Legenda Kisah Syekh Nurdjati: Tiga Musafir Agung di Giri Amparan Jati
Tiga Musafir Agung
di Giri Amparan Jati
Di bawah langit Pesambangan, nama
Syekh Nurjati bergaung laksana gema yang menenangkan. Dakwahnya yang penuh
hikmah dan kesejukan telah menyentuh ribuan jiwa, mengubah Bukit Amparan Jati
menjadi mata air spiritual bagi mereka yang dahaga. Pondok pesantrennya yang
sederhana namun sarat ilmu menjadi tujuan para pencari kebenaran.
Hingga pada suatu hari yang cerah,
tiga sosok muda dengan aura ningrat yang tak bisa disembunyikan tiba di gerbang
pesantren. Mereka adalah Pangeran Walang Sungsang bersama
istrinya yang setia, Nyi Indang Geulis (putri dari Ki Gedeng
Danu Warsih, saudara seibu Ki Gedeng Tapa), dan adiknya, Nyimas Ratu Rara Santang.
Mereka adalah cucu dari Syekh
Nurjati, bukan dari darah, melainkan dari ikatan spiritual yang lebih kuat.
Syekh Nurjati adalah paman dan guru utama dari ibu mereka, Subang Larang.
Mereka datang untuk mencari kebenaran yang tak mereka temukan di istana Pajajaran,
mereka datang untuk menagih janji sang ibu untuk mendidik mereka dalam naungan
Islam.
"Wahai Paman Guru," ujar
Walang Sungsang, "Kami telah memilih jalan ini. Kami meninggalkan tahta
dan kemewahan fana, demi mencari Nurul Jati, Cahaya
Sejati. Terimalah kami sebagai santri dan anak-anakmu."
Syekh Nurjati, dengan wajah yang
memancarkan ketenangan, menyambut mereka dengan tangan terbuka. Selama
bertahun-tahun, Walang Sungsang, Rara Santang, dan Nyi Indang Geulis digembleng
dalam ilmu syariat, tauhid, dan tasawuf di bawah bimbingan langsung Sang Syekh.
Walang Sungsang, yang penuh semangat
dan jiwa kepemimpinan, tidak hanya belajar. Ia diutus oleh Syekh Nurjati untuk
membuka hutan dan mendirikan perkampungan baru di daerah timur Pesambangan. Ia
pun mendirikan Dukuh Tegal Alang-Alang yang kelak dikenal sebagai Cirebon. Walang Sungsang, yang kini bergelar Ki Kuwu Cirebon, menjadi wakil pertama dari Syekh Nurjati
untuk memimpin masyarakat baru yang berbasis pada nilai-nilai Islam.
Sementara itu, Nyimas Rara Santang,
seorang putri yang cerdas dan saleh, menunjukkan kesiapan spiritual yang luar
biasa. Ia adalah kunci takdir. Syekh Nurjati melihat cahaya masa depan dalam
diri putri Prabu Siliwangi ini.
“Wahai Rara Santang,” ujar Syekh
Nurjati suatu ketika, “Perjalananmu belum selesai di sini. Engkau akan menunaikan
ibadah haji ke Baitullah. Di sana, takdir agung menantimu.”
Rara Santang, ditemani Walang
Sungsang dan Nyi Indang Geulis, berangkat ke Makkah. Di sana, ia menunaikan
haji dan bertemu dengan jodohnya: Syarif Abdullah Umdatuddin,
seorang ulama terkemuka dari Mesir. Dari pernikahan yang diberkahi ini lahirlah
seorang putra yang kelak akan menjadi penyebar Islam terbesar di tanah
Pasundan, sebuah mata rantai takdir yang menyatukan Cirebon dan Mesir, Makkah
dan Pajajaran. Anak itu bernama Syarif Hidayatullah,
atau Sunan Gunung Jati.
Setelah menunaikan tugas suci di
tanah Arab, Rara Santang kembali ke Jawa dengan putranya. Syarif Hidayatullah
pun dibimbing oleh pamannya, Ki Kuwu Cirebon, dan
disempurnakan ilmunya oleh Syekh Nurjati sendiri. Ia adalah generasi kedua,
pewaris takhta spiritual dari Sang Cahaya Sejati. Kelak, ia akan menjadi Sultan
pertama Cirebon dan salah satu dari Wali Sanga yang namanya
diagungkan.
Kontributor: Akang Marta
