Pagi Terakhir di Bendungan Situbolang: Antara Harapan, Doa, dan Keyakinan Bahwa Kita Mestine Bisa
Pagi Terakhir di Bendungan Situbolang: Antara Harapan, Doa, dan Keyakinan Bahwa Kita Mestine Bisa
Oleh: Akang Marta (Catatan Akhir Tahun 2025)
Pagi itu, Bendungan Situbolang menyambutku dengan cara yang sederhana namun menggetarkan. Matahari belum sepenuhnya naik, kabut tipis masih menggantung rendah, dan air bendungan mengalir tenang seolah tak ingin mengganggu pikiran siapa pun yang datang membawa renungan. Ini adalah pagi terakhir di akhir tahun 2025, dan entah mengapa rasanya berbeda. Ada rasa hening yang lebih dalam, seperti alam ikut mengajak bicara, mengingatkan bahwa waktu terus berjalan tanpa menunggu siapa pun.
Aku berdiri di tepian bendungan, memandang air yang memantulkan cahaya pagi. Dalam pantulan itu, aku melihat bukan hanya langit dan pepohonan, tetapi juga bayangan perjalanan setahun terakhir: harapan yang tumbuh, doa-doa yang terucap diam-diam, dan keyakinan yang kadang goyah namun tak pernah benar-benar hilang. Situbolang pagi itu bukan sekadar destinasi wisata, melainkan ruang refleksi—tempat di mana pikiran, perasaan, dan keyakinan bertemu.
Akhir tahun selalu menghadirkan pertanyaan yang sama: sudah sejauh mana kita melangkah, dan ke mana kita akan menuju? Di Bendungan Situbolang, pertanyaan itu terasa lebih jujur. Air yang tertampung di bendungan mengajarkan bahwa kesabaran adalah kunci. Ia tidak terburu-buru, tidak meluap sembarangan, namun terus mengalir memberi manfaat. Bukankah hidup seharusnya seperti itu? Mengumpulkan energi, menahan diri, lalu mengalirkan kebaikan saat waktunya tiba.
Harapan adalah hal pertama yang muncul dalam pikiranku pagi itu. Harapan yang sederhana, namun bermakna: hidup yang lebih baik, pekerjaan yang lebih bermakna, masyarakat yang lebih adil, dan masa depan yang lebih pasti. Harapan sering kali dianggap rapuh, namun sesungguhnya ia adalah bahan bakar utama manusia. Tanpa harapan, kita akan berhenti melangkah. Di Situbolang, aku belajar bahwa harapan tak harus selalu besar; cukup nyata dan terus dijaga.
Lalu ada doa. Doa-doa yang mungkin tidak selalu terdengar lantang, tetapi selalu hadir dalam hati. Doa untuk keluarga, untuk kesehatan, untuk rezeki yang halal, dan untuk ketenangan batin. Di pagi terakhir tahun ini, aku menyadari bahwa doa bukan hanya tentang meminta, tetapi juga tentang menerima. Menerima bahwa tidak semua berjalan sesuai rencana, dan itu tidak apa-apa. Bendungan ini berdiri kokoh karena menerima air dari berbagai arah—air jernih, air keruh, semuanya ditampung, disaring oleh waktu.
Keyakinan menjadi unsur ketiga yang tak kalah penting. Keyakinan bahwa “kita mestine bisa”. Kalimat sederhana ini mengandung kekuatan luar biasa. Ia bukan sekadar optimisme kosong, tetapi kepercayaan bahwa dengan usaha, kesabaran, dan kebersamaan, jalan selalu terbuka. Situbolang adalah bukti nyata bahwa keyakinan dapat diwujudkan menjadi sesuatu yang konkret. Bendungan ini tidak dibangun dalam semalam; ia lahir dari perencanaan panjang, kerja keras, dan keyakinan bahwa manfaatnya akan dirasakan banyak orang.
Aku melihat beberapa pengunjung lain pagi itu—ada keluarga kecil, ada pasangan muda, ada pula orang tua yang duduk termenung. Masing-masing membawa cerita sendiri, beban sendiri, dan harapan sendiri. Namun di tempat ini, kami dipersatukan oleh suasana yang sama: keheningan yang menenangkan. Seolah Situbolang menjadi saksi bisu bahwa manusia, dalam segala perbedaannya, selalu mencari makna dan ketenangan.
Tahun 2025 bukan tahun yang mudah bagi banyak orang. Ada tantangan ekonomi, perubahan sosial, dan ketidakpastian yang sering membuat lelah. Namun justru di tengah semua itu, refleksi menjadi penting. Pagi terakhir di Situbolang mengajarkanku bahwa kita tidak selalu harus berlari. Kadang, berhenti sejenak untuk merenung jauh lebih berharga. Dari perenungan itulah lahir keputusan-keputusan yang lebih bijak.
Aku teringat bahwa bendungan tidak hanya menahan air, tetapi juga mengatur aliran. Ia mengajarkan keseimbangan. Dalam hidup, kita juga perlu belajar menahan emosi, mengatur ambisi, dan menyalurkan energi ke arah yang tepat. Terlalu menahan bisa membuat tekanan, terlalu melepas bisa menimbulkan kerusakan. Keseimbangan inilah yang sering kita cari, namun jarang kita sadari.
Ketika matahari mulai naik lebih tinggi, kabut perlahan menghilang. Pemandangan menjadi lebih jelas, seperti simbol bahwa masa depan pun akan terlihat lebih terang jika kita mau bersabar. Aku menarik napas dalam-dalam, mengucap syukur atas pagi itu. Syukur atas kesempatan untuk masih bisa berharap, masih bisa berdoa, dan masih bisa yakin.
“Wes wayahe percaya maneh,” batinku. Waktunya kembali percaya pada diri sendiri, pada proses, dan pada Tuhan. Keyakinan bahwa kita mestine bisa bukan berarti tanpa rintangan, tetapi dengan keberanian untuk menghadapi rintangan itu. Situbolang, dengan segala ketenangannya, memberi pesan sederhana: kekuatan tidak selalu bising; sering kali ia hadir dalam diam.
Pagi terakhir di Bendungan Situbolang Indramayu menutup tahun 2025 dengan cara yang lembut namun bermakna. Ia tidak menjanjikan jawaban atas semua pertanyaan, tetapi memberi ruang untuk menerima dan melangkah. Saat aku melangkah pergi, aku tahu bahwa refleksi ini akan kubawa pulang—menjadi bekal untuk tahun yang akan datang.
Di antara harapan, doa, dan keyakinan, aku menemukan satu kesimpulan sederhana: selama kita mau berjalan bersama, belajar dari alam, dan percaya pada proses, kita mestine bisa. Dan pagi itu, Situbolang telah mengingatkanku akan hal itu dengan caranya sendiri—tenang, jujur, dan penuh makna.
