Kebanggaan Ijazah: Sebuah Cerminan Mobilitas Sosial Indonesia
Kebanggaan Ijazah: Sebuah Cerminan Mobilitas Sosial
Indonesia
Penulis: Akang Marta
Opini
publik yang muncul dari wacana ijazah seorang tokoh publik, terutama yang
mengaku lulusan universitas bergengsi seperti UGM, dapat dilihat dari dua sisi
utama: nilai kultural ijazah dan keganjilan perilaku sosial-politik.
1. Nilai Kultural Ijazah di Masyarakat Indonesia
Secara
sosiologis-antropologis, ijazah, terutama dari universitas negeri ternama,
memiliki nilai sosial yang sangat tinggi di Indonesia.
- Simbol Upward Mobility
(Mobilitas Vertikal): Seperti yang diungkapkan, bagi "wong deso"
(orang desa), lulus dari Gadjah Mada (UGM) bukanlah pencapaian pribadi,
tetapi kebanggaan komunal ("satu kampung itu pesta memestai
dia"). Ijazah adalah tiket untuk keluar dari keterbatasan struktural
desa menuju kelas literati (melek huruf/terpelajar).
- Penyimpangan Budaya: Oleh
karena itu, jika seseorang yang memiliki ijazah bergengsi justru menyembunyikannya
atau bersikap seolah itu hal yang tidak penting, hal itu dianggap sebagai
"penyimpangan budaya." Secara budaya, ijazah adalah simbol yang
wajib dipamerkan (dalam artian positif: diakui, dihormati, dan
dibanggakan) karena ia menjunjung derajat keluarga dan kampung.
Menyembunyikannya menimbulkan kecurigaan: ada apa di baliknya?
- Pengangkatan Derajat:
Lulusan sarjana, insinyur, atau dokterandes (DRS.) secara otomatis
mengangkat derajat (martabat) orang tua, keluarga besar (extended
family), hingga tingkat kecamatan. Hal ini menciptakan ekspektasi
publik bahwa pemilik ijazah tersebut akan menjadi agen perubahan atau
memiliki integritas yang tinggi.
2. Keganjilan Perilaku dan Timbulnya Academic
Curiosity
Isu
ijazah menjadi trending di ruang publik bukan hanya karena isu
palsu-tidaknya, melainkan karena kejanggalan yang menyertainya.
- Pemicu Kecurigaan: Kontras
antara nilai kultural ijazah yang wajib dibanggakan dengan perilaku
tokoh yang seolah menyembunyikannya atau menghadirkan dokumen yang
meragukan, memicu "academic curiosity" (keingintahuan akademis)
dari publik terdidik.
- Peran Alumni UGM
(Tritunggal): Ironi utama terletak pada kenyataan bahwa yang paling vokal
mempertanyakan keaslian ijazah tersebut adalah para alumni UGM sendiri
(Dr. Tifa, Roy Suryo, Risman Hasolan).
- Pembelaan Institusi: Secara
opini publik, tindakan mereka dapat diinterpretasikan sebagai pembelaan
terhadap integritas almamater. Mereka yang berjuang keras melalui sistem
akademis UGM merasa terpanggil untuk memastikan bahwa nama UGM
tidak disematkan secara tidak sah, karena hal itu akan mencederai
perjuangan ribuan alumni sejati.
- Narasi Fighting for the
Degree: Mereka mewakili suara akademik yang percaya bahwa ijazah
didapatkan melalui perjuangan ("Malam-malam nulis makalah,
siang-siang ikuti kuliah. Hujan badai menakutkan, kita tidak takut demi
kuliah"). Kecurigaan muncul ketika ijazah didapat seolah
"ongkang-ongkang" (santai) tanpa adanya riwayat perjuangan yang
jelas.
- Kultus dan Fanatisme Buta:
Di sisi lain, isu ini memunculkan pembela fanatis (cultus). Opini
pembela seringkali mengalihkan isu dengan pertanyaan, "Kenapa
presiden lain tidak ditanya ijazahnya?" Jawaban publik yang kritis
adalah, "Karena presiden lain tidak memiliki gejala penyimpangan"
(tidak ada keraguan atau kejanggalan yang memicu pertanyaan). Ketika
seseorang telah mencapai tingkat "kultus," pembelaan dilakukan
secara buta, mengabaikan fakta lapangan.
3. Ijazah dan Kepemimpinan (Neuropolitika)
Perdebatan
ijazah ini juga meluas ke kualifikasi kepemimpinan.
- Pemimpin yang Membaca dan
Bersaing: Menurut pandangan yang disuarakan dalam transkrip, seorang
pemimpin sejati adalah orang yang "membaca dan bersaing."
Kecurigaan terhadap ijazah merusak narasi bahwa tokoh tersebut telah
melalui proses persaingan dan pengujian intelektual yang sah, yang
merupakan prasyarat penting bagi seorang pemimpin.
- Kredibilitas Microface
dan Micro Expression: Kajian seperti neuropolitika (seperti
yang digagas Dr. Tifa) berupaya menghubungkan pernyataan politik dengan
sinyal non-verbal (otak/emosi) untuk menilai kebenaran atau kebohongan.
Dalam opini publik, sikap defensif atau tertutup saat menghadapi isu
ijazah, alih-alih bersikap terbuka dan bangga, semakin memperkuat persepsi
bahwa ada masalah yang disembunyikan.
Dengan
demikian, Isu ijazah seorang tokoh publik tidak hanya sekadar soal legalitas
dokumen, tetapi merupakan konflik nilai kultural di ruang politik Indonesia:
- Ijazah sebagai Modal Sosial:
Masyarakat menuntut ijazah sebagai modal sosial utama yang wajib dibanggakan.
- Integritas Institusi: Alumni
UGM (dan publik terpelajar) menuntut pertanggungjawaban untuk melindungi
integritas akademik almamater dan sistem pendidikan Indonesia.
- Kredibilitas Pemimpin:
Keraguan pada ijazah secara otomatis merusak kredibilitas kepemimpinan di
mata publik yang menjunjung tinggi perjuangan dan kejujuran intelektual.
