Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Amanah Agung: Mengopeni Ati Wong Jawa
Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Amanah Agung: Mengopeni Ati Wong Jawa
Setelah memahami inti dari agama sejati, Sunan Kalijaga merasa dadanya
jauh lebih ringan. Namun di balik ketenangan itu, ia juga merasa ada sesuatu
yang menunggu—sebuah amanat, sebuah tugas besar yang akan menentukan arah
hidupnya. Semar duduk dengan tenang, tetapi sorot matanya berubah menjadi lebih
serius.
"Kowe
saiki wis ngerti dasar agama sejati," ujar Semar perlahan. "Nanging ilmu iki ora kanggo kowe dhewe." (Engkau
sekarang sudah mengerti dasar agama sejati. Tetapi ilmu ini bukan untukmu
sendiri.)
Kalijaga menegakkan tubuhnya, menunggu kelanjutan kalimat itu. Semar
memandang ke arah pepohonan, seolah melihat jauh melampaui batas hutan.
"Wong
Jawa iku alus atine. Nanging akeh sing durung ngerti dalan sing bener." (Orang Jawa itu
halus hatinya. Tetapi banyak yang belum mengerti jalan yang benar.)
Kalijaga menundukkan kepala. Ia tahu benar kondisi masyarakat Jawa saat
itu: banyak yang masih memegang tradisi lama, banyak yang masih takut pada
perubahan. Ia sadar bahwa tugas itu jauh lebih berat dibanding apa yang ia
lakukan sebelumnya. Dakwah bukan hanya soal menyampaikan hukum, tapi juga
menjembatani hati manusia yang penuh rasa.
Semar kembali menatapnya:
"Tugasmu
yaiku ngelingake nanging ora nyerang. Nuntun nanging ora maksa. Nguripake
nanging ora ngrusak." (Tugasmu adalah mengingatkan tetapi tidak
menyerang. Menuntun tetapi tidak memaksa. Menghidupkan tetapi tidak merusak.)
Kata-kata itu membuat Kalijaga terdiam lama. Ia merasakan setiap kalimat
masuk ke dalam dirinya. Ia tahu dakwah yang keras bisa membuat orang menjauh.
Dakwah yang lembut, yang memakai bahasa rasa, bisa masuk ke hati tanpa
menimbulkan luka.
"Kowe
wis ngerti yen agama ora mung aturan, nanging rasa. Ora mung gerakan, nanging
makna." (Engkau sudah mengerti bahwa agama bukan hanya aturan, tetapi rasa.
Bukan hanya gerakan, tetapi makna.)
Semar lalu mengangkat tangannya, mengusap udara yang tiba-tiba berubah
menjadi lebih hangat. Sehelai cahaya melayang pelan dari telapak tangannya,
turun seperti embun dan menyentuh pundak Kalijaga.
"Iki
tanda," kata Semar, "yen kowe wis dak paringi amanat kanggo
benerake ati wong Jawa." (Ini adalah tanda bahwa engkau sudah
Kuberi amanat untuk meluruskan hati orang Jawa.)
Kalijaga merasakan kehangatan itu menyebar ke seluruh tubuhnya,
merasakan kekuatan baru mengalir dalam dirinya—kekuatan yang membuat hatinya
tenang sekaligus penuh semangat.
"Jawa
ora bisa dipaksa ninggal budaya. Nanging bisa dituntun supaya ngerti makna
sejati saka ibadah." (Jawa tidak bisa dipaksa meninggalkan budaya. Tetapi bisa dituntun agar
mengerti makna sejati dari ibadah.)
Kalijaga menyerap kalimat itu dalam-dalam. Dakwah harus dibalut budaya,
harus disampaikan dengan cara yang mudah diterima tanpa menghakimi tradisi yang
telah hidup jauh sebelum ia lahir.
"Aku
ngancani kowe nganti titik iki," ujar Semar lembut. "Dalanmu dhewe sing kudu mbok mlaku." (Aku
menemanimu sampai titik ini. Jalanmu sendiri yang harus kamu jalani.)
Kalijaga mengangguk. Amanat itu bukan beban, melainkan panggilan yang
selama ini ia cari. Ia datang ke hutan dengan kegelisahan, tetapi kini ia
keluar membawa misi yang lebih jernih: menuntun hati masyarakat Jawa menuju
cahaya agama sejati tanpa merusak akar budaya mereka.
Kontributor: Akang Marta
