Ads

Nada-Nada Polos yang Diam-Diam Mengajari Kita Berpikir Absurd

Nada-Nada Polos yang Diam-Diam Mengajari Kita Berpikir Absurd

Ditulis oleh: Akang Marta



Selain tontonan, ada satu lagi warisan masa kecil yang jarang kita kritisi, padahal kita hafal di luar kepala: lagu anak-anak. Lagu-lagu ini kita nyanyikan sejak TK, SD, bahkan sampai sekarang masih muncul di acara-acara resmi, lomba tujuhbelasan, dan nostalgia media sosial. Kita menyanyikannya dengan senyum, tanpa pernah benar-benar bertanya: masuk akal tidak sih isinya?

Sebagai anak kecil, kita tentu menerimanya mentah-mentah. Guru menyuruh menyanyi, kita menyanyi. Orang tua ikut tepuk tangan, kita tambah semangat. Lagu anak dianggap suci, polos, dan tidak perlu dipertanyakan. Padahal justru karena ia polos, ia lolos dari kritik.

Mari kita mulai dari lagu legendaris: Burung Kutilang.

Liriknya indah.
“Di pucuk pohon cemara, burung kutilang berbunyi…”
Bersiul-siul sepanjang hari, dengan tak jemu-jemu.

Masalahnya sederhana tapi mengganggu logika:
burung kutilang di dunia nyata tidak seperti itu.

Banyak orang Indonesia pernah memelihara burung. Ada yang serius, ada yang sekadar coba-coba. Tapi fakta di lapangan menunjukkan satu hal: burung kutilang bukan tipe burung yang bersiul sepanjang hari. Bahkan ada yang dipelihara bertahun-tahun, tidak bunyi apa-apa. Diam. Sunyi. Kontemplatif.

Lalu muncul pertanyaan yang tidak pernah diajarkan di sekolah:
apakah lagu ini hiperbola, atau kita yang salah beli burung?

Sebagai anak kecil, kita tentu tidak bertanya sejauh itu. Kita menyanyi saja. Tapi secara tidak sadar, kita belajar satu pola berpikir: kata-kata indah tidak harus sesuai realitas. Yang penting enak didengar, logika belakangan.

Lanjut ke lagu yang lebih kosmik: Bintang Kecil.

“Bintang kecil di langit yang biru…”

Coba berhenti sebentar.
Tarik napas.
Lihat ke atas malam ini.

Langit biru di mana?

Malam hari langit itu hitam. Gelap. Pekat. Biru hanya muncul di siang hari, dan di siang hari bintang tidak kelihatan. Sejak kecil kita diajarkan paradoks visual, dan kita menerimanya tanpa protes.

Anak kecil menyanyi dengan penuh keyakinan, padahal secara astronomi, ia sedang mengucapkan hal yang tidak sinkron dengan realitas.

Lagi-lagi, ini bukan soal salah atau benar. Ini soal kebiasaan. Kita dibiasakan untuk tidak mempertanyakan ketidaksesuaian antara kata dan kenyataan. Lagu anak mengajarkan kita bahwa keindahan boleh mengalahkan akurasi.

Dan kebiasaan ini tidak berhenti di lagu. Ia merembes ke cara berpikir dewasa.

Sekarang kita masuk ke lagu paling problematik secara agraris: Menanam Jagung.

“Cangkul-cangkul yang dalam,
menanam jagung di kebun kita.”

Siapa pun yang pernah ke desa, atau setidaknya melihat petani menanam jagung, tahu bahwa ini keliru. Jagung tidak ditanam dengan cangkul yang dalam. Itu bukan teknik bertani, itu teknik pemakaman.

Jagung cukup dilubangi kecil, dimasukkan benih, lalu ditutup tanah. Kalau dicangkul dalam-dalam, yang ditanam bukan jagung, tapi kenangan.

Namun lagu ini dinyanyikan dengan penuh semangat, seolah-olah kerja tani adalah aktivitas ekstrem yang membutuhkan tenaga luar biasa. Anak-anak kota pun tumbuh dengan gambaran bahwa bertani itu berat, kotor, dan penuh penderitaan.

Padahal kenyataannya, bertani adalah ilmu. Ada teknik, ada ukuran, ada ketelitian. Lagu anak justru mereduksinya menjadi kerja fisik tanpa logika.

Lucunya, lagu ini dianggap lagu pendidikan. Diajarkan di sekolah, dinyanyikan massal, bahkan sering dijadikan contoh kecintaan pada alam dan pertanian. Tapi isi pesannya sendiri tidak akurat.

Sekali lagi, masalahnya bukan lagunya jahat. Masalahnya adalah kita tidak pernah mengoreksi.

Lagu-lagu ini terus diwariskan tanpa refleksi. Kita mengajarkannya pada anak-anak dengan asumsi: “Ini kan lagu anak, santai saja.” Padahal dari hal-hal kecil inilah pola berpikir terbentuk.

Anak-anak belajar bahwa sesuatu boleh tidak masuk akal selama dinyanyikan bersama-sama. Bahwa logika bisa dikesampingkan demi tradisi. Bahwa bertanya terlalu jauh dianggap tidak perlu.

Tidak heran jika kelak, sebagai orang dewasa, kita sering bingung membedakan mana metafora, mana fakta. Mana simbol, mana kenyataan. Kita tumbuh dalam budaya yang akrab dengan absurditas sejak kecil, tapi jarang diajak membedahnya.

Namun di sisi lain, ada juga keindahan dalam absurditas ini. Lagu-lagu anak Indonesia mencerminkan jiwa bangsa yang imajinatif, puitis, dan tidak kaku. Kita bangsa yang tidak selalu kering oleh logika. Kita suka bermain kata, suka berandai-andai, dan suka membungkus kenyataan dengan lirik.

Masalah muncul ketika imajinasi tidak diimbangi dengan penjelasan. Ketika simbol tidak pernah diterangkan sebagai simbol. Anak-anak akhirnya bingung membedakan mana dunia lagu dan mana dunia nyata.

Seharusnya, lagu anak bisa menjadi pintu diskusi.
“Kenapa burung kutilang di lagu berbeda dengan burung asli?”
“Kenapa langit malam tidak biru?”
“Bagaimana sebenarnya cara menanam jagung?”

Tapi diskusi itu jarang terjadi. Lagu berhenti di nyanyian, tidak berlanjut ke pemahaman.

Padahal jika kita mau sedikit saja mengembangkan lagu-lagu ini, mereka bisa menjadi alat pendidikan yang luar biasa. Bukan dengan menghapusnya, tapi dengan mengontekstualkannya.

Karena lagu anak bukan sekadar hiburan. Ia adalah memori kolektif. Ia adalah cara pertama anak-anak mengenal dunia dengan irama. Dan irama yang mereka dengar sejak kecil akan memengaruhi cara mereka melihat realitas.

Bangsa ini kaya budaya, kaya kreativitas, dan kaya imajinasi. Tapi kekayaan itu perlu diolah dengan kesadaran. Jangan sampai kita bangga pada warisan, tapi lupa memperbaiki isinya.

Mungkin sudah saatnya kita menulis ulang lagu anak. Bukan untuk menghilangkan keindahan, tapi untuk mendekatkannya pada kebenaran. Agar anak-anak kita tidak hanya pandai bernyanyi, tapi juga pandai berpikir.

Karena masa depan bangsa tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka pelajari di buku, tapi juga oleh apa yang mereka nyanyikan dengan polos—tanpa tahu bahwa di balik nadanya, ada logika yang seharusnya ikut tumbuh.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel