Perjalanan Batin Sang Sunan: Kelahiran Kembali Sang Penerang Jalan
Perjalanan Batin Sang Sunan: Kelahiran
Kembali Sang Penerang Jalan
Cahaya terakhir yang menyelimuti Semar akhirnya lenyap. Sunan Kalijaga
berdiri sendiri di tengah Alas Mentaok, tetapi ia tidak merasa sendiri. Ia
membawa amanat, wejangan, dan cahaya baru dalam hatinya.
Ia berdiri diam memandangi titik tempat Semar menghilang. Yang ia lihat
bukanlah kehilangan, melainkan kelahiran sesuatu yang baru dalam dirinya.
Kalijaga menarik napas dalam. Dada yang sebelumnya penuh kegelisahan kini
terasa lapang.
Ia menyentuh dadanya dengan lembut, merasakan gema wejangan Semar masih
bergetar di dalam sana. Setiap kata, setiap simbol, setiap nasihat tentang
hati, ego, Syariat, Tarekat, Hakikat, Ma'rifat, dan Jati Diri, semuanya kini
menyatu membentuk pemahaman baru yang mengakar kuat dalam jiwanya.
Ia memutar tubuh, menatap hutan yang kini tampak berbeda. Pohon-pohon
tidak lagi terlihat gelap. Mereka tampak lebih hidup, lebih hangat, seolah ikut
menyambut kelahirannya kembali sebagai seorang manusia yang lebih jernih.
Kalijaga merasakan langkahnya lebih ringan ketika ia mulai berjalan
pelan meninggalkan tempat pertemuannya dengan Semar. Masing-masing langkah itu
terasa seperti meretas jalur baru. Ia tidak lagi berjalan sebagai seorang
pencari ilmu yang gelisah, tetapi sebagai seorang pembawa amanat yang telah
menemukan kompas batinnya.
Suara Semar kembali bergema dalam ingatannya. Aja
nganti amalmu luwih gedhe tinimbang atimu. Aja nganti ilmumu luwih dhuwur
tinimbang andhap asormu. Aja nganti dakwahmu luwih rame tinimbang keikhlasanmu.
Wejangan yang sederhana, namun menjadi fondasi kokoh bagi perjalanan panjang
yang menunggunya.
Ketika Kalijaga keluar dari area cahaya itu, angin malam akhirnya kembali
berhembus. Namun hembusan kali ini terasa berbeda. Ia membawa kesejukan,
membawa ketenangan, seperti salam perpisahan dari alam gaib yang telah
menyaksikan seluruh proses pembentukannya malam itu. Daun-daun yang bergesekan
memancarkan suara lembut seolah mengikuti langkahnya dengan irama penuh doa.
Dalam perjalanan turun dari Alas Mentaok, Kalijaga tidak lagi melihat
hutan sebagai tempat gelap penuh misteri. Ia melihatnya sebagai ruang tempat
Tuhan menitipkan pelajaran. Setiap ranting, setiap cahaya bulan, setiap
hembusan angin menjadi pengingat baginya bahwa alam adalah kitab terbuka yang
hanya dapat dibaca oleh hati yang jernih.
Kalijaga berhenti sejenak di sebuah batu besar dan menatap langit malam
yang bertabur bintang. Ia memejamkan mata. Bersyukur atas anugerah yang tidak
pernah ia bayangkan. Pertemuannya dengan Semar bukan sekadar petunjuk, tetapi
perubahan mendalam yang membuatnya memahami makna dakwah sebenarnya. Baginya,
dakwah bukan hanya mengubah perilaku, tetapi mengubah hati; bukan hanya menyampaikan
aturan, tetapi menanamkan rasa; bukan hanya memanggil manusia kepada Tuhan,
tetapi membawa Tuhan ke dalam hati manusia.
Ketika ia membuka mata, senyum kecil muncul di wajahnya. Ia tak lagi
merasa sendiri. Ia membawa amanat Semar, membawa cahaya baru yang akan ia
sebarkan kepada masyarakat Jawa. Dan ia tahu tanggung jawab itu bukan beban,
melainkan kehormatan.
Kalijaga kemudian melangkah keluar dari hutan dengan langkah yang
mantap. Setiap langkahnya seperti menorehkan jejak cahaya di tanah. Malam itu,
seorang Kalijaga yang lama benar-benar gugur. Dan lahirlah Kalijaga yang
baru—seorang penerang jalan bagi banyak jiwa yang akan ia temui di perjalanan
dakwahnya. Malam telah menjadi saksi lahirnya sebuah cahaya baru bagi tanah
Jawa. Dan perjalanan itu baru saja dimulai.
Kontributor: Akang Marta
