Ads

Bencana, Narasi, dan Perang Pikiran: Ketika Rakyat Bersuara di Tengah Kabut Emosi Publik

Bencana, Narasi, dan Perang Pikiran: Ketika Rakyat Bersuara di Tengah Kabut Emosi Publik

Ditulis oleh: Akang Marta



Ketika rakyat diundang untuk bersuara, maka suara itu tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia muncul dari kegelisahan, dari pengamatan panjang, dari akumulasi peristiwa yang berulang, dan dari rasa tanggung jawab sebagai warga negara. Dalam konteks bencana yang melanda Aceh dan Sumatera, undangan “rakyat bersuara” seharusnya menjadi ruang refleksi kolektif, bukan arena saling menuding atau saling mencurigai. Namun realitas menunjukkan, suara rakyat hari ini hadir di tengah kabut emosi, narasi yang saling bertabrakan, dan atmosfer sosial yang memanas. Bencana yang seharusnya menyatukan justru berpotensi dipelintir menjadi bahan bakar konflik. Di titik inilah penting bagi kita untuk berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan bertanya: apa yang sebenarnya sedang terjadi di ruang publik kita?

Tulisan ini berangkat dari kegelisahan seorang analis perilaku yang selama bertahun-tahun memilih diam, tidak ikut hiruk-pikuk komentar publik, tidak menjadi politisi, dan tidak pula menjadikan isu panas sebagai konten. Ia adalah wartawan, akademisi, sekaligus peneliti yang akrab dengan kajian cognitive warfare—perang pikiran—yang baru-baru ini bahkan diakui secara akademik melalui publikasi internasional bereputasi. Ketika sosok seperti ini akhirnya bersuara, patutlah kita mendengarkan dengan kepala dingin. Bukan untuk menelan mentah-mentah, tetapi untuk memahami pola yang sedang ia soroti.

Kegelisahan pertama yang mengemuka adalah perasaan bahwa dalam satu tahun terakhir, suasana negara terasa “panas” terus-menerus. Ribut, tegang, penuh emosi. Padahal, konflik dan dinamika politik bukan hal baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Namun ada sesuatu yang berbeda: intensitas, repetisi, dan pola yang makin jelas. Narasi demi narasi bermunculan, sering kali tidak diverifikasi, namun cepat menyebar karena menyentuh emosi paling dasar manusia: takut, marah, iba, dan benci. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat seolah hidup dalam ketegangan permanen, bahkan sebelum sempat mencerna fakta secara utuh.

Dalam konteks bencana, pola ini menjadi jauh lebih berbahaya. Bencana adalah peristiwa traumatik. Ia menyentuh sisi paling rapuh dari kemanusiaan. Ketika narasi tentang bencana disajikan tanpa empati dan tanpa tanggung jawab, maka yang terjadi bukan sekadar penyebaran informasi, melainkan eksploitasi penderitaan. Di sinilah muncul istilah yang mengusik: disaster porn. Sebuah konsep yang berangkat dari istilah poverty porn, yakni praktik menampilkan kemiskinan atau penderitaan secara berlebihan demi menarik perhatian, klik, atau keuntungan tertentu.

Dalam disaster porn, korban bencana direduksi menjadi objek visual. Tangisan, lumpur, kehancuran rumah, wajah-wajah putus asa ditampilkan berulang-ulang, tanpa konteks, tanpa solusi, tanpa arah. Korban bukan lagi subjek yang harus diselamatkan, melainkan komoditas narasi. Yang diuntungkan adalah mereka yang memproduksi dan menyebarkan konten tersebut—entah berupa atensi, popularitas, atau kepentingan lain. Sementara dampaknya bagi masyarakat luas adalah trauma berlapis, emosi yang dipanaskan, dan rasa takut yang mencekam.

Padahal, jika kita analogikan dengan kecelakaan lalu lintas, prioritas utama seharusnya adalah menolong korban. Bukan memperdebatkan siapa yang salah, siapa yang lebih hebat, siapa yang paling berjasa. Urusan SIM pengemudi, kelalaian, atau regulasi tentu penting, tetapi itu bukan prioritas paling mendesak di menit-menit pertama. Sayangnya, dalam bencana, ruang publik kita sering terjebak pada perdebatan sekunder: pemerintah versus relawan, negara versus rakyat, siapa lebih cepat, siapa lebih becus. Narasi semacam ini, disadari atau tidak, justru mengalihkan fokus dari keselamatan korban.

Lebih berbahaya lagi, pernyataan-pernyataan yang keluar dari tokoh publik—baik pejabat maupun relawan—sering kali tidak disadari dampak jangka panjangnya. Sebuah kalimat yang terucap bisa diibaratkan paku yang ditancapkan ke kayu. Dicabut memang bisa, tetapi bekasnya tetap ada. Ketika pejabat mengatakan kondisi tidak semencekam seperti di media, publik yang sedang dilanda emosi bisa merasa diremehkan. Sebaliknya, ketika ada pernyataan bahwa relawan atau NGO “lebih becus” daripada pemerintah, itu bisa memicu sentimen antagonistik yang tidak perlu. Kedua jenis pernyataan ini sama-sama berpotensi memantik konflik horizontal dan memperlebar jurang kepercayaan.

Di sinilah analisis perilaku menemukan benang merah yang lebih besar: adanya pola pengondisian emosi publik. Narasi-narasi negatif tidak berdiri sendiri. Ia berulang, direproduksi, dan dikapitalisasi. Hoaks demi hoaks bermunculan, sering kali dengan cerita yang sangat emosional: pengungsi meninggal karena kelaparan, bantuan tidak datang sama sekali, korban ditelantarkan. Ketika dicek, sebagian besar narasi ini tidak akurat atau dipelintir. Namun kerusakan emosional sudah terlanjur terjadi. Publik terlanjur marah, takut, dan saling curiga.

Pertanyaannya kemudian menjadi lebih serius: mengapa pola ini terus berulang? Mengapa isu-isu negatif seolah dikumpulkan dan diarahkan ke satu tujuan tertentu? Dalam kajian cognitive warfare, inilah inti dari peperangan modern. Perang tidak lagi selalu menggunakan senjata fisik, tetapi narasi. Pikiran manusia menjadi medan tempur. Emosi menjadi senjata. Hoaks menjadi amunisi. Tujuannya bukan sekadar menyebarkan kebohongan, tetapi menciptakan kekacauan, ketidakpercayaan, dan polarisasi.

Analogi dengan peristiwa kerusuhan sebelumnya menjadi relevan. Bukan berarti setiap kritik atau protes pasti ditunggangi. Protes adalah hak demokratis. Kritik adalah vitamin bagi negara. Namun ketika pola hoaks, narasi emosional, dan visual penderitaan terus direpetisi dengan cara yang sama, analis perilaku wajar mencurigai adanya pihak yang menunggangi situasi. Bukan mengorkestrasi bencana—karena bencana adalah peristiwa alam—tetapi menunggangi dampak sosialnya untuk kepentingan tertentu. Kepentingan apa? Itu masih wilayah asumsi. Tetapi pola menuju destabilisasi sosial terlihat nyata.

Dampak dari perang pikiran ini tidak main-main. Pertama, trauma korban bertambah. Mereka tidak hanya kehilangan rumah dan rasa aman, tetapi juga menjadi objek narasi yang berulang-ulang mengingatkan mereka pada penderitaan. Kedua, emosi publik memanas, sehingga kerja-kerja kemanusiaan terganggu. Kolaborasi yang seharusnya berjalan mulus menjadi tersendat karena kecurigaan. Ketiga, informasi palsu yang sampai ke pengambil kebijakan bisa berdampak fatal. Siapa pun yang dengan sengaja memberikan informasi tidak benar kepada Presiden atau otoritas tertinggi negara, dalam perspektif moral, bukan sekadar lalai, tetapi mengkhianati kepentingan bangsa.

Situasi ini kemudian meluas ke simbol-simbol yang sensitif, seperti pengibaran bendera putih. Bagi sebagian orang, itu mungkin sekadar ekspresi keputusasaan. Namun dalam konteks psikologi massa, simbol selalu memiliki makna berlapis. Ia bisa ditafsirkan macam-macam, dan dalam situasi emosi yang panas, tafsir itu bisa bergeser ke arah yang lebih ekstrem, bahkan separatis. Sekali lagi, bukan simbol itu sendiri yang berbahaya, tetapi bagaimana ia dikapitalisasi dalam narasi besar yang sedang dibangun.

Di sisi lain, perlu juga diakui adanya kekhawatiran yang sah dari sebagian masyarakat sipil. Ketika setiap kritik atau pendapat berbeda dicurigai sebagai “menunggangi” atau bagian dari skenario chaos, maka ruang dialog bisa menyempit. Orang-orang yang sebenarnya memiliki kapasitas dan niat baik untuk memberi solusi bisa memilih diam, menarik diri, karena takut distigmatisasi. Ini tentu berbahaya bagi demokrasi. Negara yang sehat justru membutuhkan banyak suara, banyak perspektif, dan perdebatan yang rasional.

Di sinilah letak tantangan terbesar kita hari ini: membedakan antara kritik yang tulus dengan narasi yang dimanipulasi. Antara ekspresi empati dengan eksploitasi penderitaan. Antara perbedaan pendapat dengan upaya destabilisasi. Tugas ini tidak mudah, tetapi bukan mustahil. Kuncinya ada pada literasi, verifikasi, dan kedewasaan emosional. Publik perlu belajar untuk tidak langsung bereaksi terhadap setiap konten yang memancing emosi. Media dan konten kreator perlu menahan diri untuk tidak menjadikan penderitaan sebagai komoditas. Pejabat publik perlu lebih berhati-hati dalam berbicara, karena setiap kata mereka memiliki dampak psikologis yang luas.

Bencana, pada hakikatnya, adalah ujian kebersamaan. Judul “bencana kita hadapi bersama” seharusnya tidak berhenti sebagai slogan. Bersama berarti saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan. Bersama berarti fokus pada korban, bukan pada ego institusi atau individu. Bersama berarti membuka ruang kritik yang sehat, sekaligus menutup celah bagi hoaks dan manipulasi emosi.

Jika benar kita sedang menghadapi era cognitive warfare, maka respons kita tidak bisa lagi sekadar reaktif. Negara perlu membangun sistem komunikasi krisis yang transparan, cepat, dan berbasis fakta. Masyarakat perlu meningkatkan ketahanan mental dan literasi digital. Akademisi dan analis perilaku perlu diberi ruang untuk menjelaskan pola-pola ini kepada publik, bukan justru dicurigai. Relawan dan pemerintah perlu duduk dalam satu meja besar bernama kemanusiaan, bukan berhadap-hadapan sebagai dua kubu.

Pada akhirnya, rakyat bersuara bukan untuk menciptakan kegaduhan, tetapi untuk mencari kebenaran dan keselamatan. Suara itu akan menjadi kekuatan konstruktif jika diarahkan dengan akal sehat dan empati. Namun ia bisa menjadi senjata destruktif jika dibajak oleh emosi dan narasi palsu. Di tengah bencana, kita tidak hanya diuji oleh alam, tetapi juga oleh kemampuan kita menjaga nalar dan kemanusiaan. Dan mungkin, di situlah makna terdalam dari undangan rakyat bersuara: bukan siapa yang paling keras, tetapi siapa yang paling jujur dan paling bertanggung jawab terhadap masa depan bersama.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel