Kebijakan Publik dan Hak untuk Mengkritik: Suara Masyarakat dalam Siklus Kekuasaan

Kebijakan Publik dan Hak untuk Mengkritik: Suara Masyarakat dalam Siklus Kekuasaan

Oleh: Sumarta

Peneliti, Penulis, Pengajar dan Konten Kreator

 


Kebijakan Publik dan Kontroversi yang Tak Pernah Usai

Dalam beberapa waktu terakhir, kita terus menyaksikan kemunculan berbagai kebijakan publik yang memicu polemik. Mulai dari program makan bergizi gratis, kebijakan subsidi LPG, hingga penyaluran bantuan sosial yang acap kali dipertanyakan akurasi dan efektivitasnya. Semua kebijakan tersebut tidak hanya menjadi wacana di media, tapi juga menjadi bahan perbincangan di ruang-ruang publik, baik di dunia nyata maupun digital.

Fenomena ini menegaskan bahwa masyarakat Indonesia semakin sadar akan posisinya dalam proses demokrasi. Mereka tidak lagi menjadi penonton pasif, tetapi telah berubah menjadi aktor penting yang ikut mengawasi, menilai, bahkan menolak kebijakan jika dianggap merugikan. Namun, seringkali kritik yang dilontarkan masyarakat mendapat respons merendahkan, seperti ungkapan populer: “Kritiknya boleh, tapi harus solutif dong!”

Delegitimasi Kritik dan Masalah “Solusi” yang Dipaksakan

Ungkapan tersebut, walaupun terdengar moderat, sesungguhnya mengandung upaya membungkam kritik. Ia memunculkan asumsi bahwa jika kritik tidak dibarengi solusi, maka ia tak layak didengar. Padahal, dalam sistem demokrasi, kritik merupakan hak fundamental warga Negara hak untuk menyampaikan pendapat yang dijamin oleh konstitusi, tanpa syarat harus memberi solusi.

Perlu dipahami, solusi bukanlah beban yang harus ditanggung oleh masyarakat. Tugas menyusun dan menjalankan solusi kebijakan berada di tangan pemerintah sebagai pemegang mandat, sumber daya, dan akses data. Sementara itu, kritik adalah bagian dari pengawasan sosial dan ekspresi kepedulian masyarakat terhadap arah kebijakan negara.

Kebijakan Publik Sebagai Proses Siklus, Bukan Titik Tunggal

Menurut Thomas Dye (1981), kebijakan publik adalah apa yang pemerintah putuskan untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Ini berarti bahwa kebijakan tidak selalu berbentuk aksi; keputusan untuk tidak bertindak juga adalah bentuk kebijakan. Dalam konteks ini, masyarakat wajib bersuara agar tindakan maupun kelambanan pemerintah tetap berada dalam pantauan publik.

Kilpatrick (2000) mengembangkan konsep kebijakan publik sebagai sebuah proses yang bersifat strategis dan berkesinambungan. Ia memandang kebijakan publik bukan sekadar hasil akhir berupa regulasi atau keputusan pemerintah, melainkan sebagai rangkaian sistematis yang terdiri dari berbagai langkah: mulai dari penetapan agenda, perumusan kebijakan, proses legitimasi, pelaksanaan, hingga evaluasi. Dengan kata lain, kebijakan publik adalah sebuah siklus, bukan keputusan satu arah yang berakhir begitu suatu aturan ditetapkan.

1.     Agenda Setting: Titik Awal Identifikasi Masalah

Tahapan pertama dalam siklus kebijakan publik adalah agenda setting. Pada tahap ini, masalah-masalah yang muncul di masyarakat diidentifikasi dan diprioritaskan untuk ditangani oleh pemerintah. Proses ini sangat bergantung pada dinamika sosial dan politik, termasuk seberapa besar tekanan publik atau media terhadap suatu isu. Masyarakat memiliki peran sentral dalam tahap ini, sebab tanpa partisipasi mereka, banyak persoalan bisa saja luput dari perhatian pemerintah. Agenda setting pada dasarnya adalah proses penyaringan awal dari sekian banyak persoalan yang ada di lapangan.

2.     Policy Formulation: Merancang Alternatif Solusi

Setelah isu tertentu masuk dalam agenda kebijakan, langkah selanjutnya adalah policy formulation. Di sini, pemerintah bersama para ahli dan pemangku kepentingan lainnya merancang berbagai alternatif solusi. Idealnya, setiap opsi kebijakan yang diusulkan dianalisis secara mendalam melalui pendekatan cost-benefit analysis agar dapat diketahui dampak positif dan negatifnya. Tahapan ini juga menjadi ajang partisipasi publik dan komunitas ahli untuk memberikan kontribusi terhadap efektivitas kebijakan. Tanpa formulasi yang matang, kebijakan bisa jadi tidak tepat sasaran atau menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.

3.     Policy Legitimation: Mewujudkan Legitimasi Hukum

Tahap berikutnya adalah policy legitimation, yaitu proses pengesahan kebijakan agar memiliki kekuatan hukum. Di Indonesia, proses ini biasanya melalui mekanisme legislasi seperti pengesahan undang-undang oleh DPR atau penerbitan peraturan pemerintah. Legitimasi ini penting karena memastikan bahwa kebijakan memiliki landasan hukum yang sah dan mengikat. Selain itu, proses ini juga menguji seberapa jauh kebijakan tersebut dapat diterima oleh publik secara sosial dan politik.

4.     Policy Implementation: Menjalankan Kebijakan di Lapangan

Kebijakan yang telah disahkan kemudian masuk dalam tahap implementation. Ini adalah proses pelaksanaan kebijakan oleh lembaga-lembaga pemerintah di berbagai tingkat. Tahapan ini sering menjadi tantangan terbesar karena pelaksanaan kebijakan sering kali menghadapi hambatan teknis, birokratis, dan bahkan resistensi dari masyarakat. Implementasi yang tidak konsisten dengan perumusan awal dapat mengurangi efektivitas kebijakan dan menimbulkan ketidakpuasan publik.

5.     Policy Evaluation: Mengukur Efektivitas dan Perbaikan

Tahapan terakhir adalah policy evaluation, yaitu penilaian terhadap sejauh mana kebijakan mencapai tujuannya. Evaluasi ini dapat dilakukan secara internal oleh lembaga pemerintah, atau melalui partisipasi publik dalam bentuk survei, forum konsultasi, dan aduan masyarakat. Dari hasil evaluasi inilah akan muncul pertanyaan apakah kebijakan perlu dilanjutkan, diubah, atau bahkan dicabut. Tahap ini sangat penting karena menjadi dasar bagi siklus berikutnya, yaitu kembali ke agenda setting untuk memperbaiki atau merumuskan ulang kebijakan yang lebih baik.

Kebijakan Publik Adalah Proses yang Hidup

Dengan memahami bahwa kebijakan publik adalah siklus yang terus berulang, kita menyadari bahwa kebijakan bukanlah sesuatu yang statis. Evaluasi, masukan masyarakat, dan dinamika sosial politik harus terus menjadi bagian dari proses pembuatannya. Setiap tahapan saling berkaitan dan membuka peluang bagi partisipasi masyarakat agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya legal, tetapi juga legitimate secara sosial. Pendekatan siklikal inilah yang memungkinkan kebijakan publik berkembang secara adaptif dan responsif terhadap kebutuhan zaman.

Tiga Titik Kritis Peran Masyarakat dalam Siklus Kebijakan

Dalam proses kebijakan publik, masyarakat memiliki peran penting di tiga titik utama:

1.      Agenda setting

2.      Policy formulation

3.      Policy evaluation

Di tahap agenda setting, suara masyarakat menjadi penentu awal. Pemerintah takkan mampu mengidentifikasi semua masalah tanpa adanya aduan, kritik, atau saran dari publik. Aduan itulah yang menjadi dasar penetapan isu-isu prioritas negara.

Pada tahap formulasi kebijakan, idealnya pemerintah menyusun berbagai opsi kebijakan yang dianalisis dengan pendekatan cost-benefit analysis. Sayangnya, tahap ini sering dilewati. Padahal, UU No. 12 Tahun 2011 (jo. UU No. 13 Tahun 2022) telah mengatur pentingnya Regulatory Impact Assessment (RIA) untuk menilai dampak setiap kebijakan. Tanpa proses ini, kebijakan rawan gagal karena tidak mempertimbangkan opsi alternatif atau risiko penerapannya.

Lalu pada tahap evaluasi, masyarakat kembali memiliki ruang untuk menilai efektivitas kebijakan. Masukan dari publik dapat diperoleh lewat survei, konsultasi terbuka, atau bahkan kritik yang viral di media sosial. Evaluasi ini krusial karena hasilnya menentukan apakah kebijakan perlu dilanjutkan, diubah, atau bahkan dibatalkan—yang semuanya kembali ke tahap awal, agenda setting.

Pelajaran dari Krisis: Kebijakan di Masa Darurat Tetap Butuh Partisipasi

Banyak yang beranggapan bahwa dalam kondisi darurat, seperti pandemi COVID-19, semua proses birokrasi dan partisipasi masyarakat bisa dikesampingkan. Padahal, justru dalam situasi seperti itu, proses kebijakan harus semakin hati-hati dan berbasis pada bukti (evidence-based).

Negara seperti Inggris membentuk SAGE (Scientific Advisory Group for Emergencies) untuk mendampingi pemerintah dalam membuat keputusan berbasis ilmu pengetahuan. Artinya, bahkan dalam kondisi mendesak, proses partisipatif yang melibatkan para ahli dan pemangku kepentingan tetap harus dijalankan. Indonesia seharusnya belajar dari pengalaman ini bahwa kecepatan tidak boleh mengorbankan ketepatan dan akuntabilitas kebijakan.

Kritik Bukan Ancaman, Tapi Kebutuhan Demokrasi

Kritik yang muncul dalam tahap evaluasi atau bahkan sepanjang proses kebijakan tidak boleh dianggap sebagai gangguan. Justru, kritik adalah indikator bahwa masyarakat terlibat aktif. Dalam demokrasi deliberatif, kualitas sebuah pemerintahan tidak hanya diukur dari seberapa cepat ia bekerja, tapi juga dari seberapa luas dan dalam partisipasi publik terlibat di dalamnya.

Konstitusi Indonesia secara tegas menjamin kebebasan berpendapat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hal ini tertuang dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat, berserikat, dan berkumpul. Perlindungan terhadap kebebasan ini bukan hanya simbolik, tetapi merupakan fondasi penting dalam sistem demokrasi. Dalam konteks kebijakan publik, kebebasan berpendapat menjadi kunci bagi terciptanya tata kelola yang partisipatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memperkuat prinsip ini melalui konsep meaningful participation atau partisipasi yang bermakna. Partisipasi masyarakat tidak cukup hanya hadir atau didengar secara formalitas, melainkan harus diakomodasi secara substansial dalam proses pembuatan kebijakan. UU tersebut mengamanatkan adanya tiga hak utama masyarakat dalam proses tersebut, yaitu:

1.      Hak untuk didengar (right to be heard)

Masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan pandangan, pendapat, atau kritik terhadap suatu kebijakan yang sedang dirancang maupun yang sudah berjalan. Ini mencakup berbagai bentuk ekspresi, baik secara langsung dalam forum publik maupun melalui media sosial, petisi, atau kanal pengaduan resmi.

2.      Hak untuk dipertimbangkan (right to be considered)

Pendapat yang telah disampaikan masyarakat tidak boleh diabaikan begitu saja. Pemerintah wajib mempertimbangkan aspirasi tersebut sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan, dan bukan sekadar mendengarkannya untuk menggugurkan kewajiban.

3.      Hak untuk mendapatkan penjelasan (right to be explained)

Setelah kebijakan diputuskan, masyarakat berhak mengetahui alasan di balik pilihan kebijakan tersebut. Ini menciptakan ruang dialog antara negara dan warga, serta memperkuat transparansi dan akuntabilitas publik.

Ketiga hak ini merupakan pilar utama demokrasi deliberatif, di mana kebijakan tidak hanya ditentukan oleh elite politik, tetapi juga melibatkan suara masyarakat secara aktif dan bermakna. Oleh karena itu, kebijakan publik yang baik tidak hanya diukur dari legalitasnya, tetapi dari sejauh mana ia mengakomodasi partisipasi warga. Prinsip ini menjadi penanda bahwa dalam demokrasi sejati, masyarakat bukan objek kebijakan, melainkan subjek yang memiliki hak untuk menentukan arah pembangunan.

Melawan Penyempitan Ruang Sipil: Kritik Adalah Bagian dari Solusi

Sayangnya, dalam praktik, kritik masyarakat seringkali dianggap ancaman. Ia dilabeli sebagai bentuk ketidaktahuan, disamakan dengan ujaran kebencian, atau bahkan dibungkam melalui regulasi yang represif. Ini adalah bentuk penyempitan ruang sipil yang berbahaya karena menghilangkan unsur partisipatif dalam kebijakan publik.

Kita harus menolak anggapan bahwa setiap kritik harus dibarengi solusi teknis. Kritik itu sendiri adalah bentuk kontribusi. Ia memberi sinyal bahwa kebijakan telah menyentuh atau melukai kepentingan publik. Bahkan jika kritik datang dari kelompok minoritas, negara wajib mendengarkan karena demokrasi bukan sekadar menghitung suara terbanyak, tetapi menjamin perlindungan terhadap semua suara.

Penutup: Suara Masyarakat Adalah Napas Demokrasi

Pemerintah yang kuat bukanlah yang anti kritik, tetapi yang mampu mengelola kritik menjadi bahan refleksi dan perbaikan. Kritik, jika dikelola secara sehat, adalah bahan bakar demokrasi. Ia mendorong negara untuk lebih terbuka, responsif, dan bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan yang dijalankan.

Kebijakan publik bukan proses elitis. Ia adalah ruang perjumpaan antara pemerintah dan masyarakat. Dalam dunia yang kompleks dan terus berubah, tak satu pihak pun yang memiliki semua jawaban. Maka, kolaborasi antara negara, masyarakat sipil, komunitas ahli, dan warga adalah satu-satunya cara untuk menghasilkan kebijakan yang adil dan bijaksana.

Jangan pernah berhenti bersuara. Karena suara masyarakat bukan hanya sah, tapi perlu, penting, dan dilindungi hukum. Bukan karena kita punya semua jawaban, tetapi karena suara kita adalah bagian dari solusi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel