Ads

Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Inti Agama Sejati: Kesatuan Amal, Ilmu, dan Hati

 

Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Inti Agama Sejati: Kesatuan Amal, Ilmu, dan Hati  



Semar, Sang Pamomong Agung, mengambil segenggam pasir dari tanah, membiarkannya mengalir melalui celah jarinya hingga membentuk garis tipis di hadapan Sunan Kalijaga. Setiap butir pasir terlihat memantulkan cahaya lembut dari tubuh Semar.

"Saiki wayahe kowe ngerti inti saking kabeh laku," kata Semar. Suaranya bergemar ringan, tetapi penuh wibawa. Kalijaga menahan napas. Ia tahu wejangan yang akan datang adalah inti dari seluruh perjalanan spiritual malam itu. Semar menunjuk garis pasir itu lalu menatap Kalijaga dalam-dalam.

"Agama sejati iku manunggaling telung perkara: Amal, Ilmu, lan Ati." (Agama sejati itu adalah penyatuan tiga perkara: Amal, Ilmu, dan Hati.)

Kata-kata itu sederhana, tetapi terasa seperti membuka pintu besar di dalam diri Kalijaga. Semar lalu menjelaskan dengan tenang:

"Amal tanpa ilmu bakal salah. Ilmu tanpa amal bakal kosong. Lan loro tanpa ati bakal dadi sing ora ana dalane." (Amal tanpa ilmu akan salah arah. Ilmu tanpa amal akan kosong. Dan keduanya tanpa hati akan menjadi jalan yang tidak bermakna.)

Kalijaga menunduk, memikirkan kembali perjalanan hidupnya. Ia mengajarkan syariat, mempelajari ilmu, dan beramal semampunya. Namun, ia sadar seringkali ketiganya tidak berjalan seimbang. Ada masa ketika ia terlalu fokus pada ilmu hingga lupa meresapkan maknanya ke dalam hati. Ada pula masa ketika amalnya lebih mengutamakan bentuk, bukan rasa.

Semar membaca kegelisahan itu dari wajahnya.

"Delengen iki," ujar Semar sambil mengambil setetes air dari kendi yang tiba-tiba muncul di sampingnya, seolah dipanggil dari udara. Ia menjatuhkan air itu ke tanah. Air itu mengalir sebentar lalu hilang. "Iki ilmu. Yen ora digabung karo amal bakal hilang tanpa guna." (Ini ilmu. Jika tidak digabung dengan amal akan hilang tanpa guna.)

Lalu Semar mengambil segenggam pasir lagi.

"Pasir iku akeh, nanging resik. Pasir iku amal. Yen ora digabung karo ilmu, amal bakal nutupi cahyamu." (Pasir itu banyak, tetapi bersih. Pasir itu amal. Jika tidak digabung dengan ilmu, amal akan menutupi cahayamu.)

Akhirnya, Semar menunjuk dada Kalijaga.

"Nanging iki sing paling penting: Ati. Ati iku pangeran. Tanpa ati, kabeh mung dadi gerakan kosong." (Namun ini yang paling penting: Hati. Hati itu adalah tempat Tuhan. Tanpa hati, semua hanya menjadi gerakan kosong.)

Kalijaga merasa dadanya bergetar, bukan karena takut, tetapi karena merasa disentuh oleh kebenaran yang selama ini ia cari. Ia teringat bagaimana banyak orang yang beribadah, namun tetap menyimpan dengki dan kesombongan. Ia sadar bahwa ibadah mereka hanya menyentuh tubuh, bukan hati. Dan kini ia mengerti, hati adalah pusat dari agama sejati. Tanpa hati, ilmu hanya menjadi hafalan dan amal hanya menjadi kebiasaan.

Semar menatapnya dengan sorot mata yang lembut, namun tetap membawa wibawa:

"Agama ora ana ing lambe, ora ana ing sandhangan. Ora ana ing pameran. Agama ana ing ati sing eling lan ora gumunggung." (Agama tidak ada di lisan, tidak ada di pakaian. Tidak ada di pameran. Agama ada di hati yang ingat dan tidak sombong.)

Semar kemudian menambahkan, "Kowe ora bakal nemokake Gusti ing cahya sing padhang. Kowe bakal nemokake Gusti ing ketenangan atimu dhewe." (Engkau tidak akan menemukan Tuhan dalam cahaya yang terang. Engkau akan menemukan Tuhan dalam ketenangan hatimu sendiri.)

Malam itu, Kalijaga menyadari bahwa agama sejati bukan hanya tentang mengetahui dan melakukan, tetapi tentang menyatukan keduanya dalam hati yang tulus.

Kontributor: Akang Marta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel