Legenda Kisah Syekh Nurdjati: Fajar di Muara Jati dan Penobatan Sang Cahaya Sejati
Fajar di Muara Jati
dan Penobatan Sang Cahaya Sejati
Sebuah kapal dari Baghdad merapat
dengan anggun di Pelabuhan Muara Jati. Dari lambung kapal itu turunlah
serombongan kecil musafir: sepuluh pria dan dua wanita. Dipimpin oleh Syekh
Datuk Khofi dan istrinya.
Kedatangan mereka disambut hangat
oleh sang penguasa pelabuhan, seorang shah bandar yang
arif dan berpandangan luas, bernama Ki Gedeng Tapa. Bandar
kecil yang ramai ini dikenal sebagai Pesambangan, bagian dari
Nagari Singapura (kini Desa Merasinga, Cirebon).
Di tanah yang baru ini, sebagai tanda
dimulainya sebuah kehidupan yang sepenuhnya tercurah untuk dakwah, Syarifah
Halimah pun mengganti namanya. Ia memilih nama Nyirat Najati Ningsih,
sebuah nama yang menyiratkan keindahan, keteguhan, dan harapan di tanah jati.
Atas izin dan kemurahan hati Ki
Gedeng Tapa, Syekh Datuk Khofi diperkenankan untuk menetap di sebuah bukit
kecil yang sunyi namun damai, tak jauh dari perkampungan Pesambangan. Bukit itu
bernama Giri Amparan Jati.
Di sanalah, di bawah langit Cirebon,
ia menanggalkan nama Syekh Datuk Khofi dan mengenakan nama baru yang sarat
makna, sebuah nama yang akan selamanya lekat dengan tempat ia menyebarkan
ajarannya: Syekh Nurjati.
·
Nur yang berarti Cahaya.
·
Jati yang berarti Sejati.
Ia telah menjelma menjadi Cahaya
Sejati, Nurul Jati, yang siap menerangi kegelapan dan menuntun
masyarakat menuju pemahaman tauhid yang lurus. Bukit kecil itu pun kelak lebih
dikenal dengan sebutan Gunung Jati, mengambil kemuliaan dari
nama Sang Syekh.
Di Giri Amparan Jati, ia mulai menanam
benih-benih iman. Ia tidak datang dengan pedang atau paksaan, melainkan dengan hikmah, dengan tutur kata yang lembut namun menghunjam ke
kalbu, dan dengan akhlak yang memancarkan keindahan
Islam. Ajarannya yang menyejukkan tentang Tuhan Yang Maha Esa mengalir bagai
mata air di tengah padang gersang.
Satu persatu, penduduk Pesambangan
dan sekitarnya datang dengan rasa penasaran, mendengarkan wejangan Sang Guru,
lalu pulang dengan hati yang tercerahkan. Bukit kecil itu tak lagi sunyi.
Setiap hari, semakin banyak orang yang datang berikrar untuk memeluk Islam di
hadapan Sang Guru Sejati. Dakwahnya diterima dengan tangan terbuka, menyentuh
hati para nelayan, petani, hingga para bangsawan.
Kontributor: Akang Marta
