Satu Windu UU Desa Berlalu, Pengawasan Pemerintah Desa Dinilai Gagal dan Sarat Konspirasi
Satu Windu UU Desa Berlalu, Pengawasan Pemerintah Desa Dinilai Gagal dan Sarat Konspirasi
Indramayutradisi.com — Sudah lebih dari satu windu atau delapan tahun sejak Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diberlakukan, namun implementasi sistem pengawasan terhadap kinerja pemerintahan desa di berbagai wilayah Indonesia masih jauh dari harapan. Bahkan, sebagian kalangan menilai bahwa pengawasan ini secara faktual telah gagal dijalankan oleh lembaga, institusi, maupun masyarakat.
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa mayoritas desa dibiarkan beroperasi dalam kondisi yang nyaris tanpa kendali, regulasi yang tidak jelas, dan minim akuntabilitas. Dalam laporan yang dihimpun dari berbagai pemantauan lapangan dan analisis kebijakan, terdapat berbagai bukti konkret yang menandakan kegagalan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.
Desa Tanpa Regulasi dan Lembaga yang Hidup Segan Mati Tak Mau
Pertama, mayoritas desa disebut dibiarkan tanpa kepemilikan regulasi yang memadai, baik berdasarkan prinsip rekognisi maupun subsidiaritas. Pemerintah desa tidak memiliki perangkat hukum lokal yang bisa digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan secara efektif. Hal ini berdampak langsung pada lemahnya posisi hukum desa dalam menjalankan kewenangan aslinya.
Kedua, kelembagaan desa di berbagai wilayah dilaporkan dalam kondisi "mati suri", bahkan di beberapa tempat tidak eksis sama sekali. Tanpa kelembagaan yang hidup dan aktif, pemerintah desa praktis berjalan seperti tanpa arah, bergantung pada kekuasaan kepala desa semata.
Administrasi dan Keuangan Desa yang Amburadul
Ketiga, penyelenggaraan administrasi desa pun berada dalam kondisi yang karut-marut. Tidak sedikit desa yang masih menggunakan sistem pencatatan manual dan tidak konsisten dalam mendokumentasikan kegiatan maupun keputusan.
Keempat, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa lebih banyak diarahkan oleh kepentingan elit desa atau intervensi dari atasannya, baik dari kecamatan maupun kabupaten. Aspirasi masyarakat nyaris tidak terakomodasi secara layak dalam proses pembangunan desa.
Kelima, pengelolaan keuangan desa sangat tertutup, bahkan terhadap Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang seharusnya menjadi pengawas internal. Dalam banyak kasus, BPD tidak menerima Laporan Keterangan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LKPPDes) dan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Realisasi APBDes (LKPRP-APBDes). Lebih ironis lagi, pemerintah di atas desa, yang semestinya menjadi pembina, justru terkesan mempertahankan kondisi tersebut atau bahkan turut berkonspirasi.
Keenam, laporan kepada masyarakat seperti LPPDes dan IPRP-APBDes hampir tidak pernah disampaikan, dan pembiaran ini diduga turut disetujui oleh para pemangku kepentingan di atasnya.
Akar Masalah: Edukasi yang Lemah hingga Pendamping yang Tak Berdaya
Kondisi kronis ini tidak terjadi begitu saja. Sejumlah penyebab mendasar telah diidentifikasi. Di antaranya, minimnya edukasi, sosialisasi, dan informasi yang diberikan kepada masyarakat terkait tata kelola pemerintahan desa. Bahkan, dalam banyak kasus, warga cenderung dibungkam atau diabaikan aspirasinya.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang seharusnya menjadi mitra sekaligus pengawas internal desa, juga tidak mendapatkan pembinaan yang memadai. Bahkan, keberadaannya sering dimarjinalkan dalam pengambilan keputusan desa.
Hal serupa juga dialami oleh aparatur pemerintah desa. Alih-alih mendapatkan pelatihan dan pembinaan yang berkualitas, mereka justru seringkali hanya diikutsertakan dalam kegiatan yang bersifat seremonial atau "jalan-jalan" dengan dalih bimbingan teknis.
Sementara itu, forum Musyawarah Desa yang semestinya menjadi ruang deliberatif antara pemerintah dan masyarakat hanya menjadi formalitas belaka. Proyek-proyek titipan, ketidakjelasan arah kebijakan Dana Desa melalui KPDM (Kebijakan Pembangunan Desa Mandiri), serta pendampingan desa yang tidak berdaya memperparah situasi.
Manajemen Keuangan dan Aset: Seperti Dagangan Soto
Salah satu analogi yang mencuat dari kondisi pengelolaan desa saat ini adalah bahwa manajemen keuangan desa berjalan "seperti pedagang soto". Uang keluar masuk tanpa standar akuntabilitas yang baku, aplikasi Siskeudes yang seharusnya membantu justru masih bisa disiasati, dan aset desa masih dalam kondisi carut-marut, baik dari sisi registrasi maupun peruntukannya.
Sikap tertutup atas laporan keuangan kepada masyarakat makin mempertegas rendahnya transparansi dalam pengelolaan Dana Desa. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pembinaan desa secara profesional dan sistematis. Hingga saat ini, belum ada sistem yang menjamin lahirnya para pembina desa yang benar-benar memiliki kapabilitas dan integritas.
Ironisnya lagi, muncul aktor-aktor pengawas eksternal yang justru tidak memiliki kewenangan institusional. Ini menciptakan tumpang tindih peran dan memperbesar peluang konspirasi dan korupsi anggaran desa.
Gagalnya Sistem Pengawasan: Kesimpulan yang Tak Terbantahkan
Melihat uraian kondisi tersebut, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pengawasan terhadap pemerintahan desa telah mengalami kegagalan struktural dan sistemik. UU Desa yang seharusnya menjadi tonggak kebangkitan desa sebagai entitas otonom dan mandiri, justru hanya menjadi formalitas di atas kertas.
Semua ini mengindikasikan bahwa sistem yang ada gagal menjamin transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi warga dalam tata kelola desa. Padahal, prinsip-prinsip ini menjadi ruh dari semangat UU Desa itu sendiri.
Perlu tindakan korektif yang menyeluruh dan tegas dari pemerintah pusat hingga daerah. Reformasi total terhadap pola pembinaan dan pengawasan desa mendesak dilakukan. Tanpa itu, desa hanya akan menjadi instrumen politik elit dan medan kepentingan ekonomi jangka pendek yang merugikan masyarakat.
Penutup
Sebagai garda terdepan dalam pelayanan publik, desa memegang peranan vital dalam pembangunan nasional. Namun tanpa sistem pengawasan yang efektif dan transparan, desa hanya akan menjadi sumber masalah, bukan solusi.
Sudah waktunya pemerintah, DPR, dan seluruh stakeholder kembali menegaskan komitmen terhadap semangat UU Desa. Pengawasan bukan sekadar formalitas atau laporan di atas kertas, tetapi bagian dari tanggung jawab konstitusional untuk menjamin hak rakyat dalam mendapatkan pemerintahan desa yang bersih, transparan, dan berpihak pada mereka.
Redaksi: Akang Marta
Kontak: akangmarta@indramayutradisi.com
Instagram/Twitter/Facebook: @indramayutradisi.com