Program Kismis dan Peringatan dari Pak Ustaz
Program Kismis dan Peringatan dari Pak Ustaz
Penulis: Akang Marta
Kehidupan Teh Riri sebagai penyiar yang tinggal di studio radio angker itu
terus berjalan seperti biasa, meski setiap harinya selalu diiringi perasaan
waspada. Ia mulai terbiasa dengan kesunyian malam, suara mesin pemancar yang
berdengung tanpa henti, dan hawa dingin yang muncul tanpa sebab. Hingga suatu
hari Kamis, suasana studio terasa sedikit berbeda. Hari itu adalah jadwal
meeting rutin mingguan, saat seluruh tim radio berkumpul untuk membahas program
dan perubahan jadwal siaran.
Dalam ruang rapat sederhana yang hanya diterangi lampu neon, Manajer membuka
pertemuan dengan wajah serius. Setelah membahas evaluasi siaran dan jadwal
iklan, ia menyampaikan keputusan penting. Penyiar senior yang selama ini
mengisi program unggulan malam Jumat, yaitu “Kisah Misteri” atau yang biasa
disebut Kismis, berhalangan untuk sementara waktu. Tanpa banyak basa-basi,
Manajer menatap ke arah Teh Riri dan menyebut namanya sebagai pengganti.
Keputusan itu membuat ruangan mendadak hening. Program Kismis bukan acara
biasa. Program tersebut merupakan siaran interaktif yang membahas pengalaman
gaib pendengar, penyakit-penyakit aneh yang tidak terdiagnosis medis, hingga
pengobatan jarak jauh. Acara itu selalu dipandu oleh seorang ustaz yang dikenal
memiliki kemampuan spiritual, dan sering kali memunculkan reaksi aneh—baik dari
pendengar maupun dari suasana studio itu sendiri.
Alasan penunjukan Teh Riri terdengar sederhana: ia sudah standby di studio
dan dianggap paling siap secara mental. Teh Riri menerima tugas itu tanpa
menolak. Ada getaran halus di dadanya—antara penasaran dan waswas—namun
profesionalisme membuatnya mengangguk mantap. Dalam hatinya, ia merasa
penugasan ini bukan kebetulan.
Malam Jumat berikutnya, Teh Riri mempersiapkan diri lebih awal. Studio
terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah menunggu sesuatu. Setelah salat Isya,
Pak Ustaz yang akan menjadi narasumber Kismis datang ke studio. Wajahnya
tenang, sorot matanya dalam, dan langkahnya mantap seakan sudah sangat mengenal
tempat itu. Sebelum siaran dimulai, Pak Ustaz berkumpul bersama Manajer dan
beberapa kru di ruang tengah untuk berbincang santai.
Di tengah obrolan itulah Pak Ustaz tiba-tiba menoleh ke arah Teh Dewi.
Dengan nada datar namun tajam, ia bertanya langsung, “Teh Dewi, selama tinggal
di sini, sudah diganggu apa saja?”
Pertanyaan itu membuat suasana berubah. Beberapa kru saling pandang. Teh Riri
tersenyum kecil, lalu dengan santai menceritakan pengalamannya. Tentang suara
sumur, tentang sosok Kuntilanak yang duduk di sampingnya saat tidur, bahkan
tentang rambut pendek yang tidak lazim. Ia mengatakannya tanpa dramatisasi,
seolah menceritakan kejadian sehari-hari.
Reaksi tim manajemen cukup beragam. Ada yang terdiam, ada yang menghela
napas panjang. Salah satu dari mereka bertanya dengan heran, “Kok Teh Riri nggak
lari? Kalau saya sih sudah kabur.”
Teh Riri menjawab dengan tenang, “Takut pasti ada. Tapi jujur saja, saya
lebih takut sama manusia.” Jawaban itu membuat ruangan sunyi sejenak.
Pak Ustaz tidak tersenyum. Wajahnya justru berubah lebih serius. Ia lalu
memberikan peringatan yang membuat bulu kuduk semua orang berdiri. Ia
mengatakan bahwa studio itu bukan sekadar dihuni oleh makhluk-makhluk biasa. Di
sana ada “dengkotnya”—pemimpin dari para makhluk gaib yang mendiami wilayah
tersebut. Sosok yang tidak sembarangan, dan hanya tunduk pada orang-orang
dengan weton tertentu.
Pak Ustaz lalu menjelaskan dengan suara pelan namun tegas. Menurutnya, di
area studio dan sekitarnya terdapat makhluk berbentuk cebol, tubuhnya pendek
namun berwujud mengerikan. Sekilas mirip Buta atau raksasa dalam cerita rakyat,
tetapi dengan postur kecil dan wajah yang sangat menyeramkan. Makhluk inilah
yang disebut sebagai penguasa tempat itu—yang paling galak, paling ganas, dan
paling sulit ditundukkan.
Beberapa kru menelan ludah. Pak Ustaz melanjutkan bahwa makhluk tersebut
sudah berkali-kali diusir oleh para kiai dan ustaz. Namun setiap kali diusir,
ia selalu kembali. Bahkan, pernah suatu ketika seorang kiai terpental saat
melakukan rukiah dan muntah darah setelahnya. Cerita itu bukan untuk
menakut-nakuti, melainkan sebagai peringatan agar semua orang bersikap hormat
dan tidak sembarangan.
Mendengar penjelasan itu, Teh Riri merasakan dadanya menghangat. Ada rasa
kecil hati, khawatir, dan sendirian. Ia tinggal di studio itu seorang diri,
tidur di kamar belakang, berhadapan langsung dengan halaman dan sumur tua.
Dalam benaknya, muncul pertanyaan tentang keselamatannya sendiri.
Seolah membaca kegelisahannya, Pak Ustaz menatap Teh Riri dan berkata dengan
nada lebih lembut. Ia menenangkan bahwa selama Teh Riri tidak berbuat
macam-macam, tidak sompral, dan tidak mengotori tempat itu—baik secara fisik
maupun perilaku—ia akan aman. Makhluk penguasa itu, kata Pak Ustaz, sangat
tidak suka wilayahnya dikotori. Ia keras, tetapi punya aturan.
Nasihat itu menancap kuat di benak Teh Dewi. Ia menyadari bahwa tinggal di
tempat itu bukan hanya soal keberanian, tetapi juga soal sikap dan adab. Studio
radio itu bukan ruang kosong; ia adalah wilayah yang memiliki penghuni lain
dengan hukum dan batasnya sendiri.
Tak lama kemudian, waktu siaran tiba. Lampu merah menyala. Program Kismis
resmi dimulai. Suara Teh Riri terdengar tenang dan profesional membuka acara,
sementara Pak Ustaz mulai menyapa pendengar. Telepon mulai berdering. Kisah
demi kisah mistis mengalir dari berbagai penjuru. Anehnya, malam itu siaran
berjalan lancar. Tidak ada gangguan teknis, tidak ada suara aneh, seolah semua
“penunggu” memilih diam dan mendengarkan.
Namun bagi Teh Dewi, malam itu menandai sesuatu yang lebih besar. Sejak
menerima tugas Kismis dan mendengar peringatan Pak Ustaz, ia tahu bahwa
keterlibatannya dengan dunia tak kasat mata di studio itu telah memasuki babak
baru. Bukan lagi sekadar diganggu, tetapi hidup berdampingan dengan kesadaran
penuh akan apa—dan siapa—yang ada di sekitarnya.
Dan ia tahu, selama Program Kismis terus mengudara, kisah-kisah itu tidak
akan berhenti di ruang siaran saja.
