Dakwah Ala Konten, Konten Ala Dakwah Spiritualitas di TikTok: Antara Viralitas dan Kedalaman Makna

Oleh Subchan Daragana, Peneliti komunikasi budaya dan mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi



Lima tahun terakhir, TikTok menjelma menjadi ruang baru untuk dakwah Islam. Dulu kita mendengar dakwah dari masjid, televisi, atau ceramah ustaz kondang di majelis besar. Kini, cukup geser layar ke atas, muncullah “ustaz gaul” menyampaikan ayat Al-Qur’an dalam 60 detik. Ada pula konten pasangan hijrah yang membacakan hadist sambil duduk berduaan, atau potongan ceramah diselipi efek menangis dan musik melankolis.

Fenomena ini tentu menarik. TikTok bukan hanya wadah hiburan, tapi juga panggung dakwah digital paling masif saat ini. Dengan pengguna aktif lebih dari 125 juta orang di Indonesia, dan mayoritas berusia muda, TikTok menawarkan peluang luar biasa untuk menyebarkan pesan keislaman secara cepat dan luas. Namun, seiring peluang itu, muncul juga pertanyaan yang tidak kalah penting: Apakah pesan dakwah tetap substansial, atau malah menjadi produk visual cepat saji yang kehilangan kedalaman?



Sebagai peneliti komunikasi dan budaya, saya tertarik menelusuri lebih dalam fenomena ini. Saya menganalisis 150 video bertagar #dakwah dan #islam yang viral di TikTok selama 2022 hingga 2024, serta mewawancarai lima kreator konten dakwah yang aktif dan populer di platform tersebut. Hasilnya mengungkap tiga pola dominan yang menjadi cerminan dari logika industri digital.

Pertama, estetika dakwah satu menit. Sebagian besar video tampil dalam format yang nyaris seragam: layar vertikal, durasi pendek (30–60 detik), filter halus, musik menyentuh, dan teks motivasional. Konten lebih mengedepankan perasaan ketimbang refleksi mendalam. Tampilannya menenangkan, menyentuh hati, dan tentu saja—mengejar algoritma agar FYP (For Your Page).

Namun dalam format seperti itu, banyak aspek penting ajaran Islam yang terpotong. Ketika dakwah dibatasi durasi dan harus “relatable”, maka pesan yang kompleks disederhanakan, dilembutkan, bahkan dimodifikasi agar enak ditonton. Seperti kata Adorno, salah satu pemikir teori kritis, budaya yang diproduksi secara massal cenderung menjadi seragam, mudah dicerna, tapi kehilangan kekuatan untuk membangkitkan kesadaran.

Kedua, branding ustaz dan dai sebagai figur populer. Dari hasil wawancara, para kreator mengaku menyesuaikan gaya bicara, pakaian, mimik, dan waktu unggahan berdasarkan tren. Ada yang tampil seperti komedian, ada yang memilih gaya romantis, dan ada pula yang ‘cool’ seperti motivator. Ini disebut Adorno sebagai pseudo-individualization: konten tampak personal, padahal semua tunduk pada standar yang sama.

Artinya, yang sedang dikembangkan bukan sekadar konten dakwah, melainkan juga personal branding. Popularitas jadi tolok ukur keberhasilan. Jumlah followers lebih penting dari sanad keilmuan. Estetika visual lebih berperan ketimbang kedalaman tafsir.

Ketiga, dakwah menjadi sarana monetisasi. Hampir 70% video menyisipkan tautan jualan, promosi produk Islami, atau endorse. Bahkan, ada kreator yang menyampaikan pesan dakwah sambil “live shopping”. Di sinilah kita menyaksikan bagaimana dakwah dan konsumsi bersatu dalam satu layar. Spiritualitas jadi komoditas. Iman dikaitkan dengan diskon. Ini bukan lagi hal sepele—tapi gejala besar budaya konsumen yang mengemas agama dalam bahasa pasar.

Dalam konteks ini, pertanyaan kritis harus diajukan: apakah dakwah masih bertujuan menyampaikan kebenaran, atau telah bergeser menjadi industri konten?

Tentu saja tidak semua dakwah digital seperti ini. Banyak pula dai yang tetap menjaga kedalaman isi meski tampil di platform digital. Namun yang menjadi masalah adalah dominasi algoritma dan tekanan pasar yang mendorong kreator untuk menyesuaikan kontennya dengan selera pasar, bukan kebutuhan ruhani umat.

Saya tidak bermaksud menyalahkan para kreator. Justru sebaliknya, mereka bekerja keras menyampaikan pesan agama dengan cara yang bisa diterima oleh publik. Namun sebagai masyarakat, kita perlu waspada agar tidak larut dalam estetika semu. Kita perlu ruang dakwah yang memberi tempat bagi berpikir, berdiskusi, dan merenung—bukan hanya menangis sesaat lalu scroll lagi.

Apa yang bisa kita lakukan? Pertama, penting menguatkan literasi media—khususnya literasi media religius—agar masyarakat mampu membedakan antara konten dakwah yang mencerahkan dan yang sekadar menyentuh. Kedua, kita perlu mendukung pendakwah-pendakwah muda yang berani menawarkan perspektif mendalam, meski mungkin tidak sepopuler “ustaz lucu”. Ketiga, institusi keagamaan dan lembaga pendidikan Islam sebaiknya aktif memproduksi konten alternatif yang tetap substansial dan menarik, tanpa tunduk sepenuhnya pada logika viral.

TikTok adalah ruang baru. Dakwah pun harus menyesuaikan. Tapi jangan sampai kita hanya menyesuaikan bentuk, lalu kehilangan ruh. Jangan sampai semangat dakwah hanya bertahan sependek durasi konten—viral satu menit, lalu hilang. Islam bukan sekadar konten. Ia adalah jalan hidup, yang butuh refleksi, keteladanan, dan kesinambungan.

Maka, pertanyaannya kembali ke kita: mau jadi penonton setia FYP, atau pelaku dakwah yang menghidupkan nilai-nilai Islam di dunia nyata?

 

 

Dakwah Ala Konten, Konten Ala Dakwah Spiritualitas di TikTok: Antara Viralitas dan Kedalaman Makna Oleh Subchan Daragana

Lima tahun terakhir, TikTok menjelma menjadi ruang baru untuk dakwah Islam. Dulu kita mendengar dakwah dari masjid, televisi, atau ceramah ustaz kondang di majelis besar. Kini, cukup geser layar ke atas, muncullah “ustaz gaul” menyampaikan ayat Al-Qur’an dalam 60 detik. Ada pula konten pasangan hijrah yang membacakan hadist sambil duduk berduaan, atau potongan ceramah diselipi efek menangis dan musik melankolis.

Fenomena ini tentu menarik. TikTok bukan hanya wadah hiburan, tapi juga panggung dakwah digital paling masif saat ini. Dengan pengguna aktif lebih dari 125 juta orang di Indonesia, dan mayoritas berusia muda, TikTok menawarkan peluang luar biasa untuk menyebarkan pesan keislaman secara cepat dan luas. Namun, seiring peluang itu, muncul juga pertanyaan yang tidak kalah penting: Apakah pesan dakwah tetap substansial, atau malah menjadi produk visual cepat saji yang kehilangan kedalaman?

Sebagai peneliti komunikasi dan budaya, saya tertarik menelusuri lebih dalam fenomena ini. Saya menganalisis 150 video bertagar #dakwah dan #islam yang viral di TikTok selama 2022 hingga 2024, serta mewawancarai lima kreator konten dakwah yang aktif dan populer di platform tersebut. Hasilnya mengungkap tiga pola dominan yang menjadi cerminan dari logika industri digital.

Pertama, estetika dakwah satu menit. Sebagian besar video tampil dalam format yang nyaris seragam: layar vertikal, durasi pendek (30–60 detik), filter halus, musik menyentuh, dan teks motivasional. Konten lebih mengedepankan perasaan ketimbang refleksi mendalam. Tampilannya menenangkan, menyentuh hati, dan tentu saja—mengejar algoritma agar FYP (For Your Page).

Namun dalam format seperti itu, banyak aspek penting ajaran Islam yang terpotong. Ketika dakwah dibatasi durasi dan harus “relatable”, maka pesan yang kompleks disederhanakan, dilembutkan, bahkan dimodifikasi agar enak ditonton. Seperti kata Adorno, salah satu pemikir teori kritis, budaya yang diproduksi secara massal cenderung menjadi seragam, mudah dicerna, tapi kehilangan kekuatan untuk membangkitkan kesadaran.

Kedua, branding ustaz dan dai sebagai figur populer. Dari hasil wawancara, para kreator mengaku menyesuaikan gaya bicara, pakaian, mimik, dan waktu unggahan berdasarkan tren. Ada yang tampil seperti komedian, ada yang memilih gaya romantis, dan ada pula yang ‘cool’ seperti motivator. Ini disebut Adorno sebagai pseudo-individualization: konten tampak personal, padahal semua tunduk pada standar yang sama.

Artinya, yang sedang dikembangkan bukan sekadar konten dakwah, melainkan juga personal branding. Popularitas jadi tolok ukur keberhasilan. Jumlah followers lebih penting dari sanad keilmuan. Estetika visual lebih berperan ketimbang kedalaman tafsir.

Ketiga, dakwah menjadi sarana monetisasi. Hampir 70% video menyisipkan tautan jualan, promosi produk Islami, atau endorse. Bahkan, ada kreator yang menyampaikan pesan dakwah sambil “live shopping”. Di sinilah kita menyaksikan bagaimana dakwah dan konsumsi bersatu dalam satu layar. Spiritualitas jadi komoditas. Iman dikaitkan dengan diskon. Ini bukan lagi hal sepele—tapi gejala besar budaya konsumen yang mengemas agama dalam bahasa pasar.

Dalam konteks ini, pertanyaan kritis harus diajukan: apakah dakwah masih bertujuan menyampaikan kebenaran, atau telah bergeser menjadi industri konten?

Tentu saja tidak semua dakwah digital seperti ini. Banyak pula dai yang tetap menjaga kedalaman isi meski tampil di platform digital. Namun yang menjadi masalah adalah dominasi algoritma dan tekanan pasar yang mendorong kreator untuk menyesuaikan kontennya dengan selera pasar, bukan kebutuhan ruhani umat.

Saya tidak bermaksud menyalahkan para kreator. Justru sebaliknya, mereka bekerja keras menyampaikan pesan agama dengan cara yang bisa diterima oleh publik. Namun sebagai masyarakat, kita perlu waspada agar tidak larut dalam estetika semu. Kita perlu ruang dakwah yang memberi tempat bagi berpikir, berdiskusi, dan merenung—bukan hanya menangis sesaat lalu scroll lagi.

Menguji Kembali Otoritas Keagamaan

Yang menarik dari temuan ini adalah terjadinya pergeseran otoritas. Dahulu, seorang ustaz atau dai mendapatkan tempat karena keluasan ilmunya, sanad-nya, atau kedalaman pengalaman spiritualnya. Kini, kita menemukan figur-figur baru yang dikenal karena gaya berbicara, jumlah views, atau gaya pacaran Islami. Otoritas bukan lagi soal ilmu, tapi performa. Bukan tentang sanad, tapi viralitas.

Pergeseran ini membawa dampak besar bagi pembentukan identitas keagamaan, terutama pada generasi muda. Ketika anak muda lebih sering terpapar potongan dakwah yang lucu, menyentuh, dan instan, maka pemahamannya pun dibentuk oleh narasi sempit yang berulang—bukan oleh proses belajar mendalam dan kritis.

Solusi: Literasi Media dan Dakwah Alternatif

Apa yang bisa dilakukan? Pertama, perlu ada peningkatan literasi media yang mengajarkan kepada publik—terutama anak muda—untuk memilah konten dakwah. Tidak semua yang viral itu benar. Tidak semua yang menyentuh itu mendalam. Dakwah harus dikritisi, dipahami, dan dipraktikkan, bukan sekadar ditonton.

Kedua, institusi pendidikan dan komunitas keagamaan perlu menghadirkan ruang dakwah alternatif yang tidak tunduk sepenuhnya pada algoritma. Kita bisa belajar dari podcast Islami, kajian daring interaktif, diskusi terbuka, atau bahkan film dokumenter spiritual yang tetap menarik tanpa kehilangan kedalaman.

Ketiga, kita butuh lebih banyak dai yang berani menyampaikan hal-hal penting meski tidak populer. Kita butuh “ustaz reflektif” yang tidak sekadar membacakan dalil, tapi juga mengajak berpikir. Mereka mungkin tidak FYP, tapi bisa menanamkan nilai Islam yang membebaskan dan mencerahkan.

Kesimpulan: Bukan Menolak Teknologi, Tapi Menghidupkan Nilai

TikTok hanyalah alat. Yang jadi soal bukan platformnya, tapi bagaimana kita memaknainya. Jika kita hanya menggunakan TikTok untuk menyampaikan hal-hal yang enak ditonton, menyenangkan, dan aman secara pasar—maka kita sedang menyerahkan ruang dakwah kepada selera pasar. Tapi jika kita mampu menggunakan TikTok untuk menyampaikan kebenaran, kejujuran, dan kedalaman spiritualitas, maka platform itu bisa menjadi sarana dakwah yang kuat.

Dakwah ala konten dan konten ala dakwah bisa berjalan bersama, asal tidak melupakan ruhnya. Islam tidak cukup disampaikan dengan tampilan estetis—ia perlu kedalaman, keteladanan, dan konsistensi. Jangan sampai dakwah hanya jadi suara di layar, tapi tidak menyentuh kehidupan nyata.

Maka, tugas kita bersama adalah mengawal dakwah digital agar tidak hanya viral, tetapi juga bernilai. Agar tidak hanya menyenangkan, tetapi juga membebaskan.

Subchan Daragana
Peneliti komunikasi budaya dan mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel