Mengapa Banyak Perempuan Beranggapan Laki-Laki Tak Pernah Cukup dengan Satu Wanita?
Mengapa Banyak Perempuan Beranggapan Laki-Laki Tak Pernah Cukup dengan Satu Wanita?
Oleh Akang Marta
Pertanyaan mengapa banyak perempuan beranggapan bahwa laki-laki tidak pernah cukup dengan satu wanita bukanlah pertanyaan sederhana. Ia tidak lahir dari prasangka kosong, melainkan dari tumpukan pengalaman, cerita turun-temurun, realitas sosial, serta pola perilaku yang berulang kali disaksikan dalam kehidupan sehari-hari. Persepsi ini tumbuh bukan semata karena kebencian, tetapi karena luka, kekecewaan, dan rasa tidak aman yang sering kali dialami perempuan dalam relasi dengan laki-laki.
Dalam banyak kisah kehidupan, perempuan kerap menjadi pihak yang berharap pada komitmen, sementara laki-laki dianggap lebih bebas mendefinisikan cinta dan kesetiaan. Ketika relasi berjalan baik, perempuan sering menaruh seluruh kepercayaan pada pasangannya. Namun, saat kepercayaan itu runtuh karena pengkhianatan, perselingkuhan, atau ketidakjujuran, luka tersebut jarang sembuh sepenuhnya. Dari satu pengalaman ke pengalaman lain, terbentuklah generalisasi: bahwa laki-laki, pada akhirnya, akan mencari perempuan lain.
Pandangan ini diperkuat oleh realitas sosial yang secara terbuka atau diam-diam menormalisasi perilaku tersebut. Dalam banyak budaya, termasuk di lingkungan masyarakat kita, laki-laki yang memiliki lebih dari satu pasangan sering kali tidak mendapat sanksi sosial yang sepadan. Bahkan, ada kalanya hal itu justru dianggap sebagai simbol kejantanan, keberhasilan, atau “wajar karena laki-laki.” Sebaliknya, perempuan yang melakukan hal serupa langsung dicap buruk, tidak bermoral, atau gagal menjaga harga diri. Ketimpangan standar inilah yang menanamkan kecurigaan dalam benak perempuan.
Media juga memainkan peran besar dalam membentuk persepsi tersebut. Film, sinetron, lagu, hingga konten media sosial kerap menggambarkan laki-laki sebagai sosok yang mudah tergoda, sulit setia, dan selalu memiliki “pilihan lain.” Cerita tentang perselingkuhan laki-laki jauh lebih sering diangkat dibandingkan kisah kesetiaan yang tenang dan sederhana. Tanpa disadari, narasi ini meresap ke alam bawah sadar dan membentuk keyakinan kolektif bahwa ketidaksetiaan laki-laki adalah sesuatu yang hampir tak terhindarkan.
Pengalaman personal perempuan juga sangat berpengaruh. Banyak perempuan tumbuh dengan menyaksikan ayah yang tidak setia, paman yang berganti pasangan, atau tetangga yang rumah tangganya hancur karena pihak laki-laki. Bahkan jika ia sendiri belum pernah mengalami pengkhianatan, cerita-cerita di sekitarnya sudah cukup kuat untuk membangun tembok kewaspadaan. Ketika pengalaman pribadi bertemu dengan pengalaman kolektif, lahirlah asumsi yang sulit dipatahkan.
Selain itu, relasi kuasa dalam hubungan juga berperan besar. Dalam banyak kasus, perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih lemah secara ekonomi, sosial, atau emosional. Ketergantungan ini membuat perempuan merasa harus selalu waspada: takut ditinggalkan, takut dibandingkan, takut digantikan. Ketakutan ini kemudian diterjemahkan menjadi keyakinan bahwa laki-laki selalu ingin lebih, selalu mencari alternatif, dan jarang merasa puas.
Namun, tidak adil pula jika persepsi ini dilepaskan dari cara sebagian laki-laki memaknai komitmen. Ada laki-laki yang belum selesai dengan dirinya sendiri, tetapi sudah masuk ke dalam hubungan. Ada yang menjadikan relasi sebagai tempat pelarian, bukan sebagai ruang tanggung jawab. Ketika muncul masalah, bukannya memperbaiki, mereka justru mencari kenyamanan di tempat lain. Pola inilah yang memperkuat anggapan bahwa satu perempuan tidak pernah cukup.
Di sisi lain, perlu juga diakui bahwa tidak semua laki-laki seperti itu. Banyak laki-laki yang setia, konsisten, dan berkomitmen penuh pada satu perempuan. Sayangnya, mereka sering kali tidak terlihat karena tidak menimbulkan drama. Kesetiaan jarang menjadi berita, sementara pengkhianatan selalu menarik perhatian. Akibatnya, narasi tentang laki-laki baik kalah bising dibandingkan cerita tentang laki-laki yang mengecewakan.
Persepsi perempuan juga sering kali lahir dari mekanisme bertahan hidup secara emosional. Dengan meyakini bahwa laki-laki cenderung tidak setia, perempuan merasa lebih siap menghadapi kemungkinan terburuk. Ini bukan bentuk kebencian, melainkan cara melindungi diri dari rasa sakit yang terlalu dalam. Dalam logika ini, lebih baik bersikap curiga daripada terlalu percaya lalu hancur.
Namun, generalisasi semacam ini juga membawa dampak negatif. Ia dapat menciptakan relasi yang penuh kecurigaan, mengikis kepercayaan, dan membuat hubungan berjalan dengan beban prasangka. Laki-laki yang sebenarnya tulus bisa merasa tidak pernah cukup dipercaya, sementara perempuan terus hidup dalam ketakutan yang belum tentu akan terjadi. Hubungan pun berubah dari ruang tumbuh bersama menjadi arena saling mengawasi.
Pada akhirnya, anggapan bahwa laki-laki tidak pernah cukup dengan satu wanita adalah hasil dari pertemuan banyak faktor: pengalaman pribadi, realitas sosial, konstruksi budaya, serta pola relasi yang timpang. Ia tidak lahir dari kehampaan, tetapi juga tidak sepenuhnya benar jika diterapkan secara mutlak. Yang dibutuhkan bukan saling menyalahkan, melainkan keberanian untuk membangun relasi yang lebih jujur, setara, dan bertanggung jawab.
Kesetiaan sejatinya bukan soal jenis kelamin, melainkan soal karakter, kedewasaan, dan nilai yang dipegang seseorang. Ketika laki-laki dan perempuan sama-sama belajar memanusiakan manusia, menghargai komitmen, dan bertanggung jawab atas pilihannya, maka anggapan-anggapan pahit semacam ini perlahan bisa dipatahkan. Bukan dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata yang konsisten.
Karena pada akhirnya, satu orang yang setia dengan sungguh-sungguh jauh lebih bermakna daripada seribu janji yang mudah diucapkan, tetapi mudah pula dikhianati.
