Ads

Justifikasi Keamanan dan Penutupan Ruang Partisipasi: Mengurai Kasus Pembubaran Diskusi Buku di Indonesia

Justifikasi Keamanan dan Penutupan Ruang Partisipasi: Mengurai Kasus Pembubaran Diskusi Buku di Indonesia

Ditulis oleh: Akang Marta



Dalam beberapa tahun terakhir, ruang publik di Indonesia—ruang di mana warga dapat berdiskusi, berpikir kritis, dan mengakses informasi—semakin sempit. Fenomena ini semakin terlihat jelas melalui berbagai kasus pembubaran acara, intimidasi terhadap penulis dan aktivis, hingga kriminalisasi yang disertai justifikasi demi keamanan. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik terjadi baru-baru ini di Madiun, ketika bedah buku Reset Indonesia dibubarkan secara paksa oleh aparat. Kejadian ini menjadi ilustrasi nyata bagaimana narasi keamanan sering kali digunakan sebagai alat untuk menutup ruang partisipasi masyarakat, sekaligus menguji ketahanan demokrasi di Indonesia.

Acara bedah buku Reset Indonesia ini merupakan bagian dari rangkaian peluncuran nasional yang sebelumnya telah digelar di berbagai kota, mulai dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Trenggalek, tanpa kendala berarti. Di kota-kota tersebut, acara berjalan lancar dan mendapat apresiasi dari masyarakat maupun pemerintah daerah setempat. Namun, Madiun menjadi pengecualian, di mana semua persiapan sudah matang, pengisi acara telah hadir, dan peserta termasuk warga desa setempat siap mengikuti diskusi. Tiba-tiba, Camat, Kepala Desa, Babinsa, dan kepolisian datang ke lokasi, mengklaim bahwa acara harus dibubarkan karena alasan administratif dan keamanan.

Mas Dandi, penulis buku, menjelaskan kronologi pembubaran: “Satu alasan yang mereka pakai adalah menimbulkan keresahan sehingga polisi merasa perlu hadir untuk menjaga keamanan. Padahal, tidak ada yang resah. Semua narasi itu hanya template, seolah-olah ada ancaman, padahal diskusi di ruang desa berjalan damai.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa aparat menggunakan narasi keamanan secara artifisial, bukan karena ada gangguan nyata. Alasan keamanan sering kali menjadi dalih yang sah secara formal, tetapi tidak berdasar pada fakta lapangan.

Selain alasan keamanan, aparat juga menggunakan dalih izin dan ketertiban. Mas Dandi menekankan bahwa lokasi acara merupakan ruang publik yang aman, parkir tidak mengganggu, dan tidak ada ketertiban yang dilanggar. Diskusi yang digelar di halaman desa bahkan bisa dibandingkan dengan nobar film atau aktivitas warga di warung—perbedaannya hanya terletak pada topik pembahasan. Namun, aparat tetap hadir secara berlebihan, menciptakan atmosfer intimidasi. Fakta ini menegaskan adanya pola represi sistemik terhadap ruang publik yang melibatkan gagasan kritis.

Pola represi ini semakin diperjelas oleh catatan Elsam, yang menyebutkan bahwa selain pembubaran, tidak jarang terjadi kriminalisasi terhadap aktivis. Kriminalisasi ini sering dilakukan dengan membungkam penulis, peserta diskusi, bahkan mahasiswa yang dianggap “radikal”. Aparat menggunakan kekuasaan untuk menutup ruang partisipasi dengan berbagai cara: mulai dari intimidasi, pengawasan ketat, hingga ancaman hukum. Strategi ini menunjukkan bagaimana justifikasi keamanan sering dimanfaatkan untuk membatasi hak asasi manusia.

Dari perspektif demokrasi, peristiwa di Madiun menjadi indikasi pelemahan demokrasi yang sistemik. Pak Herlambang Wiratrahman, akademisi hukum tata negara, menekankan: “Ketika diskusi buku dilarang, mahasiswa ditangkap, atau buku-buku tertentu disita, itu adalah tren yang menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia terus melemah. Survei Freedom House pun menunjukkan skor demokrasi Indonesia turun setiap tahun.” Penurunan skor demokrasi ini tidak hanya bersifat abstrak, tetapi tercermin dalam praktik nyata di lapangan, di mana aparat lebih condong menggunakan kekerasan simbolik dan fisik untuk mengontrol wacana publik.

Fenomena ini tidak terbatas pada Madiun. Di Trenggalek, Bojonegoro, Lumajang, dan beberapa kota lain, tim penulis menghadapi pengawasan ketat dari aparat, bahkan ketika tidak ada potensi gangguan sama sekali. Di Bojonegoro, tiga anggota polisi ditugaskan khusus untuk memonitor jalannya diskusi. Aparat di Trenggalek bahkan diperintahkan oleh Bupati untuk mengawasi setiap kegiatan warga. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah aparat memahami hak konstitusional warga negara, atau hanya mengeksekusi perintah tanpa mempertimbangkan hukum dan demokrasi?

Mas Dandi menekankan ironi situasi ini: “Kalau buku mahasiswa yang dianggap ‘kiri’ diambil, buku koruptor juga harus diambil. Kalau ada yang dituduh radikal, bukunya juga disita. Lalu, apakah kitab suci atau buku agama juga harus disita? Ini konyol.” Pernyataan ini menggarisbawahi ketidakkonsistenan aparat dalam menangani ruang publik. Pembatasan dilakukan selektif, lebih berdasarkan persepsi ancaman daripada fakta, sehingga menciptakan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.

Pola ini bukan hal baru. Sejak Orde Baru hingga era reformasi, beberapa kegiatan publik—termasuk pelarangan buku, diskusi film, dan nobar—sering diintervensi aparat dengan dalih keamanan. Yang membedakan era saat ini adalah intensitas dan cara pembungkaman yang semakin sistematis, melibatkan berbagai lapisan aparat: sipil, militer, dan kepolisian. Paket lengkap ini menunjukkan koordinasi yang disengaja, bukan sekadar kesalahan administratif lokal. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap tren represi sistemik terhadap masyarakat sipil.

Dari sudut pandang hukum, pembubaran acara seperti di Madiun jelas melanggar konstitusi. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat. Aparat yang membubarkan diskusi tanpa alasan yang sah berarti mencederai konstitusi. Pak Herlambang menegaskan: “Republik Indonesia hadir sejak 1945 dengan menegaskan pasal kebebasan. Ketika pejabat atau aparat melarang diskusi, menulis buku, atau menonton film, mereka mencederai tujuan mulia negara: mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Aspek sosial-psikologis dari tindakan pembubaran ini juga signifikan. Intimidasi yang terjadi, termasuk pengawasan ketat dan ancaman, menciptakan budaya takut di masyarakat. Warga menjadi enggan menghadiri diskusi, mengekspresikan pandangan, atau berpartisipasi dalam kegiatan publik. Akibatnya, kualitas demokrasi menurun, partisipasi warga menurun, dan ruang publik menjadi steril dari gagasan kritis. Fenomena ini mengancam pembentukan masyarakat kritis dan berpendidikan.

Selain itu, pembubaran ini juga memiliki implikasi pada citra Indonesia di mata internasional. Negara yang mengklaim diri demokratis, tetapi membatasi diskusi publik dengan dalih keamanan, menghadapi risiko penurunan kredibilitas. Survei internasional seperti Freedom House mencatat tren penurunan skor demokrasi Indonesia, dan kejadian semacam ini memperkuat persepsi bahwa hak asasi manusia masih dibatasi secara struktural.

Langkah-langkah yang perlu diambil pemerintah dan aparat sangat jelas. Pertama, aparat harus memahami dan menghormati hak konstitusional warga negara. Pendidikan demokrasi dan literasi hukum harus menjadi prioritas bagi aparat, agar mereka mengetahui batas kewenangan dan tanggung jawab. Kedua, setiap tindakan pembubaran harus memiliki dasar hukum yang jelas dan proporsional. Ketiga, mekanisme administratif tidak boleh digunakan sebagai alat pembungkaman. Pemberitahuan acara sudah cukup secara hukum, dan tidak boleh dijadikan alasan untuk membatasi ruang partisipasi.

Selain langkah preventif, penting juga adanya mekanisme evaluasi dan pertanggungjawaban. Aparat yang melakukan pembubaran tanpa dasar harus dimintai pertanggungjawaban. Pemerintah harus memastikan bahwa tren represi tidak terus berlanjut. Selain itu, ruang dialog antara penulis, aparat, dan masyarakat harus dibuka. Diskusi terbuka dapat mengurangi ketegangan, membangun pemahaman, dan mencegah eskalasi konflik di ruang publik.

Secara lebih luas, fenomena pembubaran diskusi buku di Madiun menunjukkan bahwa negara Indonesia sedang menghadapi dilema antara keamanan dan kebebasan. Narasi keamanan sering kali disalahgunakan untuk menutup ruang partisipasi, padahal tidak ada ancaman nyata. Justifikasi semacam ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat dan pemerintah, memperlemah demokrasi, dan membatasi perkembangan masyarakat sipil yang kritis.

Peristiwa ini juga menjadi cermin bagi tren nasional. Dari pengalaman tim Reset Indonesia, terlihat bahwa pembubaran atau pengawasan ketat tidak hanya terjadi di satu kota, tetapi berulang di berbagai daerah. Hal ini menunjukkan bahwa ada pola sistematis yang melibatkan berbagai aparat, dari tingkat desa hingga pusat. Pola ini tidak hanya menekan kebebasan berekspresi, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sosial.

Dampak psikologis dan sosial dari tindakan semacam ini tidak dapat diabaikan. Budaya takut yang diciptakan aparat membatasi partisipasi warga, menghambat literasi politik, dan mengurangi kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis. Jika dibiarkan terus-menerus, fenomena ini dapat menghambat perkembangan demokrasi dan memperkuat rezim yang otoriter dalam praktik, meskipun secara formal tetap demokratis.

Dalam perspektif sejarah, pembatasan ruang publik untuk gagasan kritis bukan hal baru. Sejak Orde Baru, berbagai kegiatan yang dianggap “berbahaya” atau “mengganggu keamanan” sering dibatasi. Yang membedakan sekarang adalah mekanisme dan teknologi pengawasan yang lebih sistematis, serta narasi keamanan yang lebih terstruktur. Aparat tidak hanya menindak secara fisik, tetapi juga membangun legitimasi melalui dalih administratif dan keamanan, meski fakta lapangan tidak mendukung klaim tersebut.

Bagi akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil, situasi ini menuntut strategi baru untuk mempertahankan ruang publik. Edukasi, kampanye kesadaran hukum, dan advokasi demokrasi menjadi penting untuk memastikan bahwa hak asasi manusia dihormati. Warga harus diberi pemahaman bahwa ruang diskusi publik adalah bagian dari pembangunan masyarakat kritis dan berpendidikan, dan bahwa intimidasi atau pembatasan hanya mengurangi kualitas demokrasi.

Mas Dandi menambahkan perspektif praktis: “Kami sebenarnya siap berdiskusi di mana saja, termasuk di markas Kodim, Kodam, atau Polda. Tapi yang terjadi justru pembatasan di ruang desa yang damai. Ini menunjukkan pola pengawasan yang tidak proporsional dan selektif.” Pernyataan ini menggarisbawahi ketidakkonsistenan aparat dalam menangani aktivitas publik, serta ketidakmampuan sistem untuk membedakan ancaman nyata dengan gagasan kritis yang aman.

Keterkaitan antara pembatasan diskusi buku dengan tren penurunan skor demokrasi Indonesia juga tidak bisa diabaikan. Survei Freedom House mencatat penurunan konsisten skor demokrasi setiap tahun, mencerminkan praktik represif yang terjadi di lapangan. Pembatasan ruang partisipasi, pembungkaman gagasan kritis, dan kriminalisasi aktivis merupakan indikasi nyata dari pelemahan demokrasi yang bersifat struktural.

Dalam konteks ini, pemerintah dan aparat memiliki tanggung jawab besar. Mereka harus memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi ditegakkan, hak asasi manusia dihormati, dan ruang partisipasi publik tetap terbuka. Tindakan represif dan pembiaran hanya akan memperkuat ketakutan masyarakat, menghambat literasi politik, dan melemahkan fondasi demokrasi.

Kasus pembubaran diskusi buku Reset Indonesia di Madiun bukan sekadar insiden lokal, tetapi refleksi dari tantangan yang lebih besar: bagaimana menjaga demokrasi, hak asasi manusia, dan partisipasi publik di tengah narasi keamanan yang sering disalahgunakan. Negara, aparat, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan bahwa hak warga untuk berdiskusi, berekspresi, dan berpartisipasi dihormati. Pendidikan demokrasi, literasi hukum, dan dialog terbuka menjadi kunci agar peristiwa serupa tidak terulang.

Di era informasi dan teknologi, keterbukaan ruang publik menjadi semakin penting. Masyarakat memiliki akses luas terhadap gagasan, dan setiap upaya menutup ruang diskusi akan menimbulkan efek negatif yang luas. Pembatasan ini bukan hanya merugikan individu yang terlibat, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan, karena mengurangi kualitas wacana publik, kreativitas, dan kemampuan kritis.

Sebagai kesimpulan, justifikasi demi keamanan yang digunakan untuk menutup ruang partisipasi masyarakat tidak dapat dibenarkan. Fenomena ini menunjukkan pelemahan demokrasi, pembatasan hak asasi manusia, dan intimidasi yang semakin sistematis. Negara harus kembali pada prinsip konstitusional: memberikan ruang bagi warganya untuk berpikir, berdiskusi, dan berpartisipasi secara bebas. Hanya dengan itu, demokrasi di Indonesia dapat berjalan secara sehat, hak asasi dihormati, dan ruang publik tetap menjadi arena bagi gagasan kritis yang membangun bangsa.

Peristiwa Madiun menjadi peringatan bagi seluruh elemen negara: demokrasi yang sehat muncul ketika gagasan kritis diterima, dibahas, dan dijadikan bahan pembelajaran, bukan dibungkam dengan dalih keamanan yang semu. Jika tren pembatasan ruang partisipasi terus berlanjut, Indonesia berisiko mengulang praktik otoritarian yang seharusnya menjadi sejarah. Maka dari itu, pemerintah, aparat, dan masyarakat sipil harus bersatu menjaga ruang publik sebagai fondasi demokrasi, sekaligus memastikan bahwa hak setiap warga negara untuk berpendapat dan berpartisipasi terlindungi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel