finite Game dan Infinite Game. Inti utama dari pandangan ini adalah seruan tegas untuk meninggalkan segala bentuk kepura-puraan sosial dan politik. Cak Nun mendorong setiap individu untuk hidup dalam ranah keabadian, yaitu mengutamakan keutuhan jiwa dan pengabdian jangka panjang.

Tulisan ini, yang disampaikan dengan bahasa yang lugas dan diselingi perumpamaan sehari-hari, menyerukan sebuah revolusi dalam cara kita berinteraksi di tengah masyarakat yang majemuk. Inti kuatnya adalah penolakan tegas terhadap kemunafikan atau tokenism yang dilakukan semata-mata demi dicap atau dianggap toleran. Penulis menekankan bahwa otentisitas diri yang jujur dan apa adanya adalah kunci fundamental menuju kedamaian sosial yang sejati dan berkelanjutan.

Penulis mengajak kita mempertanyakan kembali definisi toleransi yang selama ini dipraktikkan, yang seringkali hanya berbentuk asimilasi superfisial, bukan penerimaan yang mendalam. Dengan menolak kepura-puraan, individu didorong untuk fokus pada Infinite Game kehidupan, yaitu substansi batin dan nilai-nilai abadi, yang jauh lebih penting daripada kemenangan Finite Game atau penerimaan sosial yang bersifat dangkal.

Keberanian Otentik dan Keagungan Rasa Malu Ilahi

Penulis memulai dengan analogi sosial tentang harga diri dan rasa malu, di mana "lebih baik saya mati daripada malu" (putih tulang daripada putih mata), menunjukkan bahwa rasa malu dinilai lebih buruk daripada kematian fisik. Dalam konteks ini, penulis menyentil bahwa Allah SWT memperkenalkan diri-Nya sebagai Al-Hayiyu (Yang Maha Pemalu), sebuah nama yang melampaui 99 Asmaul Husna yang umum diketahui. Tuhan disebut Maha Pemalu, terutama malu jika tidak mengabulkan doa hamba-Nya yang telah berjuang dan memohon. Rasa malu Ilahi ini menjadi basis rahmat.

Ironisnya, muncul Keluhan Ilahi yang tersirat: "Gimana si wong aku ini pemalu sekali kok kalian manusia makin tidak tahu maklum." Hal ini mencerminkan kontradiksi bahwa manusia modern sering kehilangan rasa malu dan maklum, sementara Tuhan justru menggunakan rasa malu-Nya sebagai basis rahmat.

Penulis menegaskan bahwa ia tidak memiliki kepuasan untuk menyalahkan orang lain, bahkan sangat senang menemukan kesalahan pada dirinya sendiri. Sikap reflektif dan otentik ini—yang merupakan awal dari kebijaksanaan—adalah fondasi moral sebelum seseorang membahas manajemen hidup. Penulis menekankan bahwa ia tidak ingin mempermalukan siapapun di hadapan Maiyah, meskipun ia memiliki banyak bahan kritik, karena ia lebih suka mencari kesalahannya sendiri, menunjukkan otentisitas dan penemuan diri.

Otoritas Jati Diri dalam Berkomunikasi: Menolak Tokenism Komunikasi

Penulis secara eksplisit menolak praktik pengucapan salam seremonial yang tidak sesuai dengan keyakinan otentik seseorang, mencontohkan pejabat yang mengucapkan "enam macam salam" hanya demi tujuan politik. Praktik ini dianggap sebagai tokenism komunikasi dan kehilangan jati diri yang mereduksi ketulusan. Pesan Utama adalah: Jadilah Dirimu Masing-Masing. Jawablah sapaan sesuai dengan idium agama otentikmu—"Shalom," "Om Santi Santi," atau sapaan otentik lainnya.

Penulis menekankan bahwa maksud hakiki dari setiap sapaan, yaitu mengajak berdamai dan tidak saling menyakiti, adalah universal. Jika maksudnya sudah sama, mengapa harus meniru bentuk luarannya? Ketika seseorang menyapa otentik "Shalom" dan yang disapa menjawab otentik "Waalaikumsalam," pertukaran itu justru menegaskan kesetaraan dalam perbedaan yang tulus.

Melalui Analogi Hewan ("domba tidak perlu menirukan serigala"), penulis memberikan kritik pedas. Hewan tidak perlu mengubah suara agar diterima; mereka hanya perlu saling mengerti. Manusia justru harus "belajar" kepada hewan karena sering terjebak kepura-puraan demi menghindari cap intoleran. Kritik terhadap Elit dan Pemerintahan adalah bahwa praktik mengucapkan banyak salam oleh pejabat adalah indikasi "manajemen sosialnya para binatang masih sedikit lebih maju," karena mereka menyamakan akomodasi verbal dengan kedamaian substansial.

Manajemen Sosial yang Lebih Jujur dan Damai

Penulis berargumen bahwa kedamaian sejati tercipta bukan karena adanya keseragaman ucapan atau dress code, melainkan karena pemahaman dan penerimaan yang mendalam terhadap bahasa otentik masing-masing pihak.

Konsep ini diperkuat oleh Definisi Damai Versi Bebek & Kambing: Saling Mengerti Maksud. "Bebek ngerti kalau kambing 'mbek-mek' berarti sama maksudnya dengan kalau dia 'wek-wek'." Analogi kuat ini menyiratkan bahwa pemahaman antar-identitas—yaitu menyadari bahwa semua sapaan dari berbagai agama memiliki tujuan damai yang sama—jauh lebih penting dan dewasa daripada tuntutan akan keseragaman sapaan yang dangkal.

Toleransi Sejati vs. Kepura-puraan didefinisikan secara tegas: Toleransi sejati adalah menerima individu apa adanya, dengan semua idiom dan kekhasannya, bukan menerima versi yang sudah "dimunafik-munafik pura-pura menirukan yang lain." Mengubah diri agar diterima, seperti pejabat yang mengucapkan "enam macam salam" hanya untuk tujuan politik, justru merupakan penghinaan terhadap kekayaan keragaman itu sendiri. Kedamaian substansial hanya mungkin dicapai ketika setiap pihak berani hadir secara otentik dan memahami maksud tulus di balik perbedaan ekspresi luar.

Permainan Berbatas (Finite Game) dan Permainan Abadi (Infinite Game)

Poin sentral dari pemikiran ini adalah pemisahan antara aspek kehidupan yang bersifat sementara dan yang bersifat abadi. Ini ditegaskan dalam Ranah Keluarga: Keabadian Relasi Mengalahkan Urusan Pendek. Dalam rumah tangga, masalah sehari-hari seperti memilih menu makan atau pertengkaran kecil adalah contoh Finite Game yang berbatas. Sebaliknya, keabadian relasi yang disatukan oleh pernikahan, terutama dengan hadirnya anak yang menjadi "target utama," adalah Infinite Game yang tidak bisa diakhiri.

Penulis berargumen bahwa tolok ukur jangka pendek—seperti kecantikan, ketampanan, keseksian, atau kelembutan fisik—tidak berlaku dalam pernikahan abadi. Kecantikan fisik adalah hal yang fana ("umur 40 sudah enggak bisa dilihat," mengutip guyonan tentang "Quran suwek"). Istri pada usia 75 tahun tetap istri, dan cinta harus tetap ada karena ukurannya sudah beralih dari yang dangkal (fisik, santun) menjadi yang abadi: keabadian, kesetiaan, dan penerimaan tanpa syarat.

Rumah tangga yang benar tidak mengenal konsep kalah-menang, sebab kalah-menang adalah urusan pendek yang tidak relevan dalam Infinite Game. Bahkan, pertengkaran suami istri yang rewel pun kadang tidak perlu diselesaikan secara formal; mereka akan capek dan baik sendiri. Fokus utama harus tetap pada pemeliharaan keabadian relasi, menempatkan kepentingan jangka pendek di bawah payung komitmen seumur hidup.

Ancaman '3C' dan Keharusan Interkoneksi

Penulis mengkritik keras kehidupan modern yang terancam oleh hegemoni mentalitas '3C': Cekak (berpikir sempit dan pendek), Cetek (beranalisis dangkal), dan Ciut (memiliki pandangan ke depan yang terbatas). Sayangnya, pola pikir 3C ini telah menginfeksi hampir semua ranah publik, termasuk politik yang hanya berorientasi elektoral jangka pendek, kebudayaan yang kehilangan kedalaman filosofis, ekonomi yang hanya mengejar laba instan, bahkan hingga praktik beragama yang berhenti pada ritual seremonial tanpa substansi. Ini menciptakan masyarakat yang reaktif dan tidak utuh.

Untuk melawan kedangkalan massal ini, manusia diajarkan untuk mengedepankan analisis, kelengkapan, dan interkoneksi. Konsep Interkoneksi adalah kuncinya: jangan pernah memihak secara mutlak pada yang "panjang" (mendalam) atau yang "pendek" (dangkal). Kebijaksanaan sejati terletak pada kemampuan mengerti peran keduanya dan menemukan kerja sama yang saling melengkapi.

Penulis menegaskan bahwa kedangkalan dan kesempitan juga dibutuhkan. Hidup tidak bisa selalu "longgar" atau luas; fokus praktis kadang menuntut kesempitan. Oleh karena itu, seseorang harus interkonektif, yaitu mampu menyambungkan kedalaman filosofis dengan kepraktisan sehari-hari. Sikap yang paling otentik adalah tidak menghina yang dangkal hanya karena ia mendalami, melainkan mengerti bahwa setiap ranah memiliki fungsi temporalnya masing-masing demi mencapai keutuhan yang abadi.

Kegagalan Manajemen Negara dan Pemerintah (220 Kata)

Penulis menggunakan dikotomi filosofis Finite Game dan Infinite Game untuk membongkar kegagalan struktural dalam manajemen sistem kenegaraan. Negara diposisikan sebagai Infinite Game, sebuah entitas abadi yang eksistensinya tidak direncanakan untuk berakhir. Idealnya, Negara harus memiliki program jangka panjang yang strategis, mencakup rentang 30 hingga 200 tahun, sebagai antisipasi terhadap keabadiannya. Sebaliknya, Pemerintah adalah Finite Game, sebuah tim sementara yang terikat pada kontrak lima tahun yang jelas berbatas.

Kritik Utama penulis meruncing pada pertanyaan esensial mengenai pengabdian: Apakah Negara yang abadi harus menyesuaikan diri dan mengikut semau-maunya Pemerintah yang berjangka pendek, ataukah Pemerintah yang seharusnya mengabdi pada kepentingan strategis jangka panjang Negara?

Penulis menyoroti Absurditas Manajemen yang terjadi di Indonesia: "Sesuatu yang abadi taat kepada sesuatu yang sementara, sesuatu yang panjang taat kepada sesuatu yang pendek." Ini adalah kesalahan fatal sejak landasan filosofisnya. Pemerintah, yang manajemennya diibaratkan sprinter yang hanya berorientasi pada garis finis elektoral lima tahunan, seringkali enggan berpikir atau berinvestasi pada program bagus yang hasilnya baru akan dinikmati oleh presiden berikutnya. Orientasi jangka pendek ini mengorbankan kesinambungan dan keberlanjutan Negara.

Sprint dan Maraton: Cacat Manusia Modern

Penulis mengkritik keras kondisi manusia modern yang dicirikan oleh manajemen sprint yang tidak lengkap. Manajemen sprint dan maraton memiliki perbedaan total dalam pacing, nafas, irama, dan stamina. Seorang sprinter tidak perlu berpikir secara utuh; ia hanya fokus pada kecepatan instan. Manusia modern, yang dipaksa hidup dengan ritme serba cepat dan instan ini, akhirnya kehilangan kelengkapan diri.

Penyebab struktural 'cacat' ini adalah Cacat Fakultas dalam sistem pendidikan tinggi. Penulis mengkritik bahwa institusi pendidikan saat ini hanya memiliki fakultas-fakultas—studi yang terkotak-kotak/fakultatif—bukan Universitas sejati yang harusnya menyajikan keutuhan ilmu dan jiwa. Sarjana, sehebat apapun gelarnya, hanyalah lulusan fakultatif yang membangun manusia sepertiga; mungkin unggul di intelektual saja, tapi kosong di spiritual, atau sebaliknya. Manusia tidak utuh.

Kontrasnya, Maiyah digambarkan sebagai Universitas sejati meski tidak formal. Komunitas ini menghasilkan "sarjana universitas" karena menyediakan keutuhan, keseimbangan, dan kelengkapan jiwa. Lulusan Maiyah cenderung menjadi lebih tenang, matang, dan bijaksana. Karena keutuhan inilah, lulusan Universitas Maiyah menjadi tempat orang bertanya dan menyelesaikan masalah, menunjukkan bahwa keutuhan batin adalah sumber kebijaksanaan, jauh melampaui gelar akademik parsial.

Kontrak Jangka Pendek dan Hilir yang Salah

Penulis menyayangkan bahwa dalam tata kelola negara, yang dominan saat ini hanyalah langkah-langkah Pemerintah yang sifatnya sementara, bukan langkah-langkah Negara yang seharusnya bersifat abadi. Kontradiksi ini diperparah oleh status Presiden yang bersifat outsourcing dengan kontrak jelas lima tahun, sementara Aparat Sipil Negara (ASN), yang merupakan pelaksana teknis, justru memiliki kontrak sepanjang hidup.

Absurditas manajemen ini dirangkum dalam pertanyaan menohok: "Kenapa sekarang yang sepanjang hidup disuruh taat kepada yang outsourcing?" Ini menunjukkan pembalikan logika yang fundamental: yang berjuang untuk keabadian (ASN/Negara) dipimpin oleh entitas yang insentifnya terbatas pada jangka pendek (Presiden/Pemerintah). Situasi ini tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya karena mengabaikan kesinambungan program dan hanya berfokus pada hasil yang dapat dicapai dalam siklus politik lima tahunan.

Karena landasan manajemen di hulu sudah salah—yaitu mengutamakan kepentingan sementara di atas kepentingan abadi—maka hasil di hilir hanyalah akibat logis dari kesalahan tersebut. Dinamika politik praktis seperti pemilihan presiden (Pilpres) atau kualitas calon pemimpin yang muncul adalah manifestasi dari sistem yang memang sudah dirancang dengan cacat filosofis. Selama logika outsourcing kepemimpinan ini mendominasi keabadian Negara, hasil politik di hilir tidak akan pernah menjadi solusi, melainkan hanya cerminan dari kegoyahan di hulu.

Perumpamaan Ketuhanan dan Kebahagiaan Otentik

Bagian ini menggali bagaimana Tuhan berkomunikasi dan bagaimana manusia seharusnya mencapai kebahagiaan sejati. Penulis membenarkan Penggunaan Simbolisme dan dialog yang sangat manusiawi (seperti dialog Allah dan malaikat) untuk menjelaskan konsep Ilahi, karena "itu cara kita memahami batasnya cuman segitu." Allah sendiri tidak malu menggunakan perumpamaan tentang hal-hal sekecil cacing atau nyamuk, menunjukkan bahwa komunikasi-Nya menggunakan bahasa yang dapat dijangkau oleh keterbatasan pemahaman manusia.

Penulis menutup dengan mengungkapkan kekhawatiran personalnya: ia takut audiens salah sangka dan menganggapnya sebagai figur yang "memiliki" mereka, padahal ia ingin merdeka dari kepemilikan tersebut, karena ia percaya bahwa yang memiliki umat hanyalah Nabi Muhammad SAW. Keinginan untuk merdeka dari kepemilikan ini adalah bagian dari otentisitasnya.

Ciri Khas Maiyah adalah Kebahagiaan dan Keutuhan. Kebahagiaan yang dimaksud bukan sekadar gembira sesaat, melainkan kebahagiaan yang berasal dari jiwa yang sehat, seimbang, dan utuh. Keutuhan ini mencakup keseimbangan mental, intelektual, hati, dan perasaan. Mencapai keutuhan ini menciptakan kondisi di mana seseorang tidak memiliki ruang sedikit pun untuk berbuat buruk. Kesimpulan Akhir adalah bahwa kedamaian sejati muncul dari pemahaman bahwa finite game (pertarungan pendek) harus selalu ditempatkan dalam rangka perjuangan panjang (infinite game). Kedamaian sejati muncul dari kebenaran jati diri yang berorientasi pada nilai-nilai yang tak lekang oleh waktu.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel