Anak Kecil, Layar Besar, dan Nilai yang Diam-Diam Hilang
Anak Kecil, Layar Besar, dan Nilai yang Diam-Diam Hilang
Ada satu kekurangan bangsa ini yang jarang dibahas dengan nada serius, padahal dampaknya panjang dan senyap: tontonan anak-anak. Kita sering ribut soal kurikulum, ujian nasional, atau moral generasi muda, tetapi lupa satu hal mendasar—apa yang setiap hari mereka tonton, dengar, dan serap tanpa filter.
Dulu, kita punya Si Unyil.
Sebuah tontonan sederhana, dengan visual yang mungkin kalah jauh dari animasi modern, tapi kaya nilai. Si Unyil tidak mengajarkan anak-anak untuk jadi pahlawan super. Ia hanya mengajarkan cara hidup sebagai manusia kecil di tengah masyarakat. Ada Pak Raden yang cerewet tapi peduli. Ada Bu Bariah yang menasihati. Ada teguran, ada konsekuensi, ada pelajaran tentang sopan santun, gotong royong, dan hidup bermasyarakat.
Si Unyil tidak mengajak anak kabur dari rumah.
Tidak mengajak melawan orang tua.
Tidak mengajarkan bahwa semua masalah bisa selesai dengan teriakan atau pukulan.
Ia mengajarkan hal yang sekarang terasa langka: kedewasaan pelan-pelan.
Hari ini, layar anak-anak kita dipenuhi Dora, Spongebob, dan Masha and the Bear. Tidak salah sepenuhnya. Animasi itu kreatif, lucu, dan secara teknis jauh lebih canggih. Tapi di balik warna cerah dan tawa instan, ada pertanyaan penting yang jarang kita ajukan: nilai apa yang sedang ditanamkan?
Mari kita jujur.
Dora, anak usia enam tahun, hobinya kelayapan.
Tidak pernah terlihat mengerjakan PR.
Pergi ke mana-mana tanpa izin orang tua.
Bertanya arah pada penonton, lalu pergi begitu saja.
Bayangkan jika Dora lahir di gang sempit Indonesia.
Baru keluar rumah lima menit, sudah dicari ibu-ibu kompleks.
“Anak siapa itu? Kok muter-muter sendiri?”
Tapi di layar, itu dianggap petualangan.
Di dunia nyata, itu kelalaian.
Lalu Spongebob.
Karakter yang absurd, hiperaktif, dan sering kali tidak punya batas logika. Untuk orang dewasa, ini hiburan. Untuk anak-anak, ini bisa menjadi normalisasi perilaku tidak realistis. Tertawa berlebihan, kerja tanpa tanggung jawab, dan konflik tanpa konsekuensi.
Dan Masha.
Ah, Masha.
Anak umur tiga tahun, hidup di hutan, berantem dengan beruang dewasa, merusak rumah, membuat kekacauan, lalu semua berakhir dengan tawa. Tidak ada teguran. Tidak ada refleksi. Tidak ada pelajaran bahwa tindakan punya akibat.
Ini bukan sekadar soal kartun.
Ini soal pesan yang masuk pelan-pelan ke alam bawah sadar anak-anak kita.
Anak-anak belajar bukan dari ceramah, tapi dari contoh.
Dan tontonan adalah contoh paling konsisten yang mereka terima.
Masalahnya, kita sering berdalih, “Ah, namanya juga kartun.”
Padahal justru karena ia kartun, ia masuk tanpa perlawanan. Anak tidak memfilter. Mereka meniru. Mereka menganggap itu wajar. Mereka belajar bahwa dunia tidak punya batas yang jelas.
Dulu, Si Unyil hidup di lingkungan sosial yang realistis.
Ada tetangga.
Ada orang tua.
Ada norma.
Sekarang, banyak tontonan anak justru memotong konteks sosial. Anak menjadi pusat segalanya. Ia selalu benar. Ia selalu lucu. Kekacauan yang ia buat selalu dimaafkan.
Tanpa disadari, kita sedang membesarkan generasi yang akrab dengan konsep: aku bebas, aku pusat cerita, dan dunia menyesuaikan denganku.
Lalu kita heran, kenapa anak-anak sekarang sulit diatur.
Kenapa sedikit ditegur langsung tantrum.
Kenapa tidak sabar, tidak mau menunggu, dan sulit menerima batasan.
Padahal sejak kecil, mereka jarang melihat batasan itu di layar.
Ini bukan nostalgia buta.
Ini refleksi jujur.
Teknologi maju, tapi nilai tidak otomatis ikut naik. Animasi boleh canggih, cerita boleh global, tapi konteks lokal dan nilai sosial tetap penting. Anak Indonesia hidup di masyarakat yang punya norma, punya struktur keluarga, punya budaya saling mengingatkan.
Sayangnya, tontonan mereka sering datang dari budaya yang sangat individualistik. Anak diajarkan mandiri tanpa konteks sosial. Berani tanpa tanggung jawab. Bebas tanpa batas.
Bukan berarti kita harus menutup diri dari tontonan luar. Bukan. Tapi kita butuh penyeimbang. Kita butuh cerita anak yang membumi. Yang mengenalkan kehidupan sehari-hari anak Indonesia. Yang menunjukkan bahwa petualangan terbesar bukan keliling dunia sendirian, tapi belajar hidup bersama orang lain.
Di sinilah kegagalan kita sebagai bangsa terasa pelan tapi dalam.
Kita terlalu sibuk mengejar rating dan tren, tapi lupa membangun ekosistem tontonan anak yang sehat. Film anak lokal minim. Animasi edukatif kalah promosi. Cerita sederhana kalah pamor.
Padahal dampaknya jauh lebih besar daripada yang kita kira.
Anak-anak hari ini adalah orang dewasa besok.
Dan apa yang mereka anggap normal hari ini, akan menjadi nilai hidup mereka nanti.
Jika sejak kecil mereka melihat bahwa berbuat onar itu lucu, melanggar aturan itu wajar, dan tidak ada konsekuensi yang nyata, jangan heran jika kelak mereka tumbuh dengan sikap serupa di dunia nyata.
Ini bukan menyalahkan anak.
Ini tanggung jawab kita semua.
Orang tua, pendidik, pembuat kebijakan, dan industri hiburan punya peran. Bukan untuk menggurui, tapi untuk menyadari bahwa tontonan bukan sekadar hiburan. Ia adalah guru diam-diam.
Mungkin kita tidak perlu kembali sepenuhnya ke masa lalu. Tapi kita bisa belajar darinya. Dari Si Unyil yang sederhana, tapi jujur. Dari cerita yang pelan, tapi bermakna. Dari nilai yang tidak teriak, tapi menetap.
Karena bangsa yang besar bukan hanya diukur dari tambang dan gedung tinggi, tapi dari bagaimana ia membesarkan anak-anaknya—bahkan dari apa yang mereka tonton sebelum tidur.