Ads

Apa Adanya: Kejujuran yang Tak Perlu Filter

Apa Adanya: Kejujuran yang Tak Perlu Filter

Ditulis oleh: Akang Marta



Aku berdiri di depan kamera tanpa persiapan khusus. Tidak ada pencahayaan sempurna, tidak ada sudut yang diatur agar wajah tampak tirus, dan tidak ada aplikasi yang siap menghapus keriput, noda, atau letih yang menempel di wajah. Foto itu mungkin disebut jelek oleh sebagian orang. Tapi bagiku, di situlah letak kejujurannya. Inilah aku, apa adanya.

Di zaman ketika jari bisa mengubah wajah, tubuh, bahkan suasana hati hanya dengan satu sentuhan layar, kejujuran menjadi sesuatu yang langka. Banyak orang tak lagi ingin dikenali sebagai dirinya sendiri, melainkan sebagai versi editan yang disukai algoritma. Filter memperhalus kulit, memanjangkan kaki, memutihkan gigi, dan sering kali—tanpa disadari—memperpendek jarak kita dengan diri sendiri.

Foto tanpa editan adalah pernyataan sikap. Ia berkata pelan tapi tegas: aku tidak sedang berlomba menjadi siapa-siapa. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Tidak sempurna, tidak selalu menarik, tapi nyata. Dalam foto itu, mungkin ada mata yang tampak lelah, senyum yang tak simetris, atau pose yang kaku. Namun semua itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak bisa disensor.

Kita sering lupa bahwa wajah lelah adalah bukti pernah berjuang. Keriput adalah tanda waktu yang tak sia-sia. Lingkar hitam di bawah mata bisa jadi saksi malam-malam panjang memikirkan keluarga, pekerjaan, atau masa depan. Menghapusnya dengan filter memang membuat foto lebih “cantik”, tapi juga menghapus cerita yang sesungguhnya.

Kejujuran pada diri sendiri bukan perkara mudah. Ada tekanan sosial yang besar untuk selalu tampil sempurna. Media sosial dipenuhi wajah tanpa pori, senyum tanpa beban, dan hidup yang tampak selalu baik-baik saja. Tanpa sadar, kita membandingkan diri dengan standar yang bahkan tidak nyata. Lalu kita mulai merasa kurang, merasa tidak cukup, merasa harus diperbaiki.

Padahal, tidak semua yang tidak sempurna perlu diperbaiki. Ada yang cukup diterima.

Foto jelek, kata orang. Tapi siapa yang berhak menentukan jelek atau tidak? Standar kecantikan berubah dari waktu ke waktu. Yang hari ini dianggap ideal, besok bisa jadi biasa saja. Namun kejujuran selalu punya tempatnya sendiri. Ia tidak lekang oleh tren.

Ketika aku memutuskan untuk tidak mengedit foto, aku sedang berdamai dengan diriku sendiri. Aku mengakui bahwa aku punya kekurangan. Aku juga mengakui bahwa aku tidak selalu percaya diri. Tapi aku memilih untuk tidak bersembunyi. Karena bersembunyi terlalu melelahkan.

Menjadi apa adanya adalah bentuk keberanian yang sering diremehkan. Lebih mudah memakai topeng daripada menunjukkan wajah asli. Lebih mudah mengikuti arus daripada berdiri dengan keyakinan sendiri. Tapi justru di situlah nilai manusia diuji—ketika ia berani jujur meski tidak dipuji.

Foto tanpa editan mengajarkan satu hal penting: kita tidak harus selalu terlihat baik untuk menjadi berharga. Nilai manusia tidak ditentukan oleh ketajaman kamera atau kecanggihan aplikasi. Nilai manusia lahir dari kejujuran, ketulusan, dan penerimaan diri.

Ada ketenangan yang lahir ketika kita berhenti memoles citra. Tidak perlu lagi cemas apakah orang lain akan menyukai tampilan kita. Tidak perlu lagi takut dinilai. Kita menjadi lebih ringan, lebih jujur, dan lebih manusiawi.

Aku tahu, tidak semua orang siap menerima dirinya apa adanya. Itu wajar. Proses menerima diri adalah perjalanan panjang, penuh naik turun. Ada hari ketika kita merasa cukup, ada hari ketika kita ingin menghapus diri sendiri dari cermin. Tapi setiap langkah kecil menuju kejujuran adalah kemenangan.

Foto tanpa editan bukan tentang menolak kemajuan teknologi. Ia tentang memilih dengan sadar: kapan kita ingin memperindah, dan kapan kita ingin jujur. Tidak salah memakai filter, selama kita tidak kehilangan diri sendiri di baliknya.

Yang berbahaya bukan editan, melainkan lupa bahwa diri kita yang asli tetap berharga meski tanpa polesan.

Ketika anak-anak tumbuh melihat orang dewasa yang berani tampil apa adanya, mereka belajar satu hal penting: mereka tidak harus menjadi sempurna untuk dicintai. Mereka belajar bahwa wajah manusia memang punya cerita, bukan sekadar estetika.

Inilah aku, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang belum tentu seimbang. Dengan wajah yang mungkin tak masuk standar populer. Dengan tubuh yang menyimpan jejak waktu. Dengan mata yang menyimpan harap dan lelah sekaligus. Dan aku baik-baik saja dengan itu.

Karena hidup bukan tentang terlihat sempurna di foto, melainkan tentang hadir sepenuhnya dalam kenyataan.

Pada akhirnya, foto jelek tidak apa-apa. Yang berbahaya justru hidup yang terus diedit sampai kita lupa siapa diri kita sebenarnya. Kejujuran mungkin tidak selalu mendapat banyak “like”, tapi ia memberi sesuatu yang jauh lebih penting: ketenangan.

Dan ketenangan itu, tidak bisa diedit oleh apa pun.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel