Ads

Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Pituduh Gaib: Jembatan Menuju Ma'rifat dan Jati Diri

Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Pituduh Gaib: Jembatan Menuju Ma'rifat dan Jati Diri



Setelah air mata itu jatuh, suasana di Alas Mentaok berubah. Hening yang sebelumnya terasa seperti kekosongan kini berubah menjadi hening yang penuh kehadiran. Sunan Kalijaga duduk bersila, merasakan dadanya lebih ringan. Beban bertahun-tahun yang ia pikul telah luruh bersama butiran air mata. Namun, ia tahu bahwa wejangan yang lebih dalam masih menunggunya.

Sosok kecil bercahaya itu memejamkan mata. Tubuhnya tidak bergerak, tetapi cahaya lembut di sekelilingnya berdenyut perlahan seperti napas makhluk yang hidup dalam dua dunia sekaligus. Kalijaga menahan napas, menjaga pikirannya tetap terbuka.

Ketika ia melakukannya, angin tipis mulai berhembus dari arah yang tidak bisa ia tentukan. Hembusan itu bukan angin biasa. Ia membawa suara yang begitu halus sehingga hampir tidak terdengar oleh telinga, tetapi jelas terasa di hati. Perlahan, suara itu berubah menjadi seperti bisikan yang berbicara dari dalam dadanya sendiri. Bukan suara sosok kecil itu, bukan pula suara manusia. Suara itu terasa tua, sangat tua, seolah telah mengiringi perjalanan alam sejak awal penciptaan.

"Kowe tak paringi pituduh, nanging kudu siap nampa bebener sing luwih abot." (Engkau Kuberi petunjuk, tetapi harus siap menerima kebenaran yang lebih berat.)

Kalijaga membuka mata, terkejut oleh kejelasan suara itu, ia menatap sosok kecil bercahaya. Tetapi makhluk itu masih diam. Seakan hanya menjadi jembatan tempat suara gaib itu lewat. Suasana di sekeliling mereka mulai berubah. Dedaunan bergerak tanpa angin. Udara bergetar tipis seperti senar kecapi yang dipetik pelan. Kalijaga merasakan setiap getaran itu menyentuh lapisan batin terdalamnya.

Cahaya di sekitar sosok kecil itu kemudian melebar, membentuk lingkaran yang terus membesar. Lingkaran cahaya itu bukan batas, melainkan sebuah portal, sebuah gerbang menuju dua lapisan ilmu yang tersisa dari lima tingkatan spiritualitas: Ma'rifat dan Jati Diri.

Sosok itu, melalui suara batin, mulai mengajarkan tentang Ma'rifat:

"Ma'rifat iku deleng Gusti ing saben panggonan." (Ma'rifat itu melihat Tuhan di setiap tempat.)

Ma'rifat adalah ilmu tentang kesatuan. Setelah hati bersih (Hakikat), mata batin akan terbuka untuk menyaksikan Kebesaran Ilahi dalam segala manifestasi. Ma'rifat adalah kesadaran bahwa sungai yang mengalir, angin yang berhembus, bahkan butiran pasir yang jatuh—semuanya adalah Ayatullah (Tanda-tanda Tuhan).

Di tahap ini, ibadah tidak lagi terbatas pada waktu dan tempat. Setiap napas adalah zikir, setiap pandangan adalah tafakur. Ma'rifat membebaskan seseorang dari rasa khawatir dan ketakutan, karena ia tahu bahwa segala yang terjadi berada dalam Genggaman dan Pengetahuan Mutlak Sang Pencipta. Inilah tingkatan di mana Sunan Kalijaga harus beroperasi: menggunakan seni dan budaya sebagai media, karena seni adalah perwujudan Ma'rifat—melihat keindahan Tuhan dalam ciptaan manusia.

Puncak dari semua ajaran ini, dan jawaban atas kegelisahan terdalam Kalijaga, adalah wejangan tentang Jati Diri.

"Nanging sing paling abot, iku ngerti Jati Diri. Jati Diri iku Cahyaning Gusti sing manggon ing jero atimu." (Tetapi yang paling berat adalah mengerti Jati Diri. Jati Diri itu adalah Cahaya Tuhan yang bersemayam di dalam hatimu.)

Jati Diri adalah hakikat paling murni dari eksistensi manusia, inti yang tidak terpengaruh oleh syariat, nafsu, atau emosi. Jati Diri adalah Sirrullah (Rahasia Tuhan) yang dititipkan dalam diri. Mengenal Jati Diri berarti mengenal Tuhan (Man 'Arafa Nafsahu Faqad 'Arafa Rabbahu - Siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya).

Sosok kecil itu kini sepenuhnya dikelilingi oleh cahaya yang hangat, dan suaranya mengalun seperti melodi kuno.

"Tugasmu saiki, Kalijaga, dudu mung ngajak wong salat lan wudhu. Nanging ngajak wong nemokake Nahkoda Sejatine, ngajak wong ngresiki kaca atine, lan nemokake Jati Diri ing jerone." (Tugasmu sekarang, Kalijaga, bukan hanya mengajak orang salat dan wudu. Tetapi mengajak orang menemukan Nahkoda Sejatinya, mengajak orang membersihkan cermin hatinya, dan menemukan Jati Diri di dalamnya.)

Inilah yang disebut Manunggaling Kawula Gusti dalam pemahaman Jawa yang paling luhur—bukan persatuan fisik, melainkan persatuan kesadaran.

Kontributor: Akang Marta


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel