Catatan Refleksiku Akhir Tahun 2025 Tentang Demam Bumi dan Kesadaran Manusia
Catatan Refleksiku Akhir Tahun 2025 Tentang Demam Bumi dan Kesadaran Manusia
Oleh Akang Marta
Mari kita jujur, tanpa romantisasi dan tanpa drama berlebihan. Planet bumi ini tidak sedang membutuhkan kita sebagai penyelamat. Ia tidak tergeletak sekarat menunggu uluran tangan manusia. Justru sebaliknya, kitalah yang sedang berada di posisi rapuh. Kitalah yang butuh diselamatkan. Bumi akan tetap ada, dengan atau tanpa manusia. Ia telah hidup miliaran tahun sebelum kita lahir, dan besar kemungkinan akan tetap berputar lama setelah kita punah.
Apa yang sedang terjadi hari ini kenaikan suhu, cuaca ekstrem, banjir, badai, topan, kekeringan bukanlah tanda kematian bumi. Itu adalah tanda respons. Seperti tubuh manusia yang demam ketika terserang virus, bumi sedang meningkatkan suhunya untuk menyeimbangkan diri. Dalam metafora yang mungkin pahit namun jujur, manusialah virus itu.
Ketika virus masuk ke tubuh manusia, sistem imun bekerja. Tubuh tidak bernegosiasi dengan virus. Ia tidak meminta izin. Ia melawan. Demam bukan musuh, demam adalah mekanisme penyembuhan. Maka hujan lebat, banjir bandang, badai dahsyat, dan perubahan iklim ekstrem bisa dipahami sebagai respons imun bumi. Bukan hukuman, bukan kutukan, tetapi proses detoksifikasi.
Bumi ini tidak sedang sekarat. Ia sedang membersihkan dirinya. Dan yang sedang disaring adalah kita, perilaku kita, keserakahan kita, pola hidup kita yang rakus dan tidak seimbang. Kita menebang hutan lebih cepat daripada hutan mampu tumbuh kembali. Kita mengambil lebih banyak daripada yang kita kembalikan. Kita membuang tanpa memikirkan ke mana perginya. Kita hidup seolah-olah bumi ini tidak punya batas.
Sejarah sudah berkali-kali memberi peringatan. Dalam berbagai catatan peradaban baik yang tertulis dalam kitab-kitab kuno Sumeria, kisah Anunaki, cerita banjir besar Nabi Nuh dalam kitab suci agama-agama samawi, hingga fakta ilmiah tentang punahnya dinosaurus bumi pernah “mengatur ulang” kehidupan. Bukan karena ia kejam, tetapi karena keseimbangan terganggu terlalu jauh.
Jika manusia terus bersikeras menjadi virus, maka hasil akhirnya dapat ditebak. Virus yang tidak mau berubah akan dimusnahkan oleh sistem imun. Bumi tidak perlu berperang dengan senjata. Ia cukup mengubah kondisi agar manusia tidak lagi mampu bertahan. Dan jujur saja, manusia tidak pernah benar-benar menang melawan alam. Kita hanya bertahan selama alam masih mengizinkan.
Maka pertanyaannya bukan lagi bagaimana menyelamatkan bumi. Pertanyaannya adalah: apakah manusia mampu berevolusi cukup cepat untuk menyelamatkan dirinya sendiri? Apakah kita mau menurunkan ego, menahan keserakahan, dan hidup lebih selaras?
Perubahan itu tidak harus heroik. Ia tidak selalu besar. Justru ia dimulai dari hal-hal kecil, dari kesadaran sehari-hari. Dari cara kita mengonsumsi. Dari keberanian untuk mengatakan “cukup”. Mengonsumsi secukupnya. Memilih kualitas daripada kuantitas. Setiap keputusan membeli adalah suara. Setiap rupiah yang kita keluarkan adalah “vote” tentang dunia seperti apa yang ingin kita dukung.
Makanan yang kita beli, barang yang kita pilih, plastik yang kita gunakan—semuanya punya dampak. Sistem kompos, misalnya, adalah pelajaran sederhana dari alam. Sisa makanan tidak harus menjadi sampah. Ia bisa kembali menjadi tanah. Sisa hidup bisa kembali menjadi sumber kehidupan. Alam tidak mengenal konsep limbah. Yang ada hanyalah siklus.
Mengurangi plastik bukan sekadar tren, tetapi tindakan sadar. Mengganti kantong plastik dengan tas kain, botol sekali pakai dengan botol minum, sedotan plastik dengan sedotan ramah lingkungan—itu bukan soal kesempurnaan. Itu soal partisipasi. Kita tidak sedang berlomba menjadi manusia paling suci, tetapi manusia yang mau bertanggung jawab.
Namun perubahan tidak berhenti pada konsumsi. Tubuh kita juga perlu dihubungkan kembali dengan bumi. Gunakan tangan untuk menyentuh tanah. Tanam sesuatu, apa pun itu. Tidak perlu kebun luas. Satu tanaman herbal di pot pun sudah cukup. Gunakan kaki untuk menapak tanah. Grounding. Mengingatkan sistem saraf bahwa kita bagian dari alam, bukan penguasanya.
Menyentuh tanah adalah praktik sederhana yang sering diremehkan. Padahal di sanalah empati dilatih. Di sanalah kesadaran tumbuh. Kita belajar sabar menunggu tanaman tumbuh. Kita belajar bahwa kehidupan butuh waktu, perawatan, dan perhatian. Kita belajar bahwa tidak semua bisa dipercepat.
Bicarakan kesadaran ini pada orang-orang terdekat. Pada keluarga, sahabat, teman. Bukan dengan rasa takut atau rasa bersalah, tetapi dengan cinta. Undang mereka terlibat dalam aksi kecil. Menanam bersama. Mengurangi sampah bersama. Berbagi cerita. Jangan menunggu sempurna untuk memulai. Mulailah, lalu belajar di perjalanan.
Menanam pohon-pohon pelindung, pohon buah, tanaman pangan, tanaman hias adalah investasi jangka panjang. Tetapi menanam saja tidak cukup. Lindungi. Rawat. Pastikan ia tumbuh. Ini bukan sekadar aktivitas ekologis, tetapi latihan kesetiaan. Mengajarkan manusia untuk tidak hanya memulai, tetapi juga bertahan.
Apa yang kita lakukan ini sejatinya adalah upaya menurunkan “inflamasi” bumi. Seperti tubuh manusia yang sembuh dengan pola hidup seimbang, dengan jahe, kunyit, dan bahan alami, bumi pun sembuh ketika kita berhenti menjadi beban. Ketika kita kembali menjadi bagian ekosistem, bukan parasitnya.
Kita harus menerima satu kebenaran pahit namun membebaskan: manusia tidak akan pernah lebih kuat dari bumi. Ketika bumi muak, tidak ada teknologi yang bisa menyelamatkan kita. Yang bisa menyelamatkan kita hanyalah perubahan sikap.
Planet bumi tidak butuh lebih banyak rasa bersalah. Ia butuh lebih banyak penjaga. Penjaga yang sadar bahwa kita bukan di atas alam, tetapi di dalamnya. Penjaga yang tidak melempar tanggung jawab ke generasi berikutnya, ke pemerintah, atau ke siapa pun. Ini tugas kita, sekarang.
Maka afirmasi ini terasa penting untuk dipegang: aku hidup selaras dengan bumi. Aku menyembuhkan diriku sendiri. Dan dengan melakukan itu, aku membantu menyembuhkan dunia. Bukan sebagai slogan kosong, tetapi sebagai komitmen hidup.
Karena obat dari demam bumi itu ada di tangan kita. Dan lebih dalam lagi, ia ada di hati kita.
Bismillah. Peace.
