Ads

Midang dan Pertanyaan Klasik tentang Uang: Satire Kecil dari Desa untuk Negeri

 Midang dan Pertanyaan Klasik tentang Uang: Satire Kecil dari Desa untuk Negeri

Ditulis oleh: Akang Marta



“Midang… midang apa sing akeh duite?”
Kalimat ini terdengar ringan, bahkan seperti guyonan. Diucapkan sambil senyum, mungkin di teras rumah, di sawah, atau di pinggir jalan desa. Tapi seperti banyak humor rakyat lainnya, pertanyaan ini menyimpan lapisan makna yang dalam. Ia bukan sekadar teka-teki, melainkan sindiran sosial. Sebuah cara sederhana untuk bertanya: siapa sebenarnya yang hidup berkecukupan, dan siapa yang hanya berjalan di tempat?

Midang, dalam konteks budaya Jawa pesisir, sering dimaknai sebagai aktivitas berjalan-jalan, keluyuran, atau sekadar tampak sibuk tanpa tujuan yang jelas. Midang bisa berarti bergerak, tapi belum tentu maju. Maka ketika pertanyaan itu disambungkan dengan “sing akeh duite” (yang banyak uangnya), kita sedang diajak bercermin: apakah bergerak saja cukup untuk sejahtera? Atau justru yang banyak uangnya adalah mereka yang tidak perlu midang ke mana-mana?

Di sinilah ironi dimulai. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat orang yang tampak paling sibuk justru bukan yang paling sejahtera. Mereka bangun paling pagi, pulang paling malam, bergerak ke sana kemari, tapi hasilnya nyaris tak pernah cukup. Sementara di sisi lain, ada yang nyaris tak terlihat bekerja keras secara fisik, tapi uang mengalir deras. Fenomena ini bukan rahasia, tapi sering kita anggap sebagai “nasib”.

Pertanyaan “midang apa sing akeh duite?” sesungguhnya adalah kritik halus terhadap sistem ekonomi dan sosial yang timpang. Ia mempertanyakan keadilan distribusi hasil kerja. Kenapa yang capek justru sering kekurangan? Kenapa yang santai justru berlimpah? Dan lebih jauh lagi: apakah sistem ini memang dirancang untuk menghargai kerja, atau justru untuk melanggengkan privilese?

Di desa, midang bisa berarti pergi ke sawah, ke ladang, ke pasar, atau sekadar ikut arus kerja harian tanpa kepastian. Banyak orang bekerja bukan karena mereka yakin akan masa depan yang lebih baik, tapi karena hari ini harus bertahan. Kerja menjadi rutinitas, bukan jalan mobilitas. Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan tentang uang menjadi sangat eksistensial: bekerja keras untuk apa, jika hasilnya tak pernah mengubah keadaan?

Namun jangan salah, guyonan ini bukan sekadar keluhan. Ia juga cermin kesadaran kolektif. Rakyat tahu bahwa ada ketimpangan, bahwa ada permainan besar di luar jangkauan mereka. Mereka tahu bahwa kerja keras saja sering tidak cukup. Tapi alih-alih marah besar, kritik itu disampaikan lewat humor. Sebab humor adalah cara bertahan paling elegan ketika akses terhadap kekuasaan nyaris tidak ada.

Masalahnya, negara dan elite sering gagal membaca humor rakyat. Guyonan dianggap angin lalu, padahal di dalamnya ada akumulasi kekecewaan. Ketika rakyat bertanya dengan nada bercanda siapa yang paling banyak uangnya, sebenarnya mereka sedang bertanya: siapa yang diuntungkan oleh sistem ini? Apakah petani, buruh, nelayan? Ataukah mereka yang punya akses, koneksi, dan kuasa?

Di sinilah midang berubah makna. Midang bukan lagi sekadar berjalan-jalan, tapi simbol dari mobilitas semu. Banyak orang terlihat bergerak, tapi sebenarnya hanya berputar. Pendidikan tinggi pun tidak selalu menjamin keluar dari lingkaran itu. Banyak lulusan sekolah dan kampus akhirnya tetap midang: pindah dari satu kerja kontrak ke kerja lain, dari satu proyek ke proyek lain, tanpa jaminan masa depan.

Sementara itu, uang sering berputar di lingkaran yang sama. Mereka yang sudah kaya, semakin mudah memperkaya diri. Akses terhadap modal, informasi, dan kebijakan membuat mereka tidak perlu midang dalam arti rakyat kebanyakan. Mereka cukup duduk di ruang rapat, menandatangani dokumen, atau bahkan sekadar menjadi pemilik. Di sinilah rasa ketidakadilan itu semakin tajam.

Namun opini ini tidak berhenti pada sinisme. Pertanyaan rakyat selalu punya dua sisi: kritik dan harapan. Dengan bertanya “midang apa sing akeh duite?”, rakyat seolah menantang: adakah jalan lain? Adakah bentuk midang yang benar-benar membawa kesejahteraan? Atau kita perlu mendefinisikan ulang apa arti bekerja dan bergerak dalam sistem hari ini?

Jawabannya tentu tidak sederhana. Tapi satu hal jelas: jika negara ingin dipercaya, ia harus memastikan bahwa kerja memiliki nilai yang adil. Bahwa mereka yang benar-benar bekerja—mengolah tanah, menggerakkan ekonomi riil, melayani publik—tidak selamanya terjebak dalam midang tanpa hasil. Kebijakan publik seharusnya membuka jalan mobilitas, bukan sekadar menjaga stabilitas angka.

Di sisi lain, masyarakat juga perlu ruang untuk berorganisasi, bersuara, dan berpartisipasi. Humor rakyat jangan hanya jadi bahan tertawaan, tapi pintu masuk dialog. Ketika rakyat bercanda soal uang, itu tanda mereka sadar akan struktur yang tidak adil. Tugas elite bukan menertawakan balik, tapi menjawab dengan kebijakan yang nyata.

Akhirnya, “midang apa sing akeh duite?” adalah pertanyaan yang layak kita ulang bersama. Bukan untuk saling mengejek, tapi untuk menguji nurani kolektif. Apakah kita rela hidup dalam sistem di mana kerja keras hanya menjadi slogan? Atau kita berani memperjuangkan tatanan yang lebih adil, di mana bergerak benar-benar berarti maju?

Selama pertanyaan itu masih terdengar—entah di desa, di kota, atau di linimasa media sosial—artinya kesadaran itu masih hidup. Dan selama rakyat masih bisa tertawa sambil bertanya, harapan itu belum sepenuhnya padam.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel