Ads

Suami Minta Dekat Tapi Ditolak: Pernah Mengalami atau Diam-Diam Menyimpan Luka?

Suami Minta Dekat Tapi Ditolak: Pernah Mengalami atau Diam-Diam Menyimpan Luka?

Oleh Akang Marta



“Suami minta dekat tapi ditolak.” Kalimat ini terdengar sederhana, bahkan bagi sebagian orang mungkin dianggap sepele. Namun bagi banyak pasangan, terutama dalam kehidupan rumah tangga, kalimat ini menyimpan lapisan emosi yang dalam: kecewa, bingung, marah, bahkan rasa ditolak sebagai manusia. Pertanyaannya bukan hanya pernah atau tidak pernah mengalami, melainkan apakah kita benar-benar memahami makna di balik penolakan itu.

Dalam banyak rumah tangga, kedekatan fisik sering dianggap sebagai bahasa cinta utama seorang suami. Ketika suami mendekat, bukan sekadar soal hasrat, tetapi juga tentang ingin merasa diinginkan, diterima, dan dianggap penting. Maka ketika kedekatan itu ditolak, sebagian suami tidak hanya merasa ditolak secara fisik, tetapi juga secara emosional. Ada rasa seolah-olah dirinya tidak lagi cukup, tidak lagi menarik, atau tidak lagi dibutuhkan.

Namun, dari sudut pandang istri, penolakan sering kali bukan tanpa alasan. Ada kelelahan yang menumpuk, ada beban mental yang tak terlihat, ada luka batin yang belum sembuh, atau ada rasa tidak dihargai yang sudah lama dipendam. Dalam kondisi seperti ini, permintaan “dekat” bisa terasa seperti tuntutan, bukan ajakan penuh kasih. Istri bukan menolak suaminya, melainkan menolak situasi yang membuat dirinya merasa tidak aman secara emosional.

Masalahnya, banyak pasangan tidak pernah benar-benar membicarakan hal ini dengan jujur. Suami memilih diam dan memendam rasa kecewa, sementara istri memilih menghindar dan menyimpan alasan sendiri. Diam-diam ini perlahan berubah menjadi jarak. Jarak yang awalnya hanya fisik, lalu merambat ke emosional, dan pada akhirnya menjadi keterasingan dalam satu rumah.

Dalam budaya kita, isu ini sering dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Suami merasa gengsi mengakui bahwa dirinya ditolak oleh istri. Istri merasa bersalah jika harus menjelaskan bahwa ia lelah, tidak mood, atau sedang terluka. Akibatnya, keduanya terjebak dalam asumsi. Suami mengira istrinya tidak cinta lagi, sementara istri mengira suaminya hanya memikirkan kebutuhan sendiri.

Padahal, kedekatan dalam pernikahan tidak pernah berdiri sendiri. Ia sangat dipengaruhi oleh kualitas komunikasi, rasa aman, dan penghargaan satu sama lain. Seorang istri yang merasa didengar, dibantu, dan dihargai sepanjang hari, biasanya lebih mudah membuka diri untuk kedekatan di malam hari. Sebaliknya, istri yang seharian merasa sendirian mengurus rumah, anak, dan beban mental, akan sulit merasa dekat meski secara fisik berada di samping suaminya.

Penolakan juga sering muncul ketika ada konflik yang belum selesai. Kata-kata kasar, sikap meremehkan, atau kebiasaan suami yang mengabaikan perasaan istri bisa menjadi tembok tak terlihat. Tembok ini tidak runtuh hanya dengan sentuhan, tetapi dengan empati dan perubahan sikap. Bagi istri, kedekatan fisik tanpa kedekatan emosional justru terasa hampa, bahkan menyakitkan.

Di sisi lain, penolakan yang terus-menerus tanpa komunikasi juga berbahaya. Suami tetap manusia yang memiliki kebutuhan emosional dan biologis. Jika ia terus merasa ditolak tanpa penjelasan, luka itu bisa berubah menjadi amarah, frustrasi, atau bahkan mendorongnya mencari pelarian di luar rumah. Bukan untuk membenarkan, tetapi untuk memahami bahwa luka yang tidak dibicarakan sering mencari jalan keluar sendiri.

Ironisnya, banyak pasangan sebenarnya saling mencintai, tetapi gagal saling memahami. Suami ingin dekat sebagai bentuk cinta, istri ingin dipahami sebagai bentuk kasih. Keduanya benar, tetapi berjalan di jalur yang berbeda. Tanpa jembatan komunikasi, keduanya hanya akan saling menuduh dalam diam.

Pernah mengalami situasi ini? Jika pernah, mungkin Anda tahu rasanya tidur di satu ranjang tetapi merasa sendirian. Anda tahu rasanya ingin bicara tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. Anda tahu rasanya ingin dekat tetapi takut ditolak, atau ingin menolak tetapi takut melukai. Inilah dilema yang dialami banyak pasangan, namun jarang diakui.

Solusinya bukan siapa yang paling benar, melainkan siapa yang berani memulai dialog. Suami perlu belajar bertanya, bukan menuntut. Istri perlu belajar jujur, bukan menghindar. Kedekatan bukan kewajiban sepihak, tetapi hasil dari rasa aman yang dibangun bersama. Kadang yang dibutuhkan bukan sentuhan, tetapi perhatian kecil, bantuan nyata, dan kata-kata yang menenangkan.

Pernikahan bukan tentang selalu siap, selalu mau, atau selalu sempurna. Pernikahan adalah tentang saling memahami dalam kondisi terbaik maupun terburuk. Ketika suami ditolak, bukan berarti ia tidak dicintai. Ketika istri menolak, bukan berarti ia tidak setia. Bisa jadi keduanya hanya sama-sama lelah dan tidak tahu cara saling merangkul dengan bahasa yang tepat.

Pada akhirnya, kedekatan sejati dalam pernikahan lahir dari rasa dihargai sebagai manusia, bukan sekadar pasangan. Ketika suami merasa dihormati dan istri merasa dimengerti, kedekatan akan datang dengan sendirinya, tanpa diminta, tanpa ditolak. Karena cinta yang dewasa tidak memaksa, tetapi mengundang dengan penuh pengertian.

Dan mungkin, pertanyaan yang lebih penting bukan “pernah ngalamin atau tidak?”, melainkan “sudahkah kita cukup berani untuk saling mendengarkan sebelum jarak itu menjadi terlalu jauh?”.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel