Ads

Antara Membaca, Kekuasaan, dan Kebenaran Akademik

 

Antara Membaca, Kekuasaan, dan Kebenaran Akademik

Penulis: Akang Marta



Opini publik yang diangkat dari segmen ini berfokus pada tiga pilar utama: pentingnya membaca bagi seorang pemimpin, perjuangan dan fokus kaum intelektual, dan konflik antara kebenaran akademik melawan kekuasaan.

1. Membaca Sebagai Fondasi Leadership

Opini publik sangat setuju bahwa pemimpin sejati haruslah seorang pembaca. Kontras yang ditekankan antara "orang yang membaca" dan "pejabat yang hanya punya mainan" menjadi kritik tajam terhadap kualitas kepemimpinan.

  • Pembangun Imajinasi Kepemimpinan: Membaca, terutama karya fiksi dan non-fiksi mendalam, diyakini sebagai satu-satunya sumber untuk membangun imajinasi tentang leadership. Sahabat-sahabat imajiner (Tom Sawyer, Winnet Togom) mewakili dimensi kemanusiaan, keberanian, dan kompleksitas karakter yang harus dipahami oleh seorang pemimpin.
  • Identitas Leader: Frasa kunci, "Pemimpin itu orang yang membaca dan bersaing," menciptakan standar moral dan intelektual. Seorang pemimpin yang tidak membaca, meskipun memegang jabatan, hanya dianggap memiliki walet (nilai) sebagai manusia biasa, bukan sebagai pemimpin sejati.
  • Relevansi Global: Perkembangan teknologi (IT) telah menghapus kesenjangan geografis, membuat akses pengetahuan (misalnya, book launching di New York dan di kampung) menjadi setara. Hal ini semakin memperkuat tuntutan publik: jika akses begitu mudah, mengapa ada pemimpin yang memilih untuk tidak membaca?

2. Fokus Intelektual Melawan Gangguan Politik

Opini publik mengapresiasi dan membenarkan etika kerja kaum intelektual yang terlibat dalam pengusutan isu ijazah.

  • Tiring Academic Work: Penelitian akademik digambarkan sebagai pekerjaan yang melelahkan (tiring), menuntut kesabaran, ketekunan, dan fokus tinggi. Bagi para ilmuwan seperti "Tritunggal" (Dr. Tifa, Roy Suryo, Rismon), hal yang paling penting adalah academic question mereka, bukan urusan politik atau kepentingan lain.
  • Pengorbanan dan Kiblat Kebenaran: Publik melihat bahwa ketekunan kaum intelektual ini melibatkan pengorbanan personal (keluarga, dapur, bahkan ancaman kriminalisasi). Mereka menukar "jiwa" demi menemukan "kebenaran akademik mutlak" (academic truth).
  • Gejala Kebudayaan: Fenomena di mana kaum terpelajar fokus pada subjek tunggal (ijazah) selama berbulan-bulan, meskipun ada gangguan politik dan ancaman, adalah gejala kebudayaan yang sehat. Itu menunjukkan bahwa di tengah kegaduhan politik, masih ada segmen masyarakat yang memegang teguh kiblat ilmiah.

3. Kekuasaan Melawan Kebenaran Akademik

Konflik antara ilmuwan dan kekuasaan menjadi sentral dalam opini publik, terutama ketika karya akademik dijawab dengan tindakan kriminalisasi.

  • Kekuatan Academic Truth: Fakta bahwa "tidak ada karya yang membantah" hasil penelitian ilmiah (meskipun ada kesempatan bagi pihak lawan untuk melakukan bantahan ilmiah) dianggap sebagai bukti kekuatan tak tertandingi dari kebenaran akademik (academic truth).
  • Respon Kekuasaan yang Vollat: Ketika argumen ilmiah tidak dapat ditandingi dengan argumen ilmiah pula, kekuasaan merespons dengan "tangan besi hukum" dan kriminalisasi. Opini publik melihat ini sebagai tanda bahwa pihak lawan adalah orang yang "tidak punya apa-apa" dan hanya bisa mengandalkan kekuasaan untuk "menghancurkan lawan-lawan." Hukum disalahgunakan sebagai kekuatan yang menyimpang, bukan sebagai penegak keadilan.
  • Selected Few (Dr. Tifa): Pengakuan bahwa Dr. Tifa dan timnya adalah "selected few" yang memiliki kualitas akademik langka, memperkuat narasi bahwa mereka tidak takut dengan ancaman karena didukung oleh integritas intelektual yang superior.

4. Closing Statement: Dari Kultus Menuju Nilai (Kontemplatif)

Closing statement ini memberikan resolusi filosofis terhadap seluruh isu, membawa perdebatan ijazah ke tingkat kontemplatif (kesadaran diri yang mendalam).

  • Loyalitas pada Nilai (Value): Panggilan hidup adalah untuk loyal hanya kepada value (nilai), bukan loyal kepada orang, kelompok, atau golongan. The highest value (nilai tertinggi) adalah kiblat kemanusiaan dan akademik.
  • Kultus sebagai Kezaliman: Kultus kepada orang (personal cult) diletakkan sebagai tindakan kezaliman—zalim pada diri sendiri, tatanan sosial, dan bahkan zalim pada orang yang dikultuskan, terutama jika yang dikultuskan itu adalah "ora mejaji" (mutu rendah).

Opini publik memandang pengusutan isu ijazah ini sebagai perjuangan heroik kaum intelektual yang didorong oleh academic curiosity dan kesetiaan pada nilai kebenaran. Mereka menyerukan agar pemimpin dibentuk oleh budaya literasi dan persaingan ilmiah, bukan oleh kultus dan kekuasaan yang merespons kritik ilmiah dengan kriminalisasi.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel