Ads

Ketika Kesusahan Menguji Cinta: Refleksi tentang Bertahan, Pergi, dan Realitas Hubungan

Ketika Kesusahan Menguji Cinta: Refleksi tentang Bertahan, Pergi, dan Realitas Hubungan

Oleh Akang Marta



Pernyataan bahwa perempuan akan meninggalkan laki-lakinya di saat sedang susah sering terdengar tajam, pahit, dan menyinggung. Ia seperti vonis sepihak yang seolah menyederhanakan hubungan manusia yang kompleks menjadi satu kesimpulan keras. Namun jika direnungkan lebih dalam, pernyataan ini bukan sekadar tudingan, melainkan refleksi dari banyak pengalaman, luka, dan kenyataan hidup yang tidak selalu hitam-putih.

Mari kita jujur sejak awal: tidak semua perempuan pergi saat laki-lakinya susah, dan tidak semua laki-laki ditinggalkan karena kelemahannya. Namun juga tidak bisa dipungkiri, kesusahan memang menjadi ujian paling nyata dalam sebuah hubungan. Bukan kebahagiaan, bukan keberhasilan, melainkan masa sulit—di situlah ketulusan diuji.

Kesusahan memiliki banyak wajah. Bisa berupa masalah ekonomi, kehilangan pekerjaan, kebangkrutan, sakit berkepanjangan, kegagalan usaha, atau tekanan mental yang membuat seseorang kehilangan arah. Pada fase ini, seorang laki-laki sering kali kehilangan satu hal yang selama ini dilekatkan pada identitasnya: peran sebagai penopang.

Dalam banyak budaya, termasuk budaya kita, laki-laki sejak kecil diajarkan satu narasi besar: kamu harus kuat, kamu harus bertanggung jawab, kamu harus mampu memberi. Maka ketika kondisi hidup membuatnya tidak bisa menjalankan peran itu, luka yang dirasakan bukan hanya soal materi, tetapi juga harga diri. Di saat seperti inilah hubungan diuji secara brutal.

Lalu mengapa ada perempuan yang memilih pergi?

Jawabannya tidak sesederhana “tidak setia” atau “tidak mau susah”. Banyak perempuan pergi bukan karena laki-lakinya gagal, tetapi karena tidak sanggup menghadapi situasi yang berlarut-larut tanpa arah. Ada perbedaan besar antara susah yang diperjuangkan bersama dan susah yang dibiarkan tanpa usaha.

Sebagian perempuan bertahan ketika melihat laki-lakinya jatuh, tapi masih berjuang. Masih mencoba. Masih punya harapan. Namun ketika kesusahan berubah menjadi stagnasi, ketika masalah tidak lagi dihadapi tetapi dihindari, ketika komunikasi mati dan emosi menjadi dingin, di situlah kelelahan muncul.

Perempuan juga manusia. Mereka punya batas. Mereka bisa capek. Mereka bisa takut. Banyak yang diam-diam menanggung beban emosional besar: cemas akan masa depan, memikirkan anak, menahan kecewa, sekaligus mencoba tetap kuat. Tidak semua kepergian adalah pengkhianatan; sebagian adalah upaya menyelamatkan diri.

Namun di sisi lain, tidak adil pula jika seluruh beban moral diletakkan pada perempuan. Ada banyak kisah perempuan yang bertahan di titik paling gelap: menemani suami bangkrut, merawat pasangan sakit, menunda mimpi pribadi, bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Kisah-kisah ini jarang viral, jarang dibicarakan, tapi nyata adanya.

Masalahnya, manusia cenderung mengingat luka lebih kuat daripada kesetiaan. Satu pengalaman ditinggalkan sering terasa lebih nyaring daripada sepuluh kisah bertahan. Dari situlah lahir generalisasi yang keras.

Bagi laki-laki, ditinggalkan saat susah adalah luka yang dalam. Bukan hanya kehilangan pasangan, tetapi juga kehilangan rasa aman dan kepercayaan. Luka ini sering tidak diungkapkan. Laki-laki diajarkan untuk diam, menelan, lalu berdiri lagi seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal di dalam, ada rasa gagal, marah, dan hancur yang dipendam sendirian.

Namun refleksi pentingnya adalah ini: hubungan bukan hanya tentang siapa bertahan saat susah, tetapi bagaimana cara menghadapi susah itu bersama. Bertahan tanpa komunikasi hanya melahirkan jarak. Bertahan tanpa usaha hanya memperpanjang penderitaan. Bertahan tanpa empati hanya menumpuk luka.

Kesusahan seharusnya menjadi ruang kejujuran. Di sanalah dua orang belajar saling membuka ketakutan, bukan saling mengunci diri. Laki-laki perlu belajar bahwa menunjukkan rapuh bukan tanda lemah. Perempuan perlu ruang untuk menyampaikan kelelahan tanpa dicap tidak setia.

Sering kali, yang membuat hubungan runtuh bukan kesusahan itu sendiri, tetapi kesepian di dalam kesusahan. Ketika satu pihak merasa berjuang sendirian, sementara yang lain menutup diri, cinta perlahan berubah menjadi beban.

Maka daripada saling menyalahkan, mungkin pertanyaan yang lebih jujur adalah:
apakah kita sudah membangun hubungan yang saling siap menghadapi jatuh-bangun?
apakah kita punya komunikasi yang sehat sebelum krisis datang?
apakah kita melihat pasangan sebagai rekan hidup, atau sekadar sandaran?

Perempuan yang pergi saat laki-lakinya susah tidak selalu jahat. Laki-laki yang ditinggalkan tidak selalu gagal. Keduanya sering kali adalah korban dari ekspektasi sosial, tekanan ekonomi, dan ketidakmampuan mengelola luka bersama.

Kesetiaan bukan hanya soal bertahan, tetapi juga soal tumbuh bersama. Cinta bukan sekadar janji di saat senang, tetapi kerja emosional di saat berat. Dan tidak semua orang punya kapasitas yang sama untuk itu—dan itu pun bagian dari kenyataan manusia.

Pada akhirnya, kesusahan akan selalu datang dalam hidup siapa pun. Yang membedakan hanyalah: apakah kita menghadapinya dengan keterbukaan atau dengan diam, dengan usaha atau dengan menyerah, dengan empati atau dengan ego.

Jika ada satu pelajaran dari semua ini, mungkin ini:
jangan hanya mencari pasangan yang mau bertahan saat susah, tapi jadilah pribadi yang layak diperjuangkan saat susah.
Dan jangan pula menghakimi orang yang pergi, sebelum benar-benar memahami apa yang mereka tanggung diam-diam.

Karena hubungan manusia tidak pernah sesederhana kalimat pendek. Ia penuh lapisan, luka, dan harapan yang sering tidak terlihat dari luar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel