Tiga Sikap yang Mendekatkan Pernikahan pada Kegagalan (Dan Cara Menjauhinya)
Tiga Sikap yang Mendekatkan Pernikahan pada Kegagalan (Dan Cara Menjauhinya)
Pernikahan bukan ruang yang steril dari konflik. Ia adalah perjumpaan dua manusia dengan latar, luka, harapan, dan cara berpikir yang berbeda. Maka wajar jika gesekan terjadi. Namun, ada pola-pola tertentu yang—bila dibiarkan—perlahan menggerus fondasi rumah tangga. Bukan karena salah satu pihak jahat, melainkan karena kebiasaan yang tidak disadari telah menjadi racun. Dalam refleksi ini, kita menyoroti tiga sikap yang sering disebut mendekatkan pernikahan pada kegagalan: selalu menyalahkan pasangan, mengungkit kesalahan masa lalu, dan tidak menghargai pasangan. Penting ditegaskan sejak awal: pembahasan ini bukan vonis sepihak, melainkan undangan untuk bercermin—bagi siapa pun, istri maupun suami.
Pertama: selalu menyalahkan pasangan.
Menyalahkan terasa mudah ketika emosi memuncak. Dalam situasi sulit, menunjuk pihak lain sering kali memberi rasa lega sesaat. Namun kebiasaan ini berbahaya. Ketika setiap masalah berakhir pada satu kesimpulan—“kamu penyebabnya”—maka ruang dialog tertutup. Pasangan tidak lagi merasa aman untuk jujur, apalagi bertumbuh. Ia akan defensif, diam, atau menjauh. Pernikahan pun berubah dari kerja sama menjadi arena saling serang.
Di balik kebiasaan menyalahkan, sering tersembunyi rasa lelah yang tidak terucap atau harapan yang tidak terpenuhi. Alih-alih menyebut kebutuhan dengan jujur—“aku butuh ditemani”, “aku butuh dihargai”—kata-kata yang keluar justru tuduhan. Padahal, masalah jarang selesai dengan tuduhan. Yang dibutuhkan adalah bahasa kebutuhan dan tanggung jawab bersama. Mengganti “kamu selalu” dengan “aku merasa” adalah langkah kecil yang menyelamatkan banyak pernikahan.
Kedua: mengungkit kesalahan masa lalu.
Masa lalu memang membentuk kita, tetapi pernikahan tidak akan sehat jika ia terus dijadikan senjata. Mengungkit kesalahan yang sudah lewat—apalagi yang telah dimintakan maaf dan diupayakan perbaikannya—adalah seperti membuka luka yang seharusnya sembuh. Setiap pertengkaran menjadi pengadilan ulang. Setiap perbaikan terasa sia-sia karena tidak pernah benar-benar dianggap cukup.
Mengungkit masa lalu sering lahir dari luka yang belum tuntas. Ada rasa belum didengar, belum dipulihkan, atau belum dipercaya. Namun, penyembuhan tidak terjadi dengan mengulang hukuman. Ia terjadi dengan kesepakatan baru: apa yang bisa kita lakukan agar tidak terulang, dan bagaimana kita membangun kepercayaan ke depan. Jika masa lalu terus dipakai sebagai alat tekan, pasangan akan kehilangan motivasi untuk berubah—karena apa pun yang ia lakukan, masa lalu selalu dibawa kembali.
Ketiga: tidak pernah menghargai pasangan.
Penghargaan bukan pujian berlebihan; ia adalah pengakuan atas usaha. Dalam rumah tangga, banyak hal yang tidak terlihat: lelah bekerja, beban pikiran, kecemasan finansial, tanggung jawab yang dipikul diam-diam. Ketika usaha itu tidak pernah diakui, pasangan merasa tidak berarti. Rasa tidak dihargai pelan-pelan mematikan semangat memberi.
Menghargai pasangan tidak harus dengan kata-kata besar. Kadang cukup dengan terima kasih yang tulus, dengan mendengar tanpa menyela, dengan tidak meremehkan perasaan. Ketika penghargaan absen, kritik terasa lebih tajam. Pasangan bukan lagi rekan, melainkan objek tuntutan. Padahal pernikahan tumbuh subur di tanah yang disiram penghargaan, bukan di ladang kritik tanpa jeda.
Namun, penting untuk jujur: pola-pola ini tidak lahir dari ruang hampa. Tekanan ekonomi, kelelahan pengasuhan, trauma masa lalu, atau komunikasi yang buruk bisa mempercepatnya. Karena itu, refleksi ini tidak berhenti pada daftar “sikap berisiko”, melainkan bergerak ke arah perbaikan.
Membangun ulang bahasa komunikasi.
Bahasa menentukan arah. Mengganti kalimat menyalahkan dengan kalimat kebutuhan, mengganti sindiran dengan permintaan jelas, adalah latihan yang perlu konsistensi. Komunikasi bukan soal menang argumen, melainkan menjaga hubungan. Ketika dua pihak sepakat bahwa tujuan mereka adalah memahami, bukan mengalahkan, konflik berubah menjadi jembatan.
Menyepakati cara menyelesaikan luka masa lalu.
Tidak semua luka bisa sembuh sendiri. Ada kalanya diperlukan bantuan pihak ketiga—konselor, tokoh yang dipercaya, atau sesi dialog terstruktur. Yang terpenting adalah kesepakatan: apakah masa lalu disimpan sebagai pelajaran, atau dijadikan senjata. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk menutup bab yang telah dibaca, tanpa melupakan pelajarannya.
Menghidupkan kembali budaya saling menghargai.
Buat penghargaan menjadi kebiasaan. Akui usaha, sekecil apa pun. Rayakan kemajuan, bukan hanya menyoroti kekurangan. Ingatkan diri bahwa pasangan bukan musuh, melainkan rekan seperjalanan. Ketika penghargaan hadir, pasangan lebih siap menerima kritik karena ia tahu nilainya diakui.
Membagi tanggung jawab secara adil dan realistis.
Banyak konflik lahir dari beban yang timpang. Bicarakan pembagian peran dengan jujur dan fleksibel. Keadilan bukan selalu sama rata, melainkan sesuai kemampuan dan kondisi. Ketika beban terasa adil, rasa saling menyalahkan berkurang.
Merawat diri untuk merawat hubungan.
Kelelahan emosional membuat siapa pun mudah menyalahkan, mengungkit, dan mengabaikan. Merawat diri—istirahat, dukungan sosial, waktu jeda—bukan egois, melainkan investasi hubungan. Pasangan yang lebih tenang lebih mampu berempati.
Pada akhirnya, pernikahan tidak gagal karena satu kesalahan, melainkan karena pola yang dibiarkan. Selalu menyalahkan, mengungkit masa lalu, dan tidak menghargai pasangan adalah sinyal bahwa hubungan butuh perawatan serius. Mengakui pola ini bukan tanda kalah, melainkan keberanian untuk berubah.
Refleksi ini tidak dimaksudkan untuk menempatkan istri sebagai sumber masalah. Banyak suami pun melakukan pola serupa. Yang kita butuhkan adalah keberanian kolektif untuk bercermin. Rumah tangga yang bertahan bukan yang tanpa konflik, melainkan yang mampu mengelola konflik dengan hormat.
Jika ada satu pegangan yang patut diingat, mungkin ini: pernikahan tumbuh ketika dua orang memilih untuk menjadi tim, bukan hakim. Memilih memahami sebelum menilai. Memilih menghargai sebelum menuntut. Memilih masa depan sebelum masa lalu. Dari pilihan-pilihan itulah rumah tangga diselamatkan—perlahan, namun nyata.
