Ads

Api Kecurigaan dan Pembelaan Almamater di Tengah Isu Ijazah

 

Api Kecurigaan dan Pembelaan Almamater di Tengah Isu Ijazah

Penulis: Akang Marta



Opini publik mengenai isu ijazah seorang tokoh publik ini berpusat pada dinamika antara perilaku yang menyimpang, keingintahuan akademik yang mendalam, dan konflik antara integritas institusi melawan fanatisme buta.

1. Kontras yang Memicu Academic Curiosity

Isu ijazah ini menjadi trending bukan karena sekadar klaim palsu, melainkan karena adanya kontras tajam yang melukai nilai-nilai budaya dan akademik. Di Indonesia, ijazah dari universitas ternama adalah simbol upward mobility dan kebanggaan yang harus dipamerkan (dalam arti dihormati).

  • Penyimpangan Perilaku: Ketika tokoh yang memilikinya justru menyembunyikan atau menghadirkan dokumen yang meragukan, hal ini melanggar ekspektasi kultural tersebut. Bagi publik terdidik, perilaku ini secara alami memicu "academic curiosity"—sebuah dorongan intelektual untuk mencari tahu mengapa ada penyimpangan dari norma. Kecurigaan ini menjadi sah karena ia berakar pada pelanggaran tatanan sosial yang telah lama dipegang.

2. Alumni UGM: Penjaga Benteng Institusi

Opini publik melihat peran alumni UGM yang sangat vokal (Tritunggal) sebagai ironi sekaligus pembelaan heroik.

  • Pembelaan Integritas: Tindakan Dr. Tifa, Roy Suryo, dan Risman Hasolan diinterpretasikan sebagai perlawanan moral dan akademik terhadap upaya mendistorsi nama baik institusi. Publik melihat mereka bukan hanya membela diri mereka sendiri, tetapi membela ribuan alumni sejati yang telah berjuang keras.
  • Fighting for the Degree: Narasi yang mereka usung, tentang "malam-malam nulis makalah" dan "menghadapi hujan badai demi kuliah," sangat resonan di kalangan akademisi dan profesional. Narasi ini menegaskan bahwa ijazah adalah hasil perjuangan dan pengorbanan, bukan pemberian atau formalitas. Oleh karena itu, kecurigaan bahwa ijazah didapat secara "ongkang-ongkang" (santai) dianggap sebagai penghinaan terhadap nilai-nilai akademik. Publik mendukung upaya untuk memastikan bahwa nama besar UGM tidak dicemari oleh klaim yang diragukan keasliannya.

3. Kultus Versus Kebenaran Kritis

Isu ini membelah publik menjadi dua kubu yang ekstrem: pembela berbasis kultus dan penanya berbasis kritis.

  • Fanatisme Buta: Opini publik menyadari adanya fenomena kultus dan fanatisme buta dari pihak pembela. Ciri utama dari fanatisme ini adalah pengalihan isu (distraksi), yaitu dengan mempertanyakan mengapa presiden lain tidak dipertanyakan ijazahnya.
  • Jawaban Kritis yang Tegas: Jawaban publik yang kritis terhadap pengalihan isu ini sangat jelas: penyelidikan hanya dilakukan karena adanya "gejala penyimpangan" pada objek tertentu. Jika tidak ada keraguan atau kejanggalan yang memicu academic curiosity, maka tidak ada alasan ilmiah atau etis untuk menggali masa lalu tokoh lain.
  • Ancaman terhadap Rasionalitas: Pada tingkat "kultus," fakta lapangan dan logika ilmiah diabaikan. Opini publik memandang fanatisme ini sebagai ancaman terhadap rasionalitas dan integritas sosial, karena ia memprioritaskan loyalitas buta kepada individu di atas kebenaran objektif.

 

Dengan demikian, Isu ijazah ini adalah cerminan dari krisis kepercayaan publik terhadap integritas elite. Masyarakat terdidik menuntut transparansi penuh, melihat penyembunyian dokumen penting sebagai tanda penyimpangan. Perjuangan alumni UGM untuk menjaga integritas almamaternya dilihat sebagai upaya moral yang sah, sekaligus sebagai penolakan terhadap politik yang didominasi oleh fanatisme dan mengabaikan nilai-nilai perjuangan akademik.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel