Indonesia sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan Dunia: Menggugat Narasi Dominasi Sains Barat

Indonesia sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan Dunia: Menggugat Narasi Dominasi Sains Barat

(Analisis dari Monolog Bagus Mulyadi dari judul Tulis Ulang Sejarah Pengetahuan Indonesia | Chronicles Documentary 21 Juni 2025)

Oleh Sumarta

Peneliti, Pengajar, dan Konten Kreator

 


Ternate dan Peran Rempah dalam Sejarah Peradaban

Pulau Ternate bukan hanya sebuah titik kecil di peta Indonesia, tetapi ia adalah simpul penting dalam sejarah global. Di masa lalu, Ternate menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dunia, terutama cengkeh. Rempah-rempah ini bukan sekadar penambah rasa, melainkan memiliki nilai strategis tinggi karena mampu mengawetkan makanan di era pra-refrigerasi. Tak heran jika para pedagang dan naturalis dari Eropa rela mengarungi lautan berbulan-bulan demi mendapatkan emas aromatik ini.

Cengkeh dan pala dari Maluku menjadi bagian dari motivasi kolonialisme Eropa. Namun, di balik kepentingan ekonomi, tersimpan juga peran intelektual: rempah-rempah menjadi pintu masuk bagi penjelajahan ilmiah. Maka tak berlebihan jika Ternate juga disebut sebagai persinggahan penting bagi sejarah sains, bukan hanya sejarah perdagangan.

 

Wallace, Darwin, dan Teori Evolusi yang Lahir dari Nusantara

Di Ternate, pada tahun 1858, Alfred Russel Wallace menulis surat berisi gagasan revolusioner: teori seleksi alam. Ia mengirimkannya kepada Charles Darwin di Inggris—yang saat itu juga tengah mengembangkan ide serupa. Terkejut oleh isi surat itu, Darwin kemudian bergegas menerbitkan karya besarnya The Origin of Species.

Namun, tidak banyak orang tahu bahwa Wallace-lah yang pertama kali memformulasikan teori tersebut secara tertulis, dan dari Ternate-lah surat penting itu dikirim. Sejarah mencatat bahwa Wallace dan Darwin dianggap sebagai co-founder teori evolusi. Tapi dalam ingatan kolektif, hanya Darwin yang bertahan.

Fakta ini menyoroti bagaimana narasi sains telah tersentralisasi di Barat. Nusantara hanya disebut sebagai “lokasi riset”—bukan bagian dari tubuh epistemik itu sendiri. Padahal, dari tanah inilah salah satu teori ilmiah paling revolusioner abad ke-19 berasal.

 

Peran Tersembunyi Asisten Lokal dalam Penemuan Ilmiah

Wallace tidak bekerja sendirian. Ia didampingi oleh asisten lokal bernama Ali, yang sangat berjasa dalam pengumpulan spesimen, navigasi daerah, dan pemahaman ekologi setempat. Banyak ilmuwan kolonial seperti Rumphius, George Van Bammelen, hingga Wallace, bergantung pada pengetahuan lokal masyarakat Indonesia.

Namun kontribusi asisten dan masyarakat lokal ini kerap dihapus dari sejarah sains resmi. Mereka dianggap “tangan kerja”, bukan mitra intelektual. Padahal, banyak di antara mereka yang memahami lanskap alam, gejala ekologis, hingga pola migrasi hewan lebih baik dari para peneliti asing.

Penghilangan ini bukan hanya soal ketidakadilan historis, tetapi juga merusak pemahaman kita akan asal-usul ilmu pengetahuan. Kita lupa bahwa ilmu tidak lahir dari laboratorium kosong, tapi dari dialog antara banyak kepala—termasuk kepala-kepala lokal yang tak pernah ditulis.

 

Ilmu Pengetahuan Nenek Moyang dan Kearifan Lokal

Indonesia memiliki warisan pengetahuan luar biasa. Sistem irigasi Subak di Bali, sumbu kosmologis Keraton Yogyakarta, hingga arsitektur tahan gempa dari bambu masyarakat Sunda, semuanya menunjukkan bahwa leluhur kita bukan hanya “percaya” pada alam, tapi juga memahami dan mengelolanya dengan metode yang rasional dan efektif.

Namun, semua itu sering direduksi sebagai “kepercayaan tradisional”, bukan ilmu. Inilah dikotomi warisan kolonial: sains dianggap hanya milik Barat, sementara semua yang berasal dari Timur disimplifikasi sebagai budaya atau mitos.

Padahal, pendekatan spiritual dan empiris bisa berjalan bersamaan. Seperti halnya Isaac Newton yang sangat religius namun melahirkan hukum gravitasi, masyarakat kita pun mampu memadukan iman dan penalaran dalam memahami alam. Hanya saja, label “sains” jarang diberikan pada apa yang berasal dari kita sendiri.

 

Tantangan terhadap Dikotomi Sains dan Kepercayaan

Hari ini kita hidup dalam dunia yang masih mengotak-ngotakkan sains dan belief. Sains seolah harus steril dari nilai, budaya, dan keyakinan. Padahal dalam kenyataannya, sains tidak pernah netral. Ia lahir dari konteks, dari dorongan ingin tahu, bahkan dari intuisi spiritual yang dalam.

Narasi Barat tentang sains sering menutup ruang bagi pemahaman-pemahaman lokal. Inilah yang perlu kita gugat. Kita perlu menegaskan bahwa pengetahuan dari Indonesia, baik berupa pengamatan ekologi, arsitektur kosmologis, hingga cara-cara hidup selaras dengan alam, adalah sains juga—karena ia menjawab masalah dengan metode, akumulasi pengalaman, dan efikasi yang bisa diuji.

 

Potensi Geologi Indonesia dan Solusi Perubahan Iklim

Ternate dan Halmahera tidak hanya menyimpan sejarah, tapi juga solusi masa depan. Formasi batuan andesitik yang ada di kawasan ini memiliki kemampuan untuk menyerap karbon dioksida secara permanen melalui mekanisme dissolution trapping. Ini adalah teknologi masa depan untuk menangani krisis iklim global: menyimpan emisi karbon di bawah tanah agar tidak menghangatkan atmosfer.

Indonesia memiliki lebih dari 50% cadangan panas bumi dunia. Jika potensi geologis dan geothermal kita dipadukan, maka Indonesia bisa menjadi pemimpin dunia dalam carbon capture and storage (CCS). Namun, itu hanya akan terjadi jika kita mulai percaya bahwa sains juga bisa lahir dari Gunung Gamalama, bukan hanya dari Swiss atau Boston.

 

Menemukan Kembali Identitas Ilmiah Bangsa Indonesia

Narasi bahwa Indonesia hanya konsumen sains telah membatasi mimpi kolektif kita. Kita dididik untuk menghafal nama-nama ilmuwan dari luar, tetapi tidak untuk mengenal Wallace di Ternate, atau Subak sebagai sistem manajemen air paling efisien di dunia.

Identitas ilmiah kita telah lama terpinggirkan. Saatnya untuk membalikkan itu. Menyadari bahwa dari sejarah dan geografi kita, tersedia modal episteme yang luar biasa. Tapi modal itu harus dikembalikan ke dalam narasi, pendidikan, dan kebijakan publik kita.

Chronicles dan gerakan-gerakan sejenis mencoba membangun kembali kesadaran bahwa ilmu bisa lahir di sini, dan kita punya tanggung jawab untuk membuktikannya—bukan dengan retorika, tapi dengan karya nyata.

 

Tanggung Jawab Generasi Muda dalam Membangun Narasi Sains Nasional

Pemuda Indonesia tidak hanya harus turun ke jalan, tetapi juga masuk ke laboratorium, mendaki gunung, menyelam ke laut, membaca manuskrip tua, dan menulis jurnal ilmiah. Inilah bentuk aktivisme baru: riset sebagai perlawanan.

Narasi sains tidak akan dipercaya jika tidak didukung oleh scientific grounding dan rekam jejak karya. Maka generasi muda harus tampil, tidak hanya sebagai pencerita, tetapi sebagai penemu. Mengubah cara pandang dunia terhadap Indonesia dari negara berkembang menjadi negara pengetahuan.

Banyak dari kita sudah menunjukkan arah ke sana. Respon positif terhadap serial seperti Chronicles menunjukkan bahwa masyarakat kita siap untuk diskursus yang rumit, gagasan yang dalam, dan narasi yang jujur. Yang perlu kita lakukan adalah memberi ruang, memberi panggung, dan mempercayai potensi kita sendiri.

 

Penutup: Mengklaim Kembali Indonesia sebagai Laboratorium Dunia

Indonesia bukan hanya lokasi yang eksotis dalam catatan kolonial. Ia adalah tempat lahirnya pengetahuan. Dari rempah, batuan, ritual, hingga filosofi kosmologis, semua itu menyimpan jawaban atas tantangan global hari ini.

Sudah saatnya kita menulis ulang narasi sains dunia. Bahwa ilmu bukan hanya dari Barat ke Timur. Tapi dari Indonesia untuk dunia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel