IPSM : KERJA HATI, BUKAN KERJA GAJI

IPSM : KERJA HATI, BUKAN KERJA GAJI

Oleh:. Subchan Daragana
Ketua IPSM Provinsi Jawa Barat 2025–2030

 




Dalam dinamika sosial kemasyarakatan, kata “pekerja” secara umum dimaknai sebagai seseorang yang bekerja dengan imbalan. Dalam bahasa Inggris, "worker" berarti orang yang menjual tenaganya demi mendapatkan kompensasi. Maka, saat mendengar istilah "Pekerja Sosial Masyarakat" (PSM), sebagian orang membayangkan ini adalah profesi yang memperoleh upah atau gaji tetap.

Namun kenyataannya tidak demikian. Para anggota IPSM adalah relawan, bukan pegawai. Mereka tidak digaji, tidak mendapatkan tunjangan, dan tak pernah menuntut kompensasi finansial atas pengabdian mereka. Justru karena tidak digaji, PSM bekerja dengan keikhlasan yang tulus, bukan karena instruksi atasan, tetapi karena panggilan nurani. Mereka hadir di tengah masyarakat, menyapa warga yang tak terdengar suaranya, mendampingi kelompok rentan, membantu keluarga miskin ekstrem, bahkan turut berjibaku saat bencana melanda, tanpa pernah bertanya: “Dibayar berapa?”

Paradoks pun muncul. Kita menyebut mereka “pekerja”, tetapi mereka sejatinya relawan. Dalam konteks kebahasaan, ini menarik untuk dikaji. Haruskah istilah “pekerja” dipertahankan, atau kita mulai mengarusutamakan narasi “relawan sosial masyarakat”? Bagi penulis, yang terpenting bukan hanya istilah, tetapi bagaimana masyarakat memahami esensi gerakan ini secara utuh.

IPSM adalah gerakan sosial berbasis keikhlasan. Dalam diam dan sunyinya sorotan media, mereka tetap berjalan. Bahkan ketika banyak program sosial dilaksanakan secara formal oleh lembaga negara, justru para PSM-lah yang menjadi penghubung antara data dan realitas. Mereka yang mengetuk pintu rumah warga, mengecek kondisi di lapangan, dan menyampaikan laporan tanpa pamrih.

Lalu, bagaimana negara menyikapi ini? Patut disyukuri, saat ini banyak dinas sosial di tingkat kabupaten/kota dan provinsi yang mulai merangkul IPSM dalam penyusunan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), dalam advokasi komunitas, hingga dalam pelibatan bencana. Namun tantangan tetap ada: IPSM sering dianggap subordinat dari lembaga-lembaga formal, bukan sebagai mitra sejajar. Padahal, di tengah krisis sosial yang kompleks dan cepat berubah, keberadaan relawan yang adaptif dan punya jejaring langsung dengan warga adalah aset berharga.

Namun, tantangan kita bukan hanya soal pengakuan formal. Di tengah generasi muda yang lebih akrab dengan budaya digital dan narasi populer tentang karier dan penghasilan, spirit kerelawanan mulai terpinggirkan. Banyak anak muda yang ingin membantu, tetapi tidak tahu jalurnya. Banyak yang peduli, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. Di sinilah peran IPSM menjadi sangat strategis bukan hanya sebagai pelaksana kegiatan sosial, tetapi juga sebagai sekolah nilai bagi generasi baru.

Kita perlu menjadikan IPSM sebagai rumah bagi nilai luhur bangsa: gotong royong, empati, dan keberanian membela yang lemah. Kita perlu mengemas ulang narasi sosial agar lebih relevan dengan zaman dengan menyentuh hati, menggunakan bahasa media sosial, dan menghadirkan tokoh-tokoh muda inspiratif dari kalangan PSM sendiri.

Selain itu, negara dan pemerintah daerah juga perlu menyediakan “ekosistem dukungan” bagi para relawan sosial ini. Bukan dalam bentuk gaji, tetapi dalam bentuk akses pelatihan, perlindungan hukum, jaminan keselamatan kerja lapangan, hingga jaringan kolaborasi lintas sektor. Relawan tidak butuh disuapi, tetapi dibekali agar kuat berdiri sendiri.

Sebagai Ketua IPSM Jawa Barat periode 2025–2030, penulis ingin menegaskan kembali jati diri organisasi ini: bahwa PSM bukan sekadar “pekerja sosial”, melainkan penjaga nurani sosial bangsa. Kita perlu membangun ulang narasi tentang gerakan ini. Bahwa mereka bukan “mencari kerja”, tetapi “membuat karya sosial”. Bukan “mencari gaji”, tetapi “memberi hati”.

Langkah-langkah konkret juga dibutuhkan. Pertama, memperkuat pendidikan nilai relawan kepada anggota baru. Kedua, membangun sistem apresiasi non-finansial: berupa penghargaan, publikasi, pelibatan dalam forum kebijakan, dan ruang untuk menyampaikan gagasan. Ketiga, memanfaatkan media sosial untuk mengangkat kisah-kisah inspiratif para relawan IPSM, agar masyarakat luas tahu bahwa masih banyak pejuang yang bekerja bukan demi bayaran, tetapi karena keyakinan bahwa memberi itu menyelamatkan.

Di era digital ini, saat segala sesuatu dinilai dengan materi, peran PSM menjadi penyeimbang. Mereka adalah pengingat bahwa masih ada orang-orang yang bekerja untuk nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa ada yang rela berpeluh, berjalan kaki ke pelosok, mendampingi warga miskin, tanpa meminta imbalan.

IPSM adalah wajah Indonesia yang sesungguhnya: gotong royong, kepedulian, dan pengabdian. Maka sudah waktunya kita akui, kita beri ruang, dan kita kuatkan mereka. Bukan untuk digaji, tetapi untuk diberi kepercayaan dan dukungan agar kiprahnya terus berlanjut.

Karena ketika yang bekerja adalah hati, maka balasannya bukan rupiah—melainkan keberkahan.

#IPSMBergerak #RelawanSejati #KerjaHatiBukanKerjaGaji

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel