Ads

Demokrasi yang Mati, Rakyat yang Disalahkan: Antara Kritik, Tanggung Jawab, dan Jalan Keluar

Demokrasi yang Mati, Rakyat yang Disalahkan: Antara Kritik, Tanggung Jawab, dan Jalan Keluar

Ditulis oleh: Akang Marta



“Demokrasi mati.” Kalimat ini belakangan sering muncul di linimasa media sosial, forum diskusi, hingga obrolan warung kopi. Nada sinis bercampur getir. Ada yang mengucapkannya dengan kemarahan, ada pula yang mengatakannya sambil tertawa kecil, seolah pasrah. Namun muncul pula pertanyaan balik yang tak kalah tajam: emang iya demokrasi baru mati sekarang? Bukannya sudah sepuluh tahun? Kalau memang sudah mati sejak lama, kenapa baru ramai sekarang? Dan ketika kritik mengarah pada pajak—bahkan sampai wacana rakyat tak perlu membayar pajak—pertanyaan lanjutan pun muncul: solusinya apa, dan siapa yang bertanggung jawab?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting. Karena demokrasi bukan sekadar slogan, bukan pula sekadar bahan meme atau gambar satire. Demokrasi adalah sistem hidup yang dampaknya langsung dirasakan: dari kebijakan publik, pajak, pelayanan negara, hingga rasa keadilan. Maka membicarakan “kematian demokrasi” tanpa membedah makna, sebab, dan konsekuensinya hanya akan berujung pada kegaduhan, bukan perubahan.

Jika kita jujur, demokrasi di Indonesia memang tidak mati mendadak. Ia tidak roboh dalam satu malam. Yang terjadi adalah proses pelapukan perlahan. Sepuluh tahun terakhir memperlihatkan gejala yang konsisten: pelemahan oposisi, penguatan oligarki politik, penyempitan ruang kritik, serta normalisasi penggunaan kekuasaan untuk meredam perbedaan. Dalam rentang waktu itu pula, partai-partai besar—termasuk PDIP—berada di pusat kekuasaan. Maka wajar jika publik bertanya: kenapa baru sekarang ribut?

Jawabannya mungkin sederhana sekaligus pahit: karena dampaknya kini semakin terasa langsung. Ketika parlemen tak lagi menjadi arena debat ide, ketika hampir semua partai berada dalam satu gerbong kekuasaan, ketika kritik dianggap ancaman, dan ketika hukum terasa tumpul ke atas tapi tajam ke bawah, barulah banyak orang sadar bahwa ada yang tidak beres. Demokrasi yang dulu terasa “masih bisa ditoleransi cacatnya”, kini terasa sesak untuk bernapas.

Namun di titik ini, kritik saja tidak cukup. Di sinilah muncul sindiran: kalau rakyat berhak nggak bayar pajak, kasih solusi dong caranya gimana, dan mau bertanggung jawab nggak? Sindiran ini sebenarnya mengandung kegelisahan yang sah. Pajak adalah tulang punggung negara. Jalan, sekolah, rumah sakit, subsidi—semuanya bergantung pada pajak. Menyerukan boikot pajak tanpa peta jalan yang jelas bukan hanya utopis, tapi juga berbahaya bagi masyarakat luas, terutama kelompok rentan.

Di sinilah sering terjadi kekeliruan dalam diskursus publik. Kritik terhadap negara dianggap otomatis sebagai ajakan pembangkangan total. Padahal kritik terhadap pengelolaan pajak berbeda dengan penolakan membayar pajak. Rakyat berhak mempertanyakan ke mana pajak mereka pergi, bagaimana transparansinya, siapa yang menikmati paling besar, dan siapa yang menanggung beban paling berat. Namun mempertanyakan bukan berarti menghindar dari tanggung jawab sipil.

Masalahnya, negara sering kali gagal membedakan kritik konstruktif dengan ancaman. Alih-alih menjawab dengan data dan transparansi, negara memilih defensif. Kritik dibalas dengan stigmatisasi: anti-pemerintah, pembuat gaduh, bahkan anti-negara. Dalam iklim seperti ini, wajar jika sebagian warga menjadi sinis dan berkata, “ngomong doang mah gampang, bikin gambar juga semua bisa.”

Ya, memang benar. Bicara dan membuat gambar kritik memang relatif mudah. Tapi jangan remehkan makna simbolik dan politik dari ekspresi itu. Dalam sejarah, perubahan besar sering dimulai dari kata-kata, pamflet, karikatur, dan diskusi. Masalahnya bukan pada kritik visual atau verbal, melainkan pada keberlanjutan dan kedalaman gerakan setelah kritik itu disampaikan.

Demokrasi tidak mati karena kritik terlalu banyak. Demokrasi justru mati ketika kritik dianggap berlebihan, tidak perlu, atau berbahaya. Ketika rakyat diminta diam dan “percaya saja pada penguasa”, di situlah demokrasi mulai kehilangan nyawanya. Dalam konteks ini, menyalahkan rakyat karena “cuma bisa ngomong” juga tidak sepenuhnya adil. Sebab ruang partisipasi formal makin sempit, sementara jalur aspirasi sering berujung buntu.

Namun demikian, kritik publik juga harus bercermin. Demokrasi bukan hanya soal berteriak, tapi juga soal konsistensi dan tanggung jawab. Jika kita mengkritik elite karena oportunis, kita pun harus menghindari sikap reaktif dan musiman. Jika kita menuntut transparansi pajak, kita juga harus mendorong mekanisme pengawasan yang konkret: audit independen, keterbukaan anggaran, penguatan lembaga pengawas, dan partisipasi warga dalam perencanaan kebijakan.

Demokrasi yang sehat menuntut dua arah: negara yang terbuka dan warga yang dewasa. Negara tidak boleh alergi kritik, dan warga tidak boleh puas hanya dengan kemarahan simbolik. Di sinilah tantangan terbesar kita hari ini. Demokrasi tidak mati karena satu partai, satu presiden, atau satu kebijakan. Demokrasi melemah ketika relasi kuasa tidak seimbang dan ketika kedua belah pihak—penguasa dan warga—kehilangan kepercayaan satu sama lain.

Sepuluh tahun terakhir seharusnya menjadi pelajaran. Bukan untuk saling menertawakan, tapi untuk refleksi bersama. Jika demokrasi memang “sudah mati sejak lama”, maka tugas kita bukan sekadar menunjuk siapa yang membunuhnya, tapi bagaimana menghidupkannya kembali. Dan itu tidak bisa dilakukan hanya dengan meme, juga tidak bisa dengan represi.

Demokrasi hidup dari perdebatan, kritik, tanggung jawab, dan keberanian untuk berubah. Selama masih ada orang yang bertanya, menggugat, dan menuntut kejelasan—meski dengan nada sinis atau bercanda—demokrasi itu belum sepenuhnya mati. Ia mungkin terluka, pincang, dan lelah. Tapi ia masih bernapas. Pertanyaannya sekarang bukan lagi siapa yang salah, melainkan siapa yang mau benar-benar memperbaiki.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel