Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Cermin Hati dan Debu Dosa: Penyucian Wisahe
Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Cermin Hati dan Debu Dosa: Penyucian Wisahe
Setelah menghapus tiga lingkaran itu, sosok kecil bercahaya tersebut
kembali duduk tenang, seakan baru saja membuka pintu pertama bagi perjalanan
batin Kalijaga. Namun, Kalijaga merasa masih ada sesuatu yang lebih dalam
menunggu. Ia menunduk hormat, mempersiapkan diri untuk menerima wejangan
berikutnya.
Sosok itu meraih segenggam tanah lalu meratakannya di telapak tangan. Ia
membiarkan butiran halus itu jatuh perlahan. Setiap butir tanah berkilau sesaat
sebelum hilang di antara rerumputan. Kalijaga memperhatikan dengan saksama,
mencoba memahami simbol di balik gerakan itu. Lalu, suara halus kembali
mengalun dari dalam dadanya.
"Akeh
wong sing nyembah, nanging ora deleng atine dhewe." (Banyak orang yang
menyembah, tetapi tidak melihat hati mereka sendiri.)
Kalimat itu menghantam Kalijaga dengan lembut namun tajam. Selama ini ia
mengajarkan wudu, salat, dan ibadah lahiriah lainnya. Ia selalu menekankan tata
cara yang benar, niat yang lurus, dan aturan yang harus dipatuhi. Namun, ia
tidak dapat memungkiri bahwa banyak orang menjalankan ibadah tanpa perubahan
batin. Bahkan dirinya sendiri, meski telah lama berdakwah, terkadang masih
merasa hanya menyentuh permukaan.
Sosok kecil itu kemudian mengambil segenggam tanah lagi. Kali ini ia
genggam erat, lalu membuka telapak tangannya. Yang tersisa hanyalah debu tipis
yang menutupi kulitnya.
"Hati
iku kaya kaca. Yen peteng, ora bakal memantulkan cahyane Gusti." (Hati itu seperti
cermin. Jika gelap, tidak akan memantulkan cahaya Tuhan.)
Kalijaga terdiam. Ia memahami maksudnya. Hati manusia seperti cermin
yang bisa tertutup debu-debu yang berasal dari amarah, dengki, iri, dan
sombong—sifat buruk yang disembunyikan jauh di dalam diri (rereget ing jero ati). Debu itu membuat ibadah
kehilangan cahaya. Meskipun gerakannya benar, debu itu jugalah yang membuat
seseorang sulit melihat kebenaran, meskipun Tuhan telah memberi tanda.
Tanpa sadar, Kalijaga memejamkan mata. Ia mulai mengingat masa lalunya,
masa ketika ia hidup sebagai berandal Lokajaya—masa ketika ia
mengejar kehormatan, kekuasaan, dan pujian. Meskipun ia telah bertaubat dan
berubah, ada bagian dari masa lalu itu yang masih menempel, menjadi noda halus
yang sulit dihapus. Ia mengerti sekarang; tirakatnya selama ini adalah usaha
untuk membersihkan noda itu.
Sosok kecil itu menatapnya dengan mata yang tenang, seolah memahami
seluruh pergolakan batin Kalijaga.
"Akeh
wong sing ngelakoni syariat, nanging nyimpan rereget ing jero ati." (Banyak orang yang
menjalankan syariat, tetapi menyimpan kotoran di dalam hati.)
Kalijaga merasa dadanya menghangat. Ada rasa sesak, tetapi sesak yang
membawa kelegaan, seperti pintu lama yang terbuka sedikit demi sedikit. Ia
menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada bentuk ibadah, tetapi kurang
memperhatikan gerak hatinya sendiri. Kata-kata sosok itu membongkar sesuatu
yang selama ini ia cegah untuk muncul.
Dengan suara yang sangat lirih, Kalijaga bertanya, "Lalu bagaimana
caranya membersihkan hati, Guru?"
Sosok itu memejamkan mata sejenak sebelum menjawab. Ketika ia membuka
mata kembali, cahaya lembut memancar lebih kuat dari tubuhnya.
"Rereget
sing nang jero ati, ora iso diresiki nganggo banyu wudhu. Kudu diresiki nganggo
Karon Jilani." (Kotoran yang ada di dalam hati, tidak bisa dibersihkan dengan air
wudu. Harus dibersihkan dengan air mata kejujuran.)
Kalijaga terdiam. Ia paham maksudnya. Kotoran hati tidak bisa dicuci
dengan air wudu atau ritual apapun. Ia hanya bisa dibersihkan dengan kejujuran
pada diri sendiri, pengakuan atas kesalahan, dan kesediaan untuk merendahkan
hati di hadapan Tuhan. Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan.
Sosok kecil itu mengangguk pelan, seakan memberi izin pada air mata itu
untuk mengalir.
"Nangis
iku tanda yen atimu wiwit resik." (Menangis itu adalah tanda bahwa
hatimu mulai bersih.)
Malam itu, Kalijaga merasa hatinya disentuh oleh cahaya yang tidak
pernah ia kenal sebelumnya. Cahaya yang bukan berasal dari luar, tetapi dari
dalam dirinya sendiri. Cahaya yang muncul ketika seseorang mulai membersihkan
dirinya dari kotoran yang selama ini disembunyikan. Dan ia tahu perjalanan
menuju agama sejati baru saja memasuki tahap yang lebih dalam.
Kontributor: Akang Marta
