Warisan Beban Jokowi dan Dilema Moral Prabowo
Warisan Beban Jokowi dan Dilema Moral Prabowo
Penulis: Akang Marta
Opini publik terbelah antara kecurigaan politik tingkat tinggi (komitmen
tertulis) dan keterkejutan atas warisan ekonomi yang membebani pemerintahan
baru. Secara keseluruhan, isu ini menciptakan narasi bahwa pemerintahan
Prabowo-Gibran sudah terikat secara politik dan terbebani secara
fiskal bahkan sebelum benar-benar berjalan.
1. Ikatan Politik
Rahasia: Dilema Moral Prabowo
Masyarakat melihat adanya bayangan komitmen politik yang
mengikat antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto, yang berpotensi membatasi
independensi Prabowo.
·
Jebakan Komitmen Tertulis:
Keberadaan "komitmen-komitmen bahkan tertulis" yang diinisiasi oleh
Jokowi menciptakan citra bahwa Jokowi telah memagari kekuasaan Prabowo sejak
awal. Opini publik mencurigai bahwa komitmen ini adalah alat kontrol politik,
bukan sekadar janji.
·
Grace Politik dan
Tali Budi: Penilaian bahwa Prabowo "terlalu baik" dan akan memegang
teguh ikatan karena merasa "berutang budi" (meskipun Jokowi dianggap
"tidak ikhlas" dan pernah "mengerjai" Prabowo di dua
Pilpres sebelumnya) menimbulkan simpati namun juga kekhawatiran. Publik melihat
Prabowo berada dalam dilema moral:
o Kekhawatiran: Keputusan Prabowo mungkin didorong oleh grace
(budi baik) pribadi, bukan kepentingan nasional.
o Harapan: Secara moral, Prabowo dibenarkan untuk menarik diri
dari ikatan tersebut karena dukungan Jokowi yang diberikan sesungguhnya adalah
untuk wakilnya (Gibran), bukan untuk Prabowo pribadi. Ini menjadi "kartu
AS" moral bagi Prabowo untuk memimpin secara independen.
·
Peran Aparat: Penyebutan
peran Kapolri dan Mendagri (Tito Karnavian) dalam "kemenangan
Prabowo" semakin memperkuat dugaan publik tentang keterlibatan dan
mobilisasi aparatur negara dalam proses pemenangan, yang menambah kompleksitas
warisan politik yang harus ditanggung Prabowo.
2. Warisan Ekonomi dan Kezaliman Fiskal Jokowi
Opini publik menemukan titik terang bahwa efisiensi dan
pemotongan anggaran yang terjadi di pemerintahan Prabowo adalah konsekuensi
langsung dari kebijakan ugal-ugalan Jokowi di masa lalu.
·
Pemerintahan Menanggung
Getah: Frasa "orang lain makan cempedak, kita yang kena getahnya"
sangat mewakili sentimen publik. Pemerintahan Prabowo dan, yang lebih penting, seluruh
pemerintah daerah (Pemda) di Indonesia dipandang sebagai korban yang harus
memikul beban utang ugal-ugalan, korupsi besar-besaran (kasus BUMN, timah,
Pertamina), dan kegagalan penerimaan pajak di era Jokowi.
·
Korupsi dan Utang Mubazir:
Opini publik menyimpulkan bahwa beban efisiensi adalah hasil dari utang jumlah
besar yang "mubazir" dan korupsi yang "ugal-ugalan." Ini
meningkatkan kekecewaan dan kemarahan publik terhadap pemerintahan sebelumnya.
3. Korban Otonomi Daerah: Frustrasi Pemda
Analisis Profesor Rasi memicu opini publik bahwa otonomi
daerah saat ini telah gagal total, dan daerah menjadi pihak yang paling
dirugikan.
·
Ketergantungan Total:
Pemotongan dana subsidi daerah hingga 30%—tanpa adanya kontribusi kesalahan
dari daerah—dianggap sebagai bukti nyata kegagalan otonomi yang original.
Daerah kini kembali pada kondisi sebelum otonomi, dengan ketergantungan tinggi
pada pusat dan sumber daya yang terbatas (sektor kehutanan, kelautan, migas
ditarik pusat).
·
Ekspresi Frustrasi dan
Kerusuhan: Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang ugal-ugalan oleh Pemda
(seperti di Pati dan Bone) dilihat sebagai ekspresi frustrasi Pemda yang terdesak
untuk mencari pendapatan karena subsidi dipotong. Aksi Pemda ini, yang
membebani rakyat secara berlebihan, dianggap sebagai penyalahgunaan prinsip
pemerintahan yang baik (yang seharusnya melayani, bukan memungut
terus-menerus).
·
Ancaman Nasional: Jika
daerah-daerah penghasil seperti Maluku dan Kalimantan Timur saja mengeluh, maka
seluruh Indonesia terancam "merana." Opini publik menuntut Pemerintah
Pusat untuk segera mengoreksi filosofi pembangunan agar Pemda fokus pada pelayanan
publik dan pemberdayaan masyarakat, bukan hanya pembangunan fisik yang mahal.
Pemerintahan baru mewarisi "beban ganda": ikatan politik yang
dicurigai sebagai kontrol dari mantan Presiden, dan krisis fiskal yang memaksa
efisiensi drastis akibat utang dan korupsi masa lalu. Opini publik menyimpulkan
bahwa daerah adalah korban utama dari warisan ini, dan mendesak Prabowo untuk
menggunakan "kartu AS" moralnya untuk membebaskan diri dari ikatan
pribadi dan memimpin dengan berorientasi pada nilai (value) untuk menyelamatkan
otonomi daerah.
Disclaimer:
Tulisan ini merangkum klaim dan kritik Prof. Ryaas Rasyid dalam Podcast Madilog
Forum Keadilan mengenai dugaan campur tangan Jokowi terhadap Prabowo, termasuk
komitmen tertulis. Isi bersifat opinional, belum terverifikasi secara
independen. Pembaca disarankan merujuk sumber asli untuk konteks.https://youtu.be/58WDQbbPk5U?t=453
