Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Peringatan Daun Cahaya: Membedakan Ikhlas dan Hawa Nafsu
Perjalanan
Batin Sang Sunan Bagian Peringatan Daun
Cahaya: Membedakan Ikhlas dan Hawa Nafsu
Sosok kecil itu
kemudian mengambil sehelai daun kering dari tanah. Daun itu tampak biasa,
ringan, dan rapuh. Tetapi saat sosok itu meniupnya perlahan, daun itu
memancarkan cahaya terang, jauh lebih terang dari cahaya bulan. Kalijaga
terkejut. Cahaya itu tampak menakjubkan, memancarkan keindahan yang sulit
dijelaskan.
Namun, sebelum
Kalijaga sempat terpesona lebih jauh, sosok kecil itu menggenggam daun
tersebut. Cahaya yang tadi begitu memukau tiba-tiba padam seketika,
meninggalkan hanya daun biasa yang kembali tampak rapuh.
Sosok itu memandang
Kalijaga sejenak. Lalu, suara halus kembali mengalun dari dalam dadanya:
"Cahaya
iki palsu." (Cahaya ini palsu.)
Kalijaga menelan
ludah. Kata-kata itu terasa berat. Sosok kecil itu melepaskan daun tersebut,
membiarkannya jatuh ke tanah tanpa bobot. Lalu, suara itu melanjutkan dengan
ritme pelan yang penuh makna:
"Cahaya
palsu iku, cahaya sing katon padhang, nanging adoh saka Pangeran." (Cahaya palsu itu, cahaya yang terlihat terang, tetapi
jauh dari Tuhan.)
Kalijaga
terdiam lama. Ia teringat orang-orang yang mengejar ilmu batin hanya demi
wibawa, mereka yang memamerkan karamah (keajaiban)
layaknya benda koleksi. Ia pernah bertemu dengan mereka dalam perjalanan
dakwahnya—orang-orang yang tampak suci dari luar, tetapi dalam hatinya penuh
ambisi yang tak terucap.
Sosok itu seakan
membaca isi pikiran Kalijaga:
"Akeh
wong sing golek cahaya. Nanging ora ngerti bedane cahaya sing teka saka ikhlas
lan cahaya sing teka saka hawa nafsu."
(Banyak orang yang mencari cahaya. Tetapi tidak mengerti bedanya cahaya yang
datang dari keikhlasan dan cahaya yang datang dari hawa nafsu.)
Angin bergerak
pelan, menyapu daun-daun kering di tanah. Suara gesekannya seperti menegaskan
bahwa alam pun memahami peringatan ini. Kalijaga menarik napas panjang. Dalam
hati kecilnya, ia mengakui bahwa ia sendiri pernah tergoda oleh pujian manusia,
pernah merasakan kebanggaan ketika dakwahnya diterima banyak orang. Meskipun ia
berusaha meluruskannya, jejak-jejak kecil dari perasaan itu tetap ada.
Sosok kecil itu memandang
langsung ke arah dirinya. Tatapannya lembut, bukan menghakimi, tetapi membuka:
"Cahaya
palsu iku luwih mbebayani tinimbang peteng. Peteng nggawe wong ngerti yen
dheweke tersesat. Cahaya palsu nggawe wong rumangsa wis tekan, padahal
durung." (Cahaya palsu itu lebih
berbahaya daripada kegelapan. Kegelapan membuat orang tahu bahwa dia tersesat.
Cahaya palsu membuat orang merasa sudah sampai, padahal belum.)
Kalijaga merasa
kalimat itu menusuk tepat di dalam dadanya. Bahaya terbesar bukan terletak pada
musuh dari luar, melainkan pada rasa bangga terhadap diri sendiri yang menyamar
sebagai cahaya atau karamah.
Sosok kecil itu
kembali mengangkat daun biasa dari tanah. Kali ini ia biarkan daun itu tetap
apa adanya—tanpa cahaya, tanpa keajaiban.
"Iki
cahaya sejati. Sing ora butuh pamer kanggo nuduhake saka ngendi asale." (Ini cahaya sejati. Yang tidak membutuhkan pamer untuk
menunjukkan dari mana asalnya.)
Kalijaga menunduk
meresapi makna kalimat itu. Cahaya sejati tidak memerlukan tepuk tangan, tidak
memerlukan pengakuan, dan tidak memerlukan keajaiban untuk tampak. Ia hanya
muncul dari hati yang bersih dan ikhlas. Perjalanan menuju agama sejati bukan
hanya tentang mencari cahaya, tetapi tentang membedakan mana cahaya yang
berasal dari Tuhan dan mana yang hanya pantulan dari ambisi manusia. Dan
perbedaan itu hanya bisa dilihat oleh hati yang jujur.
Kontributor: Akang Marta
